Mohon tunggu...
Jalan Raga
Jalan Raga Mohon Tunggu... Petani - Human Being

Sejauh apapun pergi, pada rumah kita kan kembali.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tips Merdeka dan Bahagia dengan Menjadi Nakhoda

31 Maret 2017   16:48 Diperbarui: 1 April 2017   06:35 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi yang lahir dekade 80-90-an rasanya tak asing dengan film kartun yang berjudul “Popeye The Sailorman”, film kartun yang menjadi tontonan menyenangkan untuk mengisi waktu libur dan santai. Popeye adalah sosok pelaut (nakhoda) heroik yang amat cinta kepada istri dan anaknya, ia senantiasa menjaga diri dan keluarganya dari gangguan Brutus yang dipenuhi kebencian, iri dan dengki hingga selalu susah melihat Popeye senang dan senang melihat Popeye susah.

Lain Popeye lain pula Nuh atau dalam ejaan bahasa Inggris disebut Noah, Popeye adalah sosok fiksi, dan Nuh adalah sosok nyata. Nuh adalah seorang nabi dan rasul yang tak asing dalam sejarah dan literatur kitab suci 3 agama besar dunia (Yahudi, Nasrani dan Islam), Nuh adalah seorang nabi dan rasul yang berusaha mengajak umatnya untuk bertuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukan tuhan berhala atau ruh-ruh yang disembah oleh nenek moyang dan kebanyakan orang kala itu, ia menyeru pada kebaikan, kebenaran dan keselamatan namun ditolak oleh umatnya karena enggan menerima petunjuk dan kebenaran.

noah-as-58dd600b3593736c4199b2d6.jpg
noah-as-58dd600b3593736c4199b2d6.jpg
Nuh diejek, direndahkan, dianggap aneh dan gila oleh karena ia tak henti-hentinya menyeru dan mengajak umatnya untuk meng-Esa-kan Tuhan, terlebih lagi saat Nuh menerima wahyu untuk membangun sebuah bahtera, tak ayal orang-orang kala itu makin menjadi-jadi mencap Nuh “gila”, ia tak pernah berhenti membangun bahtera dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan dan tahun ke tahun, hal itu ia lakukan atas dasar kepatuhan serta ketundukan yang bersumber dari kepercayaan dan keyakinannya pada Tuhan Yang Maha Esa, hanya segelintir orang yang percaya padanya, bahkan anak dan istri yang dicintainya ternyata turut dalam barisan orang-orang yang tidak percaya pada seruannya, sampai akhirnya Janji Tuhan pada Nuh terbukti dengan diturunkannya hujan badai yang amat deras diliputi halilintar, diiringi dengan meluap dan tumpah ruahnya seluruh permukaan air laut ke daratan yang melahap dan menenggelamkan apapun yang dilewatinya, jika dibandingkan dengan dahsyatnya tragedi tsunami di Jepang atau Aceh, maka tragedi itu tidaklah sebanding dengan dahsyatnya tragedi umat Nuh kala itu, sungguh amat sangat dahsyat dan mengerikan.

sunami-58dd60342e7a61fe48f50fec.jpg
sunami-58dd60342e7a61fe48f50fec.jpg
Sejenak mari kita bayangkan jika kita menjadi sosok Nuh, dimana setiap orang yang berada disekeliling kita menganggap kita aneh. Bayangkan jika orang tua anda, istri anda, anak anda, adik anda, saudara, kerabat serta lingkungan anda menganggap anda aneh bahkan “gila” karena berbeda dari kebanyakan orang, yang anda katakan dan lakukan dianggap tidak masuk akal, candaan, guruaan atau igauan disiang bolong.

Nuh juga manusia biasa seperti kita, sebagai seorang manusia ia tentu merasakan tekanan dan kesedihan yang sama seperti kita, kesedihan karena istri dan anak kesayangannya termasuk golongan yang tidak percaya padanya, bayangkan bagaimana jika anda tidak dipercaya oleh pasangan atau anak anda sendiri, tentu itu amat menyiksa hati bukan.

Berbagai cemoohan, hinaan dan ejekan tersebut tentu mendatangkan tekanan kejiwaan yang amat kuat, menguji batas kesabaran dan kesyukuran kita sebagai manusia, namun segala ejekan serta hinaan itu tidak sedikitpun berpengaruh atau bahkan mengendurkan keteguhan hati seorang Nuh, sebab ia punya keyakinan yang amat kuat pada dirinya, pada Tuhannya dan pada tujuan utamanya, ia yakin pada kepastian janji Tuhan, janji dari Yang Maha Pasti, bukan janji makhluk (manusia) yang rentan dengan perubahan, pengingkaran dan dusta.

Dari sejarah abadi tentang Nuh yang penuh dengan hikmah dan pelajaran, saya berusaha merumuskan Prinsip Nakhoda (Sailor Principle). Prinsip sederhana yang jika Tuhan menghendaki akan selalu menjadi pengingat bagi saya, dan semoga membantu sahabat untuk menemukan kebahagiaan sejati yang selama ini diidam-idamkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun