[caption id="attachment_249882" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (kompas.com)"][/caption] Setelah jalan-jalan di 32 ibukota propinsi Indonesia dan jalan-jalan di 14 negara Asia lainnya, ada beberapa kondisi pariwisata Indonesia yang saya amati bisa ditingkatkan dengan meniru strategi wisata negara lain. 1. Fokus. Malaysia, Singapura, dan Brunei bisa dibilang tidak punya banyak obyek wisata. Oleh karena itu mereka fokus pada obyek wisata yang jumlahnya sangat sedikit. Malaysia fokus pada Malaka, Langkawi, Penang. Singapura fokus pada wisata belanja dan pulau sentosa, sedangkan Brunei fokus pada kampung Ayer dan Masjid-masjidnya. Indonesia seperti juga Filipina, punya banyak tujuan wisata tapi tidak ada yang fokus. Semua obyek wisata ditampilkan tetapi membuat turis bingung mau kemana dulu. Berkali-kali Bali yang akhirnya ditonjolkan, padahal Bali sudah terkenal tanpa promosi lagi. Mengapa tidak setahun hanya fokus dua atau tiga propinsi saja (dalam promosi dan iklan). Semua propinsi tetap berkembang wisatanya tapi dipilih yang akan dipromosikan, bisa dalam bentuk konferensi internasional, lomba international, setting film box office, atau media promosi lainnya. Tahun berikutnya ganti propinsi lain yang digarap. Tidak adanya koordinasi membuat pada tahun 2012 ada banyak propinsi yang membuat agenda kunjungin wisata yang berlangsung bersamaan. 2. Turis domestik Pemerintah seakan hanya perduli dengan turis asing dan mengabaikan turis domestik. China dan India adalah negara yang sadar betul dengan jumlah penduduknya yang banyak turis domestik adalah potensi yang sama besarnya. Tiket masuk tempat wisata di India jauh lebih murah untuk turis domestik daripada turis asing. Masuk Taj Mahal 20 rupee untuk warga India dan 750 rupee rupiah untuk turis asing. Kita bisa ke tembok besar China di Bedaling dengan naik bus umum dari kota Beijing dan sebagian besar penumpangnya adalah warga China sendiri. Pada saat turis asing turun drastis di Bali karena Bom, barulah turis domestik mulai diperhatikan. 3. Bahasa Sopir tuk-tuk di Kota Siem Reap, Kamboja, penjual makanan kaki lima di Bangkok, atau pedagang di Ben Tanh market Ho Chi Minh City, Vietnam sangat percaya diri berbahasa Inggris, bahkan berbahasa melayu untuk melayani turis asing. Sebagian besar memang tidak jelas atau ada kesalahan, tapi percaya diri dan keinginan besar untuk berkomunikasi membuat turis asing bisa berinteraksi dengan mudah. Mungkin baru Bali yang bisa seperti itu. Percaya diri ini yang harus dipupuk. Tukang becak di Yogya atau Semarang, sopir Bajay di Jakarta, penjual Nasi Kapau di Bukit Tinggi seharusnya percaya diri untuk berbahasa Inggris untuk menarik turis asing. Minimal kata-kata penting, misalnya angka, tujuan, dan waktu. 4. Turis backpacker Banyak orang Indonesia menganggap turis adalah orang kaya yang akan menghambur-hamburkan uangnya, kemana-mana naik taksi, makan di restoran, menginap di hotel berbintang. Padahal turis backpacker sangat banyak dan mempengaruhi opini tentang suatu tempat dan tujuan wisata. Mereka adalah turis yang benar-benar menikmati dan merasakan suatu tempat, mengamati dengan cermat, dan berinteraksi dengan masyarakat lokal. Komentar, tips, artikel, dan reportase dari backpacker mendominasi blog, majalah, dan komunitas traveler. Thailand adalah negara yang paling ramah pada backpacker. Penginapan murah, transportasi lokal yang aman dan handal, makanan kaki lima yang murah dan enak, masyarakat yang tidak membeda-bedakan kelas, tarif masuk tempat wisata yang terjangkau, imigrasi dan visa yang jelas, sangat kondusif dan menarik bagi backpacker seluruh dunia (termasuk dari Indonesia). 5. Memanfaatkan internet Myanmar yang pemerintahnya tertutup tapi memiliki obyek wisata menarik membuat travel agen di negara tersebut membuat situs yang sangat menarik dan informatif. Pertama kali ke Yangoon pada tahun 2009, saya bisa mengurus pre-approval visa on arrival melalui salah satu agen travel di kota tersebut hanya dengan komunikasi email. Tidak hanya foto-foto obyek wisata, tetapi juga bagaimana cara mencapai, harga tiket masuk, waktu yang diperlukan dan keunikannya selalu dicantumkan lengkap di banyak situs wisata negara tersebut. Meskipun kita tidak memesan paket dari agen tersebut kita tetap bisa mendapat informasi yang cukup lengkap dan akurat. Indonesia yang memiliki obyek wisata lebih banyak dan lebih terbuka seharusnya memiliki situs internet wisata yang lebih bagus dan banyak. 6. Wisata sejarah Indonesia yang memiliki sejarah panjang tidak pandai memelihara peninggalan sejarah. Gedung-gedung tua bersejarah tidak terlihat megah dan unik, lebih terasa merana dan suram. Salah satu obyek wisata di Penang, Malaysia adalah gedung-gedung kolonial yang terawat dan masih dipakai sampai saat ini seperti juga di The Bund Shanghai, China. India yang kotor, kumuh, berdebu, semrawut menggantungkan wisatanya dari peninggalan masa lalu baik berupa istana, mesjid dan benteng-benteng. Seperti di Taj Mahal, agar bangunan Taj Mahal tetap indah, jarak antara pintu masuk dan bangunan dibuat sangat jauh dan hanya bisa dicapai dengan jalan kaki. Selain agar batu marmer terhindar dari polusi asap kendaraan bermotor, keindahan bangunan juga terpisah dari jalanan kota Agra yang kotor dan semrawut. Pada saat berada di kompleks Taj Mahal, kita seakan-akan lupa sebelumnya harus melalui jalan berdebu, macet, semrawut, dan kotor untuk mencapai kompleks ini. Kompleks Taj Mahal benar-benar steril dari pedagang, pengemis, dan penganggu lainnya. 7. Things to do Dalam berbagai artikel atau forum internet tentang obyek wisata, Things to do adalah salah satu bagian yang penting. Dengan mengetahui 10 hal yang harus dilakukan di Luang Prabang, Laos misalnya, kita bisa memperkirakan waktu yang diperlukan atau menyusun itinerary (urutan perjalanan) dengan tepat. Tidak semua kota di Indonesia menetapkan things to do sehingga kalau ada turis yang mencari informasi, tidak selalu mendapatkan gambaran yang lengkap dan mewakili. Fokus dan prioritas adalah kuncinya. Misalnya dibuat things to do di Semarang adalah mengunjungi Lawang Sewu, masuk ke Geraja Blenduk, merasakan suasana pagi di pasar tradisional di Pecinan, makan soto ayam, makan lumpia, naik becak mengelilingi kota tua, bersantai di Simpang Lima, melihat pemandangan malam kota Semarang bawah dari Gombel, naik ke menara di Masjid Agung Jawa Tengah, dan membeli oleh-oleh di jalan Pandanaran. Dengan menetapkan things to do, juga memudahkan membuat paket city tour. Tidak ada salahnya menerapkan strategi wisata di negara lain untuk meningkatkan kunjungan turis, tentunya dengan penyesuaian tertentu. Tidak perlu studi banding yang mahal untuk mengetahui kekurangan pengelolaan wisata di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H