Koruptor pun sedikit rasa bersalah dan takutnya. Hal ini dikarenakan ia masih memiliki banyak jasa bagi golongannya. Ia tidak akan takut untuk dikucilkan. Entah itu oleh masyarakat maupun media mainstream.
Membuat hukuman bagi koruptor di negeri sangat sulit. Karena itu tadi semua berharap masih ada celah untuk pada akhirnya buat ngopeni golongan, komunitas, bahkan partainya.
Padahal ada mekanisme pendanaan yang telah diatur oleh Undang-Undang. Tetap saja ada ketamakan golongan karena kuasa. Harus ada semacam rel pengucilan kelompok tertentu yang anggotanya terkena kasus korupsi. Sehingga malu yang ditimbulkan itu meliputi seluruh kelompoknya tidak hanya orang per orang.
Jika bisa begitu membangun rasa malu korupsi dari pribadi, kelompok dan partai. Tidak malah saat anggota menjadi tersangka, mengadakan konferensi pers dan tidak ada kata maaf dan menyesalkan. Sehingga kesannya korupsi suatu hal biasa bukan sebuah kesalahan meski kita juga menganut asas praduga.
Setelah kejadian ini pasti akan banyak elite partai politik yang membangun opini. Ada pihak merasa terdzolimi, klaim ada intervensi bahkan ada yang merasa sok suci. Sungguh semua tidak ada intropeksi antar partai-partai sendiri.
Padahal semua itu dilakukan hanya untuk mendongkrak elektabilitas masing-masing partai. Mikirnya masih mikir sendiri, tidak ada pemikiran untuk NKRI agar terhindar dari borok korupsi. Nyatanya mayoritas partai pasti mempunyai pengalaman kader partai ada yang korupsi.
Jelas ini bukan tradisi yang baik bagi generasi. Jika begini terus korupsi akan menjadi tradisi dari generasi ke generasi. Akan menjadi sumber bancaan abadi bagi para kaum politisi yang diberi legalisasi.
Ah Negeri, ngeri jika harus melihatmu terus dikebiri dari generasi ke generasi...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H