Aku pengembara. Hidupku mengembara. Berjalan mengendarai angin. Berbekal rindu. Kerinduan yang tak kan padam. Meski gemuruh badai menyambar. Ya, tekadku sudah bulat. Tak peduli berapa ribu lagi langkah kaki akan kupijakkan. Mengikuti hasrat yang telah lama terpendam.
Hampir sepuluh tahun. Masih tergambar dengan jelas ingatanku padanya. Sekarang rindu itu benar-benar nyata. Pergantian waktu kembali mempertemukanku padanya. Menggelembung memenuhi kekosongan hati. Simpang siur keberadaannya akan terus mengusik. Sebelum mata ini menatapnya. Dunia tetaplah penjara. Setiap nafas mengingatkan kata-kata manis yang tersusun dari kedua bibir manisnya. Begitu indah. Syair pujangga manapun tak akan sanggup menyamai. Meski ia bukan penyair. Kekaguman yang sangat. Sekejap menjelma asmara. Membelenggu setiap sudut tawa. Kini aku lebih dari seorang pemabuk. Terlanjur Kucandu cintanya. Tak akan berhenti sebelum menemukannya.
Suluk sang fajar menggema. Bagai genderang dimulainya perjalananku. Ku bawa bekal seadanya. Kugenggam erat tongkat asaku. Langkah demi langkah mulai kupijak. Tak henti ku panggil-panggil nama itu sepanjang jalan. Kulewati hutan. Sungai-sungai. Berharap angin menyampaikan kabar kerinduanku padanya. Arus yang akan menyeret gumpalan-gumpalan hasrat menuju lautan. Menguap melayang-layang di atas awan. Berubah menjadi partikel-partikel. Menjelma awan hitam. Menjadi tetesan hujan. Terbentur batu. Meneriakkan kerinduan. Berharap ia akan mendengar. Merasakan apa yang kini kurasa.
Kegelisahan menggoyahkan langkah kaki. Kala kegelapan menyelimuti kesendirian. Menghalangi setiap pandangan. Keraguan menghantam ragaku. Aku terkapar. Tak sadarkan diri. Namun angan terus melayang. Mengikuti detik masa. Hinggap di sela-sela dedaunan. Terombang-ambing angin. Tergeletak di bebatuan. Bermandikan debu. Jatuh kekubangan. Terseret air. Terhenti sejenak disemak-semak. Tertusuk duri. Tubuh terasa lelah. Mulut terasa kering. Ku coba bangkit. Kutahan rasa sakit. Kuseret tubuhku. Kusandarkan kepohon cemani. Kutenangkan pikiran. Menelan butiran ludah. Rasanya nikmat. Sebentar kemudian berubah pahit. Sepahit hidup ini. Kutarik nafas dalam. Mengingat apa yang telah terjadi.
Gelap membutakanku. Arah mana lagi yang akan tempuh. Tubuhku lemas tak berdaya. Ingatanku padanya sirna. Dingin menyelimuti tubuh. Seakan membisikkan ketidakmampuan. Gesekan tiap ranting pepohonan berubah menjadi tawa. Menertawakan asaku. ”Engkau kerdil. Tak pantas kau mencarinya. Engkau munafik. Tak patut kau menemuinya.” Suara itu yang selalu terngiang di ubun-ubun kepalaku. Aku terbujur kaku. Pikiran, hasrat menggelora bercampur dengan ragu. Hati kecilku berteriak. Melawan setiap bujukan nafsu. “Hentikan, setan keparat” jawabku. Mereka tertawa keras, “ Hahahaha,hahaha…” Semakin keraguan menyelimuti, tawa itu semakin keras.
Lama kutahan keraguan yang menghalangi. Gelap berubah sunyi. Tak ada suara lagi. Kupejamkan mata. Jiwaku sedikit tenang. Sesaat kemudian kulihat cahaya melayang-layang di atas cakrawala. Aku bangkit berlari menghampirinya. Langkahku terhenti.Mendengar suara saut-menyaut. Menggema dibalik cahaya itu. “Kau sudah gila, kau sudah gila.” Berulang-ulang kata itu kudengar. Suara gelak tawa turut mengiringi suara itu. Kutepuk pipi kananku perlahan. Tak terasa. Kucoba sedikit agak keras. Masih saja sama. Kutepuk lagi lebih keras lagi. Lebih keras. Hingga tanganku bergetar. Masih saja sama. Aku mulai sadar. Kegelisahanku telah membawaku kealam mimpi.
Jika memang aku sudah gila. Kenapa aku masih merasakan sakit. Tak mungkin aku gila. Gila itu senang. Kalaupun aku gila pasti dunia ini adalah kebahagiaan. Bagiku dunia ini adalah kesengsaraan. Dunia ini hina. Penuh dengan penderitaan. Hidupku bukan untuk kesenangan. Melainkan khayalan penuh kepalsuan. Tak ada yang nyata dalam hidup. Semua itu sandiwara. Penuh kebohongan. Derai tawa hanyalah linangan air mata. Kesedihan cuma sesaat. Kegembiraan adalah fatamorgana tanpa materi.
Mereka tak sadar bahwa dunia ini penjara. Hidup tersungkur dibalik terali. Hidup ini gelap. Kalaupun siang datang jiwa akan merasa gelap. Hidup ini malam hari. Manusia buta kalau tanpa cahaya. Jika ingin cahaya. Engkau harus mi’roj. Naiklah mengendarai apa saja. Udara. Angin. Terserah dengan apa engkau naik. Mencapai setiap sab-sab langit. Mencari secercah cahaya. Agar tahu mana timur mana barat. Mana utara mana selatan. Tahu bahwa didepanmu ada lubang. Sehingga kau tidak terjerembab. Sebab jalan ini penuh liku.
Sinar matahari menyingkap gelap perjalananku. Tak ku pedulikan lagi. Keraguan itu telah kutepis. Semua itu hanyalah jalan terjal yang ku lewati. Namun suara itu masih saja mengikuti langkahku. “Tak peduli apa yang kau katakan. Sekali kata terucap, akan aku lakukan. Meski berjuta-juta rintangan menghalangi. Derap langkah kaki tak akan pernah berhenti. Sampai nyawa terlepas dari raga ini” teriakku. Suara itu semakin keras. Menggedor-gedor pintu kamarku. “Hoe, tangi hoe, subuhan,subuhan” aku baru sadar, bahwa itu suara Keamanan pondok. Tamatlah riwayatku sebagai seorang pengembara mencari cinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H