Minggu (20/10/2013), saya bersama teman mahasiswa bepergian dari Medan ke Berastagi, Tanah Karo Sumatera Utara. Berangkat dari Medan pukul 07:00 wib dengan menumpang angkutan umum, Sumatera Transport (Sutera). Bus diesel berwarna biru melaju dengan kecepatan rendah. Meski agak lambat, aral relatif tidak ada. Hal ini dikarenakan pagi yang masih sepi jalanan. Ketika mentari meninggi, siang, sore, hingga malam, kemacetan merupakan tantangan yang selalu menjemukan.
Sesampainya di Berastagi, kami melangkahkan kaki mendapatkan rekan kami yang tengah inisiasi. Inisiasi semacam penabalan mahasiswa baru kerap dilakukan mahasiswa, seperti yang dilakukan teman kami di Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
Kedatangan kami ke inisiasi ini adalah untuk diskusi sekaligus memperkenalkan komunitas bernama Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial atau disingkat KDAS. Kesempatan ini kami manfaatkan sebaik mungkin. Inisiasi yang menyediakan ruang diskusi seperti ini merupakan kemajuan yang layak dicontoh. Kehadiran beragam organisasi mahasiswa memperkaya diskusi bersama mahasiswa baru.
KDAS, saat perkenalan dengan mahasiswa, calon pemikir, EP FE USU
Selesai diskusi dan perkenalan, kami pun berkeliling Berastagi. Di kota ini, kami mengamati pedagang, khususnya di dua pasar yang dikenal banyak orang. Satu, pasar buah dan yang lainnya pasar sayur. Pasar buah merupakan salah satu daya tarik Berastagi. Di samping itu, sayuran juga merupakan hasil bumi yang menjadi ikon kota tersebut.
Puas berkeliling Berastagi, saatnya untuk kembali ke Medan. Petualangan pun segera diawali. Kami, sebanyak enam orang, menunggu bus Sutera maupun yang lain berjam-jam. Antara sebentar, kami duduk di loket untuk memastikan agar kami dapat tempat duduk. Selang beberapa waktu, kami memilih menunggu di pinggir jalan dengan maksud menyetop yang tengah melintas.
Waktu berputar. Tak satu pun bus yang kosong. Saya mengabari teman-teman, bahwa ternyata setelah saya menyimak pembicaraan calo tiket dengan calon penumpang dalam bahasa Karo, bus kebanyakan diborong. Pantaslah sepi bus penumpang yang melintas, dan kalaupun ada selalu sudah padat. Oleh karena itu, banyak penumpang yang telantar termasuk kami.
Menjelang pukul 17:00, satu bus Sutera yang padat merapat di bundaran Berastagi. Kesempatan ini kami manfaatkan. Empat orang dari kami berangkat, meskipun sempit-sempitan. Bahkan di tengah perjalanan, menurut salah satu rekan kami, mereka akhirnya duduk di atap bus. Sebuah tantangan yang penuh risiko.
Sementara saya dan Lasron, memilih belakangan. Seketika itu pula kami memutuskan untuk memilih cara lain untuk sampai ke Medan. Ya, kami melangkahkan kami menyusuri jalur Berastagi-Medan sembari menyetop mobil pick up untuk kami tumpangi. Idenya adalah tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk sampai ke Medan.
Langkah, pertama sebagai alternatif minimnya angkutan umum. Kedua, kami menguji keberanian serta belajar siaga menghadapi tantangan. Kami mencoba berpikir di saat terdesak. Memaksimalkan akal untuk menemukan jalan ke luar. Di lain sisi, ini merupakan keyakinan persahabatan.
Setelah melangkah satu kilometer, kami mendapat tumpangan pertama. Sebuah pick up kosong membawa kami melewati jalan sejauh lima kilometer. Kami berterima kasih untuk tumpangan pendek ini. Supir pick up ternyata orang setempat yang hendak ke SPBU.
Kembali kami berjalan di pinggir pantai. Satu dua pick up lewat. Bahkan truk kami stop juga tidak mau. Kali ini masih melangkah sejauh 300 meter, satu tumpangan lagi kami dapat. 300 meter dari SPBU tadi hingga ke persimpangan Taman Hutan Rakyat (Tahura), kami ditumpangkan pick up. Lagi-lagi keluarga yang tengah membawa beberapa goni wortel tersebut merupakan petani setempat.
Untuk ketiga kalinya, kami berjalan. Mulai dari Tahura, kami melewati hutan-hutan yang tidak berpenduduk dan dingin sebab kabut mulai hinggap. Namun, tanpa bosan dan lelah, kami mengacungkan jempol untuk menumpang, baik pick up maupun sesekali mobil pribadi. Sampai setengah perjalanan, tidak ada mau menumpangkan kami. Tidak hanya itu, jalanan pun terkadang sepi pengendara.
Lasron, saat kami di areal hutan Berastagi
Kami tidak patah semangat. Kabut sudah mulai tebal, sore semakin gelap, kami tetap tekad untuk melanjutkan perjalanan sampai ke Medan. Alam yang masih asri menemani perjalanan. Sungguh suatu kebahagiaan bisa menikmati alam lestari yang belakangan sudah mulai tergerus oleh ulah manusia.
Akhirnya, pick up untuk yang ketiga kalinya memberi kami tumpangan. Keluarga yang berbahagia itu sangat murah hati. Sejenak kami berhenti di Panatapan, sebuah peristirahatan pengendara sembari menikmati keindahan alam sekitar dengan sudut pandang luas. Istirahat sejenak sesaat setelah hujan membasahi bumi. Karena tidak ada atap di belakang, mungkin itulah pertimbangan keluarga pemilik pick up ini agar kami tidak basah.
Hujan pun mulai reda. Si Bapak bertanya, “Mau ke mana, dek?”
Kami menjawab sambil tersenyum hangat, “Mau ke Medan, Pak”.
“Oh, kalau begitu naik lagilah. Kami juga mau ke sana,” ajak si Bapak sambil tertawa dan dibalut senyum merekah si Ibu yang menggendong putranya yang tampan.
Kami pun lompat kegirangan. Masuk ke bak pick up, kami pun riang tertawa. Akhirnya rencana kami setelah melewati beberapa kali penolakan, membuahkan hasil. Kami berdiskusi panjang lebar di bak pick up. Satu hal yang kami sepakati, bahwa konsep saling tolong menolong merupakan ciri khas keindonesiaan.
Sebuah perjalanan yang membuat kami memahami keindahan alam serta hangatnya keluarga Indonesia yang suka tolong orang lain dengan suka rela, selama itu tidak memberatkan. Kami pun berpendapat bahwa tantangan akan memberi kenikmatan luar biasa di akhirnya. Asal jangan menyerah di tengah jalan. Begitulah, kami pun sampai di Medan tanpa merogoh kocek sepeser pun. Juga tanpa berhimpit-himpitan di bus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H