Mohon tunggu...
Epetebang
Epetebang Mohon Tunggu... Wiraswasta - untaian literasi perjalanan indah & bahagiaku

credit union, musik, traveling & writing

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Bis Terbang Menuju Mentarang

14 Oktober 2023   13:12 Diperbarui: 14 Oktober 2023   16:04 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tanah kuni di belakang saya, sampai ke arah bukit di kejauhan, disana sedang dibangun PLTA Mentarang Induk (foto: edipetebang)

Akhir Agustus lalu, akhirnya terobati juga penasaran bagaimana rasanya rasa naik bis terbang. Naik seperti naik bis...taxi di landasan serasa naik bis, dan....pelan-pelan naik ke udara. Ukuran badan pesawat dan desain kursi yang membuatnya serasa dalam bis.

Setiba di bandara Juwita, Tarakan, saya sempat ragu, apakah bisa terbang atau tidak karena belum ada penumpang lain. Karena menurut teman yang mengantar, pesawatnya bisa tiba-tiba batal terbang jika cuaca tidak mendukung. Sebetulnya ada transportasi lain yang lebih populer, yakni kapal cepat dari Tarakan ke Malinau sekitar 3 jam.   

serasa bis dalam pesawatnya  (foto: edipetebang)
serasa bis dalam pesawatnya  (foto: edipetebang)

Setelah ditimbang badan dan tas/bawaan, kami diberikan boarding pas dan disilakan ke ruang tunggu. Di cek in bisa masalah sekiranya berat badan ditambah bawaan kita melebihi kapasitas jatah berat setiap penumpang. Pernah teman membawa koper yang besar, akhirnya mesti dititip di bandara karena melebihi beratnya.

Kami menunggu sekitar setengah jam, kemudian datang beberapa orang sehingga total kami berlima di ruang tunggu. Belum ada tanda-tanda pesawat akan berangkat, petugas pun belum ada. Syukurlah kemudian datang seorang bapak. "Itu kan bapak yang di ruang cek in tadi. Semoga kita jadi berangkat ya,"ujar seorang penumpang di ruang tunggu itu.

Bandara Malinau (foto: edipetebang)
Bandara Malinau (foto: edipetebang)

"Bapak ibu, mari kita berangkat,"ajak bapak petugas bandara tadi. Kami pun menuju avron bandara. Sudah menunggu dalam keadan mesin hidup pesawat Susi Air yang akan membawa kami dari Tarakan ke Malinau, Provinsi Kalimantan Utara. "Selamat pagi..selamat datang dalam penerbangan Susi Air,"sapa co-pilotnya. Dari tubuhnya dan logat bicara Indonesianya, saya duga co-pilot tersebut orang Eropa/bule. 

Kami diatur duduknya. Ternyata penumpang hanya kami berlima, ditambah pilot dan co-pilot total kami tujuh. Jika full bisa 12 orang. Penumpang tidak boleh pindah, diatur posisi kiri dan kanan pesawat agar seimbang. Semua penumpang sepanjang penerbangan wajib pakai sabuk.  Saya duduk di kursi paling depan, di belakang co-pilot.

Sungai menguning diduga aliran tambang bauksit (foto: edipetebang)
Sungai menguning diduga aliran tambang bauksit (foto: edipetebang)

Setelah persiapan selesai, pelan-pelan pesawat bergerak di landasan pacu. Karena body pesawat yang kecil, rendah, rasanya seperti  naik bis. Pas ketika berjalan di landasan pun serasa naik bis. Itulah saya menyebut pesawat ini bis terbang.

Ini penerbangan pesawat baling-baling yang pertama kalinya bagi saya. Rasanya betul ngeri-ngeri sedap. Betapa tidak, pesawatnya meliuk-liuk, turun naik menghindari awan. Ketinggian pesawat ini pun hanya diatas awan terendah dari bumi. Di bawah dengan jelas kelihatan sungai, daratan, pemukiman, pepohonan , hewan ternak dan sebagainya.

Di dalam pesawat, serasa dalam bis (foto: edipetebang)
Di dalam pesawat, serasa dalam bis (foto: edipetebang)

Jika melewati awan, terasa nyut, tiba-tiba turun, naik...seram. Dan bunyinya yang keras memekakkan telinga. Tapi jangan kuatir, kata orang-orang, resiko naik pesawat kecil lebih rendah jika dibanding pesawat jenis foker atau boeing apalagi airbus. "Kalau jatuh, palingan nyangkut di pohon kalau di hutan,"teman saya bergurau.

Sedapnya, sepanjang perjalanan kita bisa melihat kiri kanan pemandangan yang indah, awan putih yang membentuk aneka rupa, kelok-kelok sungai, hutan dan aktivitas pertambangan bauksit yang kelihatan jelas dari udara. 

Yang juga membuat saya agak takut, ternyata yang menerbangkan pesawat bukan pilot, tapi copilot atau seseorang yang sedang magang/belajar. Yang menyapa kami ketika masuk pesawat, duduk di sebelah kiri pilot, yang kami sangka co-pilot yang bule tadi, ternyata mengajari saja.  Sepanjang perjalanan co-pilot tersebut menunjukkan tombol-tombol, sesekali membuka buku manual dan sesekali membuka tablet. "Wah ..semoga semuanya aman dan lancar," dalam hati saya sembari menguntaikan doa-doa. Memang dalam perjalanan naik motor, mobil, pesawat, kapal, dll, saya selalu berprinsip bahwa sopir/nakhoda pasti orang yang mampu, yang terampil. Sehingga saya oke-oke saja melakukan perjalanan kemanapun, naik moda apapun.  

Pilot jadi co-pilot (foto: edipetebang)
Pilot jadi co-pilot (foto: edipetebang)

Terbang setengah jam, pesawat pelan-pelan turun dan mendarat dengan mulus di bandara Robert Atty Bessing, Malinau. Lega...sampai juga akhirnya.

Rapat territory management credit union anggota Puskopcuina (foto: wily, puskopcuina)
Rapat territory management credit union anggota Puskopcuina (foto: wily, puskopcuina)

Terima kasih Pusat Koperasi Credit Union Indonesia, PUSKOPCUINA (www.puskopcuina.org) yang memungkinkan saya mendapat sensasi unik naik pesawat kecil pertama kalinya, pertama kali pula saya ke Provinsi Kalimantan Utara. Saya bersama Bu Rita Sarlawa, bendahara Puskopcuina dalam penerbangan ini. Saya memandu rapat territory management credit union anggota Puskopcuina di wilayah Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Utara. Puskopcuina adalah federasi nasional koperasi credit union Indonesia yang beranggotakan 46 Credit Union tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Papua dan Maluku. 

Buaya, lambang Desa Pulau Sapi (foto: edipetebang)
Buaya, lambang Desa Pulau Sapi (foto: edipetebang)

Terima kasih CU Femung Pebaya, angggota Puskopcuina, CU yang melayani anggota di Kabupaten Malinau yang menjadi host pertemuan ini. Lokasi kegiatan di desa wisata Pulau Sapi. Unik, namanya Pulau Sapi, tapi tidak ada sapinya. Malah lambang desanyanya adalah buaya. Itulah keunikan Indonesia, kekayaan Nusantara yang harus dijaga.

Tanah kuni di belakang saya, sampai ke arah bukit di kejauhan, disana sedang dibangun PLTA Mentarang Induk (foto: edipetebang)
Tanah kuni di belakang saya, sampai ke arah bukit di kejauhan, disana sedang dibangun PLTA Mentarang Induk (foto: edipetebang)

Desa ini ditepi sungai Mentarang, Kecamatan Mentarang. Di bagian udik sungai Mentarang ini sedang dibangun proyek nasional, PLTA Mentarang, sebuah proyek raksasa yang diproyeksikan mampu memenuhi kebutuhan listrik di Provinsi Kaltara. ***   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun