Mohon tunggu...
jakob siringoringo
jakob siringoringo Mohon Tunggu... -

anggota KDAS

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pembersih Korupsi dan Ketergantungan

1 Februari 2015   00:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:01 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mandiri secara ekonomi itulah salah satu motto Soekarno yang terkenal. Ia memperjuangkan Indonesia agar mampu berdiri di kaki sendiri tidak bergantung pada asing. Mandiri secara ekonomi adalah cita-cita mendasar yang sangat realistis dalam berkehidupan secara individu, keluarga, bangsa dan negara.

Soekarno menciptakan motto itu bukan tanpa alasan. Ia menyadari betul bahwa Indonesia memiliki sumber daya ekonomi yang cukup bahkan melimpah untuk membuat negeri ini mandiri. Presiden I RI tersebut hanya membutuhkan “10 pemuda” (baca: sumber daya manusia bermutu) untuk menggapai ide tersebut.

Pesannya jelas agar jiwa-jiwa di negeri ini tak lagi terjajah atau ketergantungan terhadap kolonial. Menurut kalkulasi sejarah yang rasional, Indonesia telah puluhan tahun berada di bawah pemerintahan kerajaan Belanda. Konsekuensinya tentu kepentingan berpihak kepada Belanda, meskipun sumber ekonomi dijarah dari perut Ibu Pertiwi.

Pembersih Korupsi

Sejak 1799, tepatnya angka di mana hancurnya kongsi dagang Belanda (VOC), Indonesia Merdeka kembali dipilin gurita korupsi. Tiga dasawarsa pemerintahan Presiden II RI Soeharto, negeri ini semakin jauh dari cita-cita kemandirian. Tidak jelas ada program yang bertujuan mulia guna mencerdaskan jiwa-jiwa warga negara. Hasilnya tanpa berpanjang ulasan, pergerakan korupsi pun menguat.

Tibalah era Reformasi yang digadang-gadang sebagai era kebalikan masa Orde Baru. Secara prestisius kebebasan bersuara dan berserikat tiba. Rakyat di mana saja tak perlu lagi takut diintimidasi. Satu sasaran telah tercapai, meskipun merupakan bagian yang tidak terlalu besar. Pasalnya, indeks korupsi justru semakin menguat. Sebaliknya indeks kejujuran kian melemah.

Desakan agar indeks korupsi ditekan direspons oleh pemerintah. Antara lain lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beralaskan hukum UU No 30 Tahun 2002. Komisi ini digadang-gadang sebagai lembaga antirasua yang bisa menyembuhkan penyakit akut negara. Komisi perlahan mulai merangkak dan semakin bertumbuh. Ekspektasi rakyat diletakkan ke atas pundak institusi ini.

Kasus demi kasus mulai ditangani. Kasus-kasus besar agaknya masih menjadi prioritas. Penyesuaian penyelesaian kasus setidaknya menginfokan bahwa reaksi KPK adalah untuk menyelamatkan keuangan negara yang dirampok dalam ukuran over dosis. Sebut saja kasus BLBI dan Century hingga perpajakan.

Kenyataan ini mendorong rakyat Indonesia untuk mendukung KPK. Perihal kewenangan, juga keperluan teknis dan material lambat laun dibutuhkan lembaga antirasua. Rakyat Indonesia sepakat dan mendukung pengadaan kebutuhan ini, tentu tidak berlebihan dan positif. Hasilnya ekspektasi publik semakin besar terhadap KPK sesudah lembaga ini menjawab tantangan atau bekerja profesional dan progresif.

Kinerja tersebut misalnya dapat dilihat dari pemecahan kasus-kasus yang melibatkan pejabat-pejabat tinggi negara. Kelompok pejabat tersebut di antaranya terdiri dari kalangan DPR. Dugaan korupsi cek pelawat DPR 1999-2004 merupakan contoh nyata yang menghentak kenyamanan koruptor. Tak tanggung-tanggung kasus cek pelawat ini ternyata melibatkan belasan anggota DPR sekaligus. Rakyat semakin menyadari bahwa bukan saja pejabat eksekutif yang diduga melakukan penyelewengan keuangan negara.

Bertambah usia, bertambah pula progres kinerja KPK. Kasus korupsi yang memilin dan menggurita satu demi satu mulai diurai dan dipotong. Orang-orang besar bahkan kelompok rezim yang tengah berkuasa dan separtai pelan-pelan diseret ke penjara. Petinggi negara setingkat menteri aktif sekalipun tak lepas dari pantauan KPK hingga diseret ke pengadilan. Tidak hanya itu, wakil presiden aktif juga dipanggil ke kantor Komisi.

Nyatalah bahwa KPK tunduk sepenuhnya kepada UU dan kedaulatan rakyat. Sekali lagi, ekspektasi publik terhadap lembaga ini tak diragukan lagi semakin besar. Tentu koruptor di mana pun sama di hadapan hukum. Beda halnya selama ini yang kita ketahui yaitu hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Maka koruptor setingkat menteri tidak ada keistimewaannya dengan koruptor kelas teri. Tetap sama-sama diperiksa KPK.

Namun bukan putih namanya jika tak sensitif dengan abu-abu apalagi hitam. KPK dalam perjalanannya mendapat tantangan dari banyak pihak. Pihak yang paling menentang tidak lain adalah koruptor. Hal ini ditandai suatu kali dengan rencana DPR untuk mengurangi kewenangan KPK. Mereka hendak mengevaluasi UU KPK dan tentu saja berniat melemahkan lembaga pembersih korupsi.

Terkini telah ada tiga kali percobaan untuk melemahkan KPK. Ketiganya: kasus Bibit-Chandra, kasus Novel Baswedan, dan terakhir kasus Bambang Widjojanto. Percobaan tersebut merupakan kesan keras anti terhadap KPK. Dengan kesendirian lembaga pembersih korupsi ini dianggap akan mudah saja untuk menghentikan kinerjanya. Tapi apa lacur, rakyatlah yang justru mengayomi KPK. Mungkin presiden sekalipun tidak membela KPK.

Kehadiran KPK sejauh ini telah klop dengan rakyat. Tidak heran jika sebesar apa pun goncangan, rakyat segera membentengi. Berhadapan dengan rakyat tentu saja pilihan yang tak mudah kalau bukan bunuh diri. Ketika kepercayaan publik digoyang, maka dengan sendirinya publiklah yang marah. Lumrah saja saat KPK hendak dizalimi, rakyat segera berduyun melindungi KPK. Mungkin juga membelanya sampai mati, selama kinerjanya untuk pembersihan korupsi yang terkait langsung dengan hajat hidup.

Kejaksaan

Apa kabar kejaksaan? Setelah KPK bergerak melakukan pembersihan agaknya koruptor hendak menyetir agar institusi penegak hukum seperti kejaksaan “diaktifkan”. Kejaksaan dinilai sama dengan KPK atau sanggup bekerja seperti KPK ditambah lagi merupakan lembaga di bawah pemerintah. Tidak seperti KPK yang independen.

Semangat tersebut memiliki pembenaran tersendiri. Sayangnya institusi kejaksaan dari zaman bauhela sampai hari ini belum bekerja optimal dalam hal pembersihan korupsi. Maka di sisi lain bisa didapat kesimpulan bahwa niat mengembalikan wewenang kepada kejaksaan merupakan cara lain untuk melemahkan KPK. Mestinya jika kejaksaan bekerja seperti KPK, maka pembersihan korupsi tidak sepenuhnya bergantung kepada lembaga antirasua itu.

Bisakah publik melihat bukti kinerja kejaksaan menyeret koruptor ke pengadilan? Rasanya hanya ada akal-akalan. Meskipun demikian, kejaksaan tetap menjadi lembaga penegak hukum yang harus terus berupaya memberantas korupsi sekuat tenaga. Jika kejaksaan juga bekerja seperti KPK, maka efektifitas pembersihan semakin bertambah. Daya gedor penyelesaian kasus-kasus korupsi semakin besar.

Ketergantungan terhadap KPK beralaskan pada kinerja kejaksaan yang tidak berani melakukan pemberantasan korupsi sampai kelas kakap. Di lain sisi, oknum pejabat justru telah ketergantungan kepada praktik-praktik korupsi. Ketergantungan ibarat candu, sulit ditinggalkan karena perilaku tersebut sudah mendarah daging. Tanpa korupsi, bekerja di lembaga/dinas negara seolah hilang kepuasan batin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun