Kalau setiap calon legislatif (caleg) dan partai berlomba membuat iklan, konsekuensinya masyarakat yang notabene sebagai konsumen selayaknya meng-khiyar-kan suaranya. Partai atau caleg mana yang berani membayar lebih tinggi, maka partai dan caleg tersebut yang akan dipilihnya.
Masyarakat sudah terlampau cerdas, sehingga praktek-praktek demikian sudah dilakukan di luar kepala (baca: tanpa pikir panjang). Mereka melihat kesempatan dalam kesempitan. Kesempatan sekali dalam waktu 5 tahun.Â
Terlebih pengalaman bahwa yang dipilih bisa rukun dan damai meski beda pendapat. Tak jarang perbedaan tersebut memicu kata makian terhadap satu sama lain. Pada akhirnya, yang seperti itu hanya semacam tontonan karena dibelakang 'kamera' para tokoh politik bisa akur bahkan makan malam bersama.
Mayoritas terlanjur menganggap bahwa hal demikian sebagai rahasia umum, rahasia yang sudah umum diketahui bersama. Itulah logika masyarakat umum sekarang, karena pengaruh pengalaman yang buruk masa lalu sehingga mengukur semua dengan UUD, ujungnya-ujungnya duit.
Dalam transaksi, baik penjual maupun pembeli pasti mencari keuntungan ekonomis. Penjual kalau bisa dengan biaya sekecil-kecilnya mampu mengeruk laba sebesar-besarnya. Beda hal dengan pembeli yang menginginkan harga serendah-rendahnya. Kalau hal tersebut sampai diterapkan dalam berdemokrasi maka akan menciderai demokrasi. Demokrasi tidak akan menjadi asli dan tidak bisa menjadi nyata.Â
Demokrasi tak lagi mencerminkan suara mayoritas dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi hanya menjadi hasil proses manipulasi semata. Perbedaan dengan demokrasi sebelum reformasi, formalitas dan casingnya tetap akan tetapi prakteknya adalah demo-money dan permainan bagi-bagi uang saja.
Selain memang mengeluarkan dana yang cukup besar, pengaruh demokrasi juga sangat besar. Mulai pelaksanaan yang menggunakan dana APBN yang fantastis dari logistik tingkat pusat sampai daerah. Belum pengaruh terhadap industri percetakan  baik mencetak kertas suara maupun alat peraga kampanye (APK).Â
Apalah mau dikata kalau pencoblosan yang berada di bilik suara sudah terkondisikan dengan sistem orang bayaran semua. Petugas TPS dibayar oleh negara lewat formalitas sebagai pihak penyelenggara. Sedangkan pemilihpun juga mendapat bayaran dari calon yang akan dipilihnya meski tanpa formal legalitas jelas.
Ketika orang bisa membeli suara atas nama demokrasi, sudah menjadi jaminan orang tersebut bakal memiliki kuasa. Begitu juga, manakala menginginkan kelanggengan kekuasaan, cukup teken kontrak dengan berjuta lembar money tadi.
Dalam sistem demokrasi seperti ini, suara rakyat tak lagi berarti. Suara rakyat hanya penggambaran kekuasaan orang berduit yang dilegitimasi. Seperti sudah tidak ada harapan dengan adanya demokrasi model begini.
Dalam demokrasi sekarang ini, semua kebagian "kue" sesuai dengan tingkat kapasitasnya. Layaknya makelar dalam jual-beli, siapa yang paling berjasa dia yang akan mendapat bagian terbesar. Politisi-politisi kelas teri pun lahir dari pinggiran. Masyarakat pun terpaksa harus suka mencari segepok rupiah dengan cara ini.