Mohon tunggu...
Jainal Abidin
Jainal Abidin Mohon Tunggu... Wiraswasta - jay9pu@yahoo.com

Wiraswasta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Memerdekakan Mengajar

29 September 2022   21:13 Diperbarui: 29 September 2022   21:21 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kegiatan belajar merupakan suatu proses. Dalam sebuah proses sebaiknya tak ada pemaksaan.  Sehingga peserta didik yang berproses di dalamnya tidak merasa tertekan. Bisa dengan riang menikmati proses yang berlangsung. Pada akhirnya hasil dari proses belajar dapat maksimal.

Di harapkan dalam proses tersebut sejauh mungkin menghindari kata-kata negatif. Kata-kata yang tidak baik dari sisi moral dan adat istiadat sebagai orang timur khususnya orang Indonesia.  Kata-kata yang menyebabkan terjadinya bulying dalam pendidikan. Serta kata yang tidak baik menurut agama yang bisa menurun-drastiskan semangat belajar pada anak didik.

Kurikulum yang berubah tidak usahlah membuat para pendidik stress. Sehingga membuat mud mengajar tidak nyaman. Laksanakan saja, kurikulum ini sebagaimana anak yang selalu dibelikan mainan baru dari orang tuanya. Sehingga peran pendidikan adalah mengekplor kurikulum untuk keberpihakan dan kenyamana peserta didik. Pada akhirnya, kurikulum apapun tujuan akhirnya adalah memerdekakan pembelajaran peserta didik mendapatkan proses belajar se-nyaman dan se-menarik mungkin sesuai dengan kapasitas dan kemampuan sekolah/madrasah masing-masing.

 Kajian di jenjang Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah, Menurut Karmila Wardhana, S.Psi proses belajar pada anak dikelompokkan dalam dua kategori. Kategori pertama adalah kelas rendah yang terdiri dari mulai kelas 1 SD/MI sampai kelas 3 SD/MI.  Kategori kedua merupakan kategori kelas atas  yang terdiri dari kelas 4 SD/MI sampai kelas 6 SD/MI. Masih menurut Wardhana keduanya memiliki ciri khas tersendiri diantaranya:

  • Kelas 1-3 SD/MI 

 Anak-anak di kelas bawah masih menapaki masa transisi dari taman kanak-kanak yang aktivitas belajarnya dilakukan sambil bermain ke jenjang sekolah dasar yang formal. Tuntutannya, mereka diharuskan untuk banyak berada dalam kelas dan duduk tenang memperhatikan penjelasan guru serta mengerjakan berbagai macam tugas.

Tuntutan tersebut tentu saja menyulitkan karena sebenarnya murid-murid kelas rendah masih dalam usia bermain. Sayangnya, banyak orang tua, bahkan guru, melupakan ciri khas usia ini. "Anak kelas 1 sampai kelas 2 belum bisa diharapkan duduk lama karena rentang perhatiannya maksimal sekitar 15 menit. Jadi mereka sebenarnya bukan nakal kalau enggak bisa diam di kelas."

Pahamilah bahwa perubahan-perubahan dari jenjang TK ke SD/MI sering membuat murid kelas rendah "ketakutan" (schoolphobia). Berkaitan dengan masa transisi ini pula, seperti dituturkan Mila, orang tua serta guru mesti peka dengan kemungkinan munculnya schoolphobia  pada anak.

Agar anak dapat melalui masa transisinya dengan mulus, orang tua serta guru dapat membantu dengan memberikan motivasi belajar yang tepat menurut ciri khas anak usia kelas 1 sampai kelas 3 SD/MI yang kurang lebih berusia antara 6-8 tahun. Beberapa ciri khusus yang dimiliki anak kategori kelas bawah:

-Belajar sambil bermain 

 Pada prinsipnya hampir sama dengan cara belajar anak TK. Namun, untuk anak SD maupun MI alihkan saja ke cara bermain yang lebih konstruktif. Sebagai contoh dalam mengajar Matematika, guru menggunakan cokelat sebagai media pembelajaran. "Tolong ambilkan Bu guru 2 cokelat, dong. Nah, di tangan Ibu sudah ada 1 cokelat. Ibu jadi punya berapa cokelat sekarang? kemudian dilanjutkan dengan mengenalkan bentuk-bentuk cokelat dan seterusnya (di sesuaikan dengan kreatifitas guru masing-masing).

Sesuai dengan adaptasi pada anak dalam proses pembelajarannya. Semakin hari jumlah proses belajar pada anak semakin dikembangkan dan ditingkatkan. Pepatah mengatakan sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Begitulah proses belajar berlanjut sesuai dengan kadar kemampuan anak. Pada akhirnya kemampuan itulah yang kelak memunculkan dan melahirkan kemauan anak untuk selalu melakukan proses belajar. Lagi dan lagi. Itulah inti kemerdekaan pembelajaran dalam pendidikan Kurikulum Merdeka, memaksimalkan potensi setiap anak (afektif, kognitif dan psikomotorik) dengan tanpa membandingkan dengan anak yang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun