[caption id="attachment_325021" align="aligncenter" width="500" caption="sumber: viva.co.id"][/caption]
Partai yang sudah cukup lama berkiprah di dunia politik bangsa ini sedang mengalami fase titik balik eksistensinya di percaturan politik Indonesia. Partai nomor dua perolehan suara pada Pemilu Legislatif kemarin ini terjebak pada tradisi masa lalu yang belum bisa diubah di era politik modern jaman sekarang. Golkar masih menganut tradisi ketua umum partai akan langsung menjadi capres partai tersebut, tradisi yang bisa berakibat terseretnya partai pada figur yang akan menjadi bumerang pada elektabilitas partai tersebut.
Seperti yang diketahui ARB adalah ketua umum Golkar yang menurut mandat partai sekaligus menjadi capres Golkar pada Pemilu 2014 ini. Tapi apa mau dikata, meski ARB sudah cukup lama promosi diri menjadi bakal capres, masyarakat tetap pada pendirian tidak memberikan ruang kepada ARB untuk maju pada Pilpres 2014. Tidak hanya sampai di sana, apresiasi rakyat terhadap Golkar, rakyat hanya memberi 14% suara nasional pada Pileg kemarin, hasil yang jauh dari target dan mengharuskan Golkar mencari mitra koalisi jika tetep ingin mengusung ARB.
Tapi apa mau dikata, dagangan Golkar untuk mencari mitra koalisi guna mengusung ARB tidak laku dijual hingga sampai batas waktu penentuan mitra koalisi yang mengakibatkan Golkar turun tahta menjadi partai yang rela tidak mengajukan nama capres maupun wapres karena Golkar harus merelakan posisi itu diisi oleh dua partai di bawahnya, yaitu Gerindra dan PAN.
Kesalahan tradisi, kesalahan pemilihan figur, kesalahan memprediksi arah pemikiran rakyat sebagai pemilih, mengakibatkan Golkar terperosok yang mengakibatkan munculnya aksi ketidakpuasan dari tubuhya sendiri, bahkan kader sekelas Luhut Panjaitan yang menjabat sebagai wakil Dewan Pertimbangan Golkar harus meletakkan jabatannya karena sudah tidak sejalan dengan keputusan yang diambil oleh ARB sebagai ketua umum partai.
Kader Muda Partai Golkar lantang bersuara menentang keputusan yang diambil oleh ARB bermitra ke kubu Prabowo. Mereka mempertanyakan kebijakan yang diambil oleh ARB yang mereka anggap keputusan ARB merapat ke Prabowo adalah bentuk pelecehan terhadap Golkar sebagai partai nomor dua perolehan suaranya. Mereka tidak rela partainya diperlakukan seperti itu sehingga kader-kader muda potensial itu harus menentukan sikap berseberangan dengan memilih merapat ke Jokowi.
Tidak kalah dengan Kader Mudanya meski tidak secara kongkrit menunjukkan keberpihakan dengan menentang kebijakan partai yang memutuskan berkoalisi dengan Prabowo, para politisi senior ini lebih memainkan kartu cantik mereka mengadakan pertemuan yang dibungkus dengan acara silahturahmi tokoh internal dan sayap partai Golkar, yang pada akhirnya mereka meminta untuk mempercepat Munas guna memilih ketua umum. para politisi senior Golkar itu meminta Munas diadakan pada awal Oktober tahun ini.
Mereka kecewa atas keputusan yang diambil oleh ARB yang memilih berkoalisi ke Prabowo sedangkan jelas ada kader Golkar yang maju bertarung, yaitu Jusuf Kalla yang didapuk menjadi cawapres mendampingi Jokowi. Keputusan ARB dianggap tidak mencerminkan keputusan seorang politisi karena kurang perhitungan yang matang.
Prahara yang terjadi di Golkar bagai momentum antiklimaks kepemimpinan ARB sebagai ketua umum Golkar, partai yang seharusnya bisa berbicara banyak pada pemilu 2014 karena saratnya pengalaman malah terjebak dengan dilema akibat ketidakmapuan melihat pergerakan arah politik modern yang terjadi di negeri ini. Golkar seperti partai yang kehilangan momentum, tidak berdaya melihat arah koalisi akibat terjebak oleh arogansi sebagai partai besar.
Atau bisa jadi prahara yang terjadi hanyalah manuver Golkar untuk bisa bermain di dua kaki, seperti kata pengamat politik, bisa jadi, apa pun itu kita lihat apa yang terjadi pada partai tua ini setelah Pemilu 2014 ini, masihkah partai ini cakap memainkan peta politik di negeri ini, atau Pemilu 2014 sebagai titik balik Partai Golkar.
Penulis: JalanSatuSatu