Mohon tunggu...
Jalan Raga
Jalan Raga Mohon Tunggu... Petani - Human Being

Sejauh apapun pergi, pada rumah kita kan kembali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayah, Ajari Aku Terbang (Bagian I)

11 Mei 2016   18:21 Diperbarui: 11 Mei 2016   18:29 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Mendidik anak menjadi kaya, hanya akan membuatnya mengenal harga, namun mendidik anak menjadi bahagia akan membuatnya mengenal nilai, hakikat serta makna”. (Nahkoda Raga)

Mentari senang sekali saat mengetahui ayahnya pulang membawa seekor kelinci kecil nan mungil berbulu halus juga lebat, bulu berwarna putih polos yang membalut tubuh sang kelinci nampak semakin serasi dengan corak warna abu-abu dilingkar mata yang besar dan lebar.

Kelinci imut itu adalah kado ulang tahun yang diberikan oleh sang ayah kepada sang anak kesayangan yang hari ini genap berusia 4 tahun, beberapa hari yang lalu saat Tari panggilan akrab sang anak tidur, ia mengiggau sambil tersenyum memegangi bantal gulingnya. “ihh.. kamu lucu banget siih, cantik lagi, bulu kamu halus, aku seneng deh temenan sama kamu”. 

Sang ayah yang belum sempat tidur karena harus menyelesaikan tugas kantor itupun menghampiri sang putri mahkota dengan langkah hati-hati agar ia tetap terjaga dari mimpi indahnya, kemudian membetulkan selimut dan mengecup penuh sayang kening sang penyejuk hati.

“Yeeee... ayah pulang” Sambut Tari dengan wajah yang sumringah. “uuuu.. anak ayah, sini sayang” sang ayah membuka lebar kedua tangannya, kemudian menggendong anak semata wayangnya tersebut. “ayah, itu apa dibelakang ayah?” tanya sang anak penasaran sambil memandang sebuah kotak berwarna merah muda dengan pita pemanis diatasnya”. “Sebentar ya sayang..” sambil menurunkan sang anak dari gendongan. “ini sayang, coba kamu buka”. Sang anak dengan tingkah polosnya membuka bungkus kotak yang terbalut kertas kado berwarna tersebut dengan begitu antusias, “iiiihhhh... ayah, ini kelinci” aura wajah Tari menampakkan cahaya kebahagiaan yang tersurat lewat matanya yang berbinar.

Digendong dengan lembut kelinci mungil itu, sambil menatap penuh cinta kepada sang ayah “ayah makasih ya, aku seneng deh”. Celoteh jujur keluar dari bibir mungil sang anak. “iya sayang sama-sama”, sang ayah tersenyum hangat, “ayah boleh minta satu hal sama kamu sayang?” Tanya sang ayah dengan suara lembut dan perlahan. “iya, ayah boleh” jawab Tari yang sedang menimang-nimang teman barunya itu, layaknya seorang ibu yang sedang menimang bayi. “anak ayah cantik, sayang ga sama kelincinya?” tanya sang ayah sambil mengelus lembut kepala sang anak, “iya ayah, aku sayang sama kelinciku ini”. “kalau Tari sayang, kelincinya dirawat ya cantik” iya ayah, aku akan rawatin kelinciku ini” jawab polos sang anak.

Selang beberapa minggu, Tari tampak murung dan bersedih, wajahnya ditekuk, tidak tampak keceriaan seperti biasanya. “Assalamu’alaikum, ayah pulang, assalamu’alaikum Taaariii”, namun suara nyaring dari sang anak tidak juga menyambut. Di pojok kamar dengan dinding yang dipenuhi gambar tempel berbentuk bintang, sang ayah melihat anak kesayangannya menyendiri dan murung. “Assalamu’alaikum sayaang” sapa sang ayah dengan nada lembut penuh kasih sambil duduk jongkok dihadapan putrinya, “wa... wa’alaikum salam ayah” jawab sang anak dengan nada parau, kemudian bangkit dan spontan memeluk sang ayah, mata lugu nan polos itu berkaca-kaca kemudian tangispun mengalir membasahi kedua pipinya.

“ayaah.. kelinciku jahaaat, aku ajak main tapi dianya diem aja, aku lagi marahan yah sama kelinciku”, Ayah kasih tau dia, aku mau main yaaah”. ujar sang anak dengan kalimat yang terputus-putus sambil sesekali menyeka air matanya, “emang kelinci kamu dimana sayang? Tanya sang ayah. Jemari mungil Tari menggenggam ibu jari sang ayah seraya menuntun ke halaman depan rumah mereka. Disana disudut kiri, tepat dibawah pohon jambu air yang mulai berbuah, tergeletak makhluk kecil tak berdaya dengan mata terpejam tak bernapas”.

Sang ayah tak kuasa menahan haru dan iba, hatinya terenyuh bagai tersiram air es dari ujung kepala sampai ke ujung kaki, bulir-bulir air menggumpal keluar dari mata sang ayah, namun segera ia bendung dan seka agar sang buah hati tak bertanya “ayah kenapa? Kok nangis?”.

Bukan hanya karena perkara kelinci mungil kesayangan sang anak yang telah meregang nyawa, tapi jauh dibalik itu, tepat dibawah raga sang kelinci, ada sebuah perjalanan waktu yang berhenti pada pusara. Pusara tempat bersemayamnya kakak kandung Tari yang tertakdir tak menghirup rupa dunia. (Bersambung)

 

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun