Mohon tunggu...
Daniella Jaladara
Daniella Jaladara Mohon Tunggu... -

aku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Taksi Kehidupan Pengantar ke Surga

17 November 2011   06:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:33 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_149587" align="aligncenter" width="600" caption="diambil dari: nixniz.deviantart.com"][/caption]

Allah selalu memiliki cara untuk mengantarkan umat yang disayangi-Nya menuju surga. Sebuah pelajaran berharga yang aku dapatkan di tengah macetnya Jakarta.

Hari ini aku bersilaturahmi ke Dompet Dhuafa cabang Sudirman yang jaraknya cukup jauh dari kantor Migrant Institute yang ada di Kramat jati. Niat awalnya sih pengin nyobain naik bus way sendiri, sesuai arahan Ust. Fauzi biar tahu lebih banyak tentang Jakarta dan tentu lebih ekonomis. Setelah tanya-tanya ke Mbak Vivi dan Ust. Adi, staf Migrant Institute, ternyata kalau nekat naik bus way cukup ribet juga.

Jadi begini kira-kira. Dari Kramat jati naik ojek sampai suatu daerah yang namanya aku lupa terus. Nah, katanya dari sana terus naik angkot ke pasar Kramat Jati, terus naik bus way sampe UKI, terus ganti lagi ambil bus way yang ke Sudirman dan turun di Jl. Setiabudi, kalau enggak salah. Nah, dari sana katanya gampang, tinggal cari Wisma Graha Santana lantai 10. Memang sih kalo dibayangin ribetnya enggak ketulungan, belum lagi ditambah bumbu macet, nunggu angkutan yang lama plus panas plus debu plus males. Alhasil karena kebanyakan dibayangin, imbasnya raut wajahku jadi enggak jelas. Akhirnya Ust. Adi menyarankan aku naik taksi saja yang lebih praktis.Tentu dengan konsekuensi harga yang otomatis amat mahal. Apalagi kalau ditambah macet!

Ah, daripada mengikuti rute ketidakpastian akhirnya aku rela merogoh kocek lebih dalam demi membeli sebuah kenyamanan perjalanan dan tentu menghindari terbuangnya waktu sia-sia. Harusnya pemerintah mampu menyediakan alat transportasi yang baik bagi rakyatnya. Yah, tapi inilah Indonesia. Meski pemerintah mendeklarasikan bahwa Jakarta adalah kota budaya dan kota penuh pesona seperti yang aku baca dari sebuah kertas selebaran Sea Games berwarna biru, tetap saja aku kesulitan menemukan “pesona” Jakarta di balik kemacetan dan kesemrawutannya.

Sepertinya negeri kita perlu lebih banyak orang yang lulus kuliah di infrastruktur perencanaan kota, mengingat begitu mendesaknya perbaikan dan tata letak kota yang nyaman dan aman untuk ditinggali masyarakat urban. Perpindahan laju penduduk desa ke kota tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja dan fasilitas umum yang disediakan oleh pemerintah untuk rakyatnya. Sehingga timbul kesenjangan-kesenjangan yang menjadi akar penyebab kejahatan yang merajalela di kota-kota.

Nah, cerita punya cerita, aku termasuk seseorang yang kurang suka dengan ojek. Kalau boleh memilih mendingannaik becak atau naik delman saja. Sialnya kedua angkutan favorit itu tidak tersedia di sini. Jadi mau enggak mau kudu ngojek. Abang-abang ojek yang membawaku menuju tempat tujuan ini cukup berumur (sengaja milih si Abang). Meski ngojek ini menurut sebagian banyak ulama “tidak baik” tetapi mau bagaimana lagi, tak ada transportasi lain yang bisa aku gunakan. Maka aku niatkan saja untuk membantu si Abang, pastinya si Abang ini punya keluarga yang harus dinafkahinya.

Setelah selesai urusan ojek-mengojek, kebetulan banget ada taksi yang lewat. Bukan grup dari burung biru, tapi ini metropolitan punya. Si bapak sopir sangat ramah.

“Assalamualaikum. Wisma Graha Santana Sudirman, Pak”

“Waalaikumsalam. Iya, Neng. Bismillah …”

Taksi meluncur membelah panas Jakarta. Aku komat-kamit berdoa semoga enggak terjebak macet. Selain akan kehabisan waktu, juga pastinya akan kehabisan uang.

Selama perjalanan, aku duduk di kursi belakang sambil baca buku dan membalas beberapa email lewat iPad dan sesekali bertanya kepada Pak Supir. Pak supir taksi sepertinya sangat hati-hati sekali menjawab pertanyaanku bahkan terkesan irit jawaban. Penasaran juga. Akhirnya aku tutup buku dan iPadku, mungkin si bapak takut menggangguku yang cukup khusyuk dan sesekali mengernyitkan alis mata memandangi email enggak jelas yang memenuhi kotak spam.

“Neng kuliah di mana?” Akhirnya si Bapak membuka pembicaraan.

“Waah, alhamdulilah saya sudah kerja, Pak. Kuliahnya sudah selesai.”

“Oh, Neng dah lulus kuliah ya? Kirain Bapak, masih kuliah.”

“Kenapa memangnya, Pak?”

“Neng sepertinya sepantaran dengan anak bapak nomor pertama. Sekarang baru kelas dua SMK. Bapak pengin tanya, di mana kuliah yang murah. Biar anak Bapak bisa kuliah. Sayang, Neng, anak Bapak selalu juara. Tapi Neng tahu sendirilah Bapak kan cuma sopir. Tadi pas melihat Neng, Bapak ingat anak Bapak di rumah.”

Dan cerita demi cerita mengalir dari mulut si Bapak taksi, meski matanya tetap awas mengawasi jalanan.

Dia bilang, dulunya dia bersama istri dan kedua anaknya tinggal di Jakarta. Anak-anaknya pun sekolah di Jakarta. Berhubung perekonomian semakin hari semakin buruk, terpaksa keluarganya pindah ke kampung halaman mereka di Demak sana. Istri Pak Sopir membantu perekonomian keluarga dengan berdagang makanan. Lumayan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan Pak Sopir sendiri hanya bisa mengirimkan uangnya sebulan sekali untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Sering kali enggak cukup. Makanya, Pak Sopir hanya bisa menengok keluarganya sekitar 4-5 bulan sekali. Miris!

“Kalau ada kesempatan, saya ingin ketemu Pak SBY, Neng.”

“Hah? Pak SBY, Pak? Boleh tahu kenapa ingin ketemu SBY, Pak?”

“Bapak ingin SBY menyekolahkan anak saya, Neng. Anak saya pinter, pengin sekali kuliah katanya. Tapi saya pastinya enggak akan mampu.”

Wajah Bapak taksi terlihat sangat getir.

“Insya Allah, Pak, kalau ada kemauan pasti ada jalan. Bapak bisa mengajukan beasiswa. Nanti kalau Bapak perlu informasi lebih lanjut Bapak bisa menghubungi saya,” ujarku sambil meletakkan kartu nama di kursi depan.

Tiba-tiba ada seseorang menelepon Pak Sopir. Aku menelepon Ust. Fauzi dan mengabarkan aku sudah sampai di Semanggi.

“Astagfirullah, Neng. Selama 16 tahun Bapak menjadi sopir taksi baru kali ini mendapat cobaan seperti ini.”

“Kenapa, Pak?”

Pak sopir menghela napas dalam-dalam.

“Ini lho, Neng. Tadi pagi Bapak mengangkut penumpang. Ia mengakunya seorang pengacara, perempuan. Tapi subhanallah, Neng. Ibu pengacara itu setelah minta diantar keliling-keliling sampai habis 300 ribu lebih, sambil sepanjang jalan saya mendengarkannya bercerita, ia meminta saya mengantarkannya ke hotel dan menemaninya tidur. Beliau menyodorkan uang dua juta kepada saya.”

“Allahu Akbar.”

“Sepanjang jalan ibu pengacara itu cerita bahwa suaminya selingkuh. Tapi bahasa kebun binatang keluar semua. Ibu itu marah-marah sambil menangis. Tapi marahnya seperti marahin saya. Lalu dia sempat meminta nomor saya, katanya biar sewaktu-waktu perlu taksi dia tinggal telepon saja.”

“Oh, jadi yang barusan telepon Bapak itu ibu pengacara tadi, ya Pak?”

“Iya, Neng. Bapak biarpun tak punya uang sepeser pun untuk makan, takkan pernah mengkhianati keluarga Bapak. Terutama mengkhianati Allah, Neng. Naudzubillah.”

Cerita semakin mengalir seperti lautan kendaraan yang mengular di lampu merah. Banyak petuah-petuah hidup yang aku dapatkan dari Bapak taksi. Subhanallah, benar kata nabi, Jangan melihat siapa yang menyampaikan, tapi lihatlah apa yang disampaikannya.” Aku tahu Bapak taksi tak pernah diberi kesempatan untuk belajar bagaimana menjadi seorang guru yang baik dan bermanfaat, tapi pengalaman dan kebijaksanaan serta kecintaannya kepada keluarga adalah prestasi yang memotivasiku untuk belajar memahami dan menjalani hidup lebih baik lagi. Pengalaman hidup yang disertai iman yang kuat telah membentuk Pak Supir menjadi seorang imam yang tak hanya mampu mengimami dirinya, tapi juga mampu menginspirasiku untuk berlomba dengannya dalam mengerjakan kebaikan.

Mungkin bagiku taksi ini ‘hanyalah’ kendaraan yang mengantarkanku ke tempat tujuan, tapi bagi dia, taksi ini adalah kendaraan untuk mengantarkan keluarganya, anak-anaknya menuju gerbang kehidupan yang lebih baik. Bahkan untuk Pak Sopir sendiri, taksi ini adalah kendaraannya menuju surga. Insya Allah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun