Mohon tunggu...
Jalia Mayasari
Jalia Mayasari Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Saya seorang ibu rumah tangga dengan 2 anak, yang kebetulan berprofesi sebagai pengajar di sebuah sekolah islam tingkat lanjutan menengah pertama. Pekerjaan ini sudah saya tekuni selama 15 tahun. Lama kelamaan, pekerjaan ini menjadi hobi yang tak bisa dihindarkan. Saya senang bersosialisasi dengan rekan kerja, dengan murid². Di sana saya banyak belajar tentang kehidupan. Saya juga suka berolahraga, khususnya volley. Tidak sampai mahir hanya bisa. Olahraga ini sudah saya sukai semenjak SD berlanjut ke SMP dan SMA. Dua tahun belakangan, saya mulai suka dengan badminton, tapi sayangnya tidak rutin saya lakukan lagi karena pengajaran offline kembali.

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Sibuknya Aku di Masa Kecil

26 Desember 2024   21:29 Diperbarui: 26 Desember 2024   21:29 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Berikut adalah versi yang telah diperbaiki dan disusun ulang agar lebih rapi dan mudah dipahami:

Dulu, tak pernah terpikir bahwa apa yang kami lakukan adalah hal yang berat. Kami, tiga bersaudara dari enam bersaudara. Aku adalah anak perempuan satu-satunya. Ayah kami seorang guru SD, namun penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dalam sebulan. Mengapa aku bilang tidak cukup? Karena dalam keseharian, kami sering berhutang ke warung untuk makan, yang kemudian baru dilunasi saat Ayah menerima gaji.

Namun tidak, kami tidak merasa berat. Apa yang kami lakukan terasa ringan. Kami hanya berjualan makanan ringan di sekolah saat jam istirahat. Ketika bel istirahat berbunyi, kakak nomor empat segera berlari untuk menyiapkan meja dagangan, dibantu oleh kakak nomor tiga. Setelah itu, aku menyusul untuk melayani teman-teman yang membeli. Kami melakukannya dengan senang hati, apalagi hasilnya memberi kami uang jajan tambahan.

Dagangan itu sebenarnya adalah usaha milik kakak nomor empat, hasil tabungannya sendiri. Jadi, secara resmi, kami menyebutnya sebagai "warungnya."

Kami bahagia menjalani hari-hari itu. Bahkan sekarang pun, kenangan itu masih terasa hangat di hati. Oh, hampir lupa, sepulang sekolah kami juga menggembala kambing yang dipelihara Ayah. Biasanya, itu dilakukan setelah kami selesai menjajakan es keliling kampung, es yang aku buat sendiri di malam hari, terkadang dibantu oleh Ibu atau kakak-kakak.

Lelah? Tidak! Kami masih punya waktu untuk membaca buku-buku yang kami sukai, meskipun bukan buku pelajaran. Kami juga punya waktu bermain---bersepeda, bermain petak umpet, atau main bola bersama teman-teman.

Ayah kami telah menanamkan jiwa entrepreneur sejak kecil. Nilai itu terus tumbuh saat kami melanjutkan ke SMP dan SMA, dengan mencoba berbagai jenis usaha kecil lainnya.

Terima kasih, Ayah, karena telah memperkenalkan kami pada hal yang begitu penting untuk hidup ini. Dari sanalah aku belajar memiliki mental yang kuat dan tidak mudah menyerah. Terima kasih juga untuk kakak-kakakku yang selalu hadir di masa kecil yang penuh perjuangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun