[caption id="attachment_292931" align="alignnone" width="759" caption="sumber gambar:www.surya-aka.com, www.wikipedia.com"][/caption] Manusia diciptakan Tuhan dalam bermacam ragam. Baik itu rupa maupun sifat. Begitupun dalam hal cita rasa musik. Setiap manusia dibekali Tuhan cita rasa musik yang berbeda-beda. Tidak peduli apakah ia berkulit putih atau hitam, berhidung mancung atau pesek, bermata sipit ataupun lebar. Semua memiliki cita rasa musik yang berbeda-beda. Cita rasa akan musik atau selera musik dalam setiap diri manusia banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan keluarga tempat ia dilahirkan, lingkungan sosial tempat ia tumbuh besar dan lingkungan sekolahnya. Menurut salah satu penelitian (Bourdieu, 1979), bahwa selera itu tidak melulu bersifat netral dan alamiah akan tetapi muncul melalui suatu proses pembentukan. Pembentukan tersebut dimulai dari saat manusia dilahirkan. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi selera seseorang. Jadi menurut si Bourdieu, apresiasi seni membutuhkan proses pembelajaran yang panjang dan bukan hanya kesan sesaat. Proses pembentukan selera musik berupa pengenalan dan pembiasaan. Seseorang yang dikenalkan suatu jenis musik dan terbiasa mendengarkan jenis musik tertentu maka selera musiknya akan terarah pada jenis musik tersebut. Namun memang tidak selalu demikian. Karena ada faktor lain yang juga mempengaruhi yaitu lingkungan. Saya dibesarkan di dunia musik klasik yang kental karena ayah saya adalah penggila musik klasik. Karya karya Beethoven, Sebastian Bach, Chopin, Mozart dan lainnya, telah akrab ditelinga saya sejak saya kecil. Ternyata selera musik ayah saya tidak dominan berpengaruh terhadap selera musik anak-anaknya. Mempengaruhi memang iya namun tidak dominan. Kakak saya tergila-gila dengan musik Jazz sedangkan saya adalah penggemar Rock dan Blues (walaupun sebenernya saya menyukai segala jenis musik). Memang ada satu benang merah antara selera ayah saya dengan Jazznya kakak saya dan pilihan jenis neoclassical rock yang saya gemari. Dan memang saya sendiri hingga saat ini menyukai musik klasik terutama karya karya Vivaldi dan Chopin. Namun tetap saja bahwa saya dan kakak saya memilih atau terdorong untuk lebih menikmati jenis musik yang berbeda dari ayah saya. Terlepas dari pilihan selera yang diambil masing-masing individu, yang terpenting yang perlu di garis bawahi adalah bahwa selera itu tidak berdasarkan pada kriteria obyektif selera baik atau buruk. Masih menurut Bourdieu: “Selera (sebagai manifestasi preferensi) adalah penegasan praktis dari sebuah perbedaan yang tidak bisa dihindari. Bukanlah suatu hal yang bersifat insidental ketika sebuah selera harus membuktikan kebenarannya di hadapan selera-selera lain yang menolaknya. Masalah selera di segala bidang adalah bahwa seluruh usaha selera untuk mendapatkan tempat yang pasti dan tertentu, selalu berakhir pada ketiadaan dan dalam segala hal masalah selera mungkin adalah masalah yang pertama dan yang paling terkenal dalam menimbulkan rasa ketidaksukaan.” Jadi pada dasarnya tidak ada selera baik atau buruk. Selera yang dianggap buruk tidak perlu bersusah payah membuktikan apapun dihadapan selera-selera lain yang menolaknya bahkan mencibirnya. Seringkali kita mendengar pameo-pameo seputar jenis musik. Sebagai contoh musik klasik. Banyak anggapan bahwa musik klasik itu musik yang bercita rasa tinggi, musik kaum elit, kelas atas, musik yang tidak merakyat, musik mahal dan lainnya. Disisi lain kita ada stigma bahwa musik dangdut itu musik kaum pinggiran, kelas bawah, rakyat jelata dan lainnya yang sejenis. Kenyataanya di era modern sekarang ini, banyak kita temui musik dangdut diputar di masyarakat sosial yang berpunya dan sebaliknya musik klasik dan musik Jazz yang katanya musik kelas atas, ternyata sekarang telah digemari oleh hampir seluruh lapisan sosial masyarakat. Itu disebabkan karena masyarakat mungkin mulai menyadari bahwa selera musik itu bukanlah masalah kriteria baik ataupun buruk, tapi lebih kepada suka atau tidak suka. Nikmat atau tidak nikmat. Dan itu lebih didorong oleh cita rasa dari masing-masing individu. Kalaupun ada yang membedakan dari masing-masing jenis musik adalah kerumitan komposisi dan aransemen dari musik. Kebanyakan atau sebagian besar dari musik klasik memang dibentuk dan diciptakan oleh jalinan komposisi yang rumit dan aransemen yang njelimet. Sedangkan musik pop atau dangdut lebih kepada musik yang simple, praktis, mudah dicerna, gampang diterima telinga. Jadi bukan kepada stigma yang selama ini ada bahwa jenis musik tertentu hanya untuk kalangan tertentu. Bisa jadi seseorang yang berasal dari kalangan sosial kelas ‘atas’ memiliki preferensi dan lebih menikmati musik dangdut ketimbang musik klasik karena memang ia lebih menikmatinya. Demikian sebaliknya bisa jadi ada orang dari kalangan ‘bawah’ yang menyukai musik klasik karena memang ia menikmatinya. Jadi, nikmatilah musik apa yang jiwa kita menyukainya. Jangan memaksakan untuk menjadi jiwa orang lain. Jika kita lebih menikmati musik klasik, nikmatilah. Jika kita lebih menikmati musik dangdut, nikmatilah. Tidak ada yang salah ataupun benar dengan musik. Dari berbagai sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H