Berita Indonesia, Juli 2011
Sastra Buruh Migran Indonesia atau Sastra BMI berkesempatan mendapat apresiasi dari kalangan sastrawan, ahli sastra, dan penikmat sastra Tanah Air dan internasional. Kesempatan tersebut diperoleh setelah salah seorang penulis dari kalangan BMI Hong Kong, yakni Jaladara, berhasil masuk dalam deretan nama penulis yang menjadi pemenang Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2011.
Jaladara (nama aslinya Aulia Nurul Adzkia) berhasil menjadi pemenang lewat cerpennya berjudul Surat Berdarah untuk Bapak Presiden. Atas keberhasilan itu, selain Jaladara diundang sebagai peserta UWRF) 2011 yang akan diselenggarakan di Ubud, Bali, pada 4-9 Oktober 2011 mendatang, karyanya juga akan dibukukan bersama karya sejumlah pemenang UWRF lain. Setiap karya dalam buku tersebut akan disajikan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Keberhasilan mojang kelahiran 2 Mei 1987 itu tampil di festival sastra bergengsi sekelas UWRF juga sekaligus membuktikan bahwa karya sastra karya BMI Hong Kong tidak saja memiliki nilai sastra, tetapi juga telah mampu “berbicara” secara kualitas literer.
Kepada Berita Indonesia, Jaladara yang juga alumnus St.Mary’s University, Hong Kong, itu mengungkapkan rasa syukurnya atas hasil tersebut. “Ini kesempatan emas buat memperkenalkan sastra BMI, Mas,” ungkap penulis antologi cerpen Un Dan’s L’Eternite dan Senja di Pesisir Tsing Ma itu.
Di UWRF 2011 di Ubud, Bali, yang nanti juga akan dihadiri oleh perwakilan lebih dari 30 negara dan penulis-penulis pemenang Nobel Prize Internasional, perempuan yang juga meraih BISA AWARD 2011 untuk kategori Tenaga Kerja LN Berprestasi (penulis/novelis) ini benar-benar akan menjadi duta sastra BMI. Jaladara dijadwalkan akan menjadi pembicara dalam beberapa event diskusi.
Di event-event tersebut, kepada Berita Indonesia Jaladara berjanji bakal mengangkat sastra buruh migran. Ini untuk pertama kalinya karya sastra buruh migran diangkat ke forum Internasional.
UWRF 2011 merupakan yang ke-8 kali diselenggarakan. Tema kali ini adalah “Nandurin Karang Awak”, diinspirasi oleh salah satu kalimat dalam geguritan “Salampah Laku”, puisi panjang tradisional yang ditulis oleh Kawi-Wiku (pendeta-sastrawan) Ida Pedanda Made Sidemen.
Dalam geguritan itu Ida Pedanda Made Sidemen menyatakan,”…idep beline mangkin, makinkin mayasa lacur, tong ngelah karang sawah, karang awake tandurin…” (kehendak kakanda sekarang, mulai melakukan tapa kesederhanaan, tidak memiliki tanah sawah, maka tubuh dirilah yang ditanami).
Mengolah diri sendiri sebagaimana mengolah sawah--menyebarkan benih kebajikan, memotong rumput-rumput keinginan, serta memanen dengan seksama agar hanya biji budi terbaik yang dihasilkan--merupakan konsep filosofis penting dalam tataran spiritual Bali.
Dalam tataran keseharian, pernyataan Ida Pedanda Made Sidemen mencerminkan rasa optimis dari kelompok manusia yang tidak memiliki tanah--baik karena kemiskinan, pilihan , maupun karena pengasingan--, tetapi masih memiliki keyakinan pada kemampuan dan potensi diri pribadi mereka masing-masing.