Surat Keputusan tentang pengesahan kepengurusan Partai Golkar versi MUNAS Ancol sebagai yang sah telah dikeluarkan oleh KemenkumHAM. Namun KemenkumHAM bertindak terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan untuk mengeluarkan SK tersebut. Oleh karena itu, polemik makin memanas karena pemerintah dinilai sebagaian politikus telah melakukan intervensi dalam masalah internal partai berlambang pohon Beringin tersebut. Seharusnya Menkum HAM mengerti masalah hukum dan undang-undang, salah satunya harus memahami UU tentang PARPOL. MenkumHAM hanya bertugas melakukan pengesahan saja dari sidang Mahkamah Partai. Unik nya Menkum HAM (Yassona) mengakui mengutip pernyataan 2 dari 4 hakim sidang Mahkamah Partai Golkar. Itu adalah Boomerang bagi Menkum HAM sendiri, karena apabila dibaca, ditelusuri dan didalami kembali, sidang Mahkamah Partai Golkar tidak memutuskan apa-apa.
Saat itu MenkumHAM (Yassona) hanya mengutip hasil pendapat dua hakim Mahkamah Partai yaitu Djasri Marin dan Andi Mattalata, padahal dua hakim lainnya, Muladi dan Natabaya menyatakan pendapat yang berbeda.
Berikut ini kutipannya yang diambil dari salah satu media.
"3 kali Menkum HAM mengakui bahwa putusan Mahkamah Partai yang dikutip dirinya dalam membuat SK bukanlah putusan MPG. Melainkan pendapat 2 hakim MPG yaitu Djasri Marin dan Andi Mattalata. Padahal dua hakim MPG lainnya Muladi dan Natabaya beda pendapat".
Sangat jelas dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Golkar tidak mengenal Istilah presidium. Sedangkan Munas Ancol diprakarsai oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai Presidium Penyelamat Partai Golkar. Bila dilihat dari AD/ART nya saja tidak mengakui Presidium yang menyelenggarakan Munas Ancol kenapa MenkumHAM bisa men sahkan?. Selain itu, berdasarkan hasil sidang PTUN atas putusan sela SK MenkumHAM yang mengembalikan kepengurusan Partai Golkar ke hasil Munas Riau 2009 di bawah Ketua Umum ARB, telah dilanggar oleh Kubu Munas Ancol dengan melakukan kegiatan yang mengatas namakan Partai Golkar, padahal seharusnya mereka (Golkar Munas Ancol) tidak bisa melakukan kegiatan dengan mengatas namakan Partai Golkar.
Dari situ bisa dilihat berapa banyak pelanggaran dan kegiatan yang bersifat ilegal yang dilakukan Golkar (munas Ancol/Agung Laksono) melakukan pelanggaran. Perebutan paksa (premanisme) kantor DPP Golkar Slipi dan kantor Fraksi Golkar di lantai 12 gedung DPR juga bisa disebut 'begal' dalam berpolitik. 'Ilegal dan Begal' merupakan tindakan yang melanggar hukum. Lalu kenapa hukum kembali "diam dan tidak melihat?"
Selain itu MenkumHAM terlalu cepat mengeluarkan SK pengesahan kubu Agung Laksono sebagai yang sah?, Menkum HAM terlihat terburu-buru saat mengeluarkan SK yang notaben nya sidang Mahkamah Partai tidak mengambil keputusan apa-apa. Apakah ada 'hal' lain dibalik keluarnya SK tersebut?. Bahkan melihat beberapa komentar di Media sosial ataupun komentar artikel berita, ada yang mengatakan Menkum HAM tidak mengerti hukum terutama UU tentang Parpol. Bahkan tidak menutup kemungkinan, sidang lanjutan yang akan diselenggarakan PTUN di intervensi atau dikecoh Oleh nya (MenkumHAM). Menteri nya (MenkumHAM) bisa salah dalam mengambil keputusan seperti itu, apakah hal yang serupa ini akan terjadi di 'konflik' partai-partai lainnya?. Jangan sampai konflik seperti Golkar dan PPP terulang kembali dengan partai-partai lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H