Memilih ada yang membutuhkan alasan, itulah kenapa ada peran rasionalitas dalam pilihan. Ada pertimbangan visi-misi yang dijadikan acuan. Tapi ada juga yang memilih, tanpa alasan. Bukan seutuhnya tak beralasan, tapi lebih pada alasan-alasan subjektif-emosional yang kadang tak masuk akal. Kenapa kamu pilih si A? Dia orangnya baik. Dia bagus. Orangnya ramah dan tegas. Tak banyak yang mengatakan, saya memilih dia karena visi dan misinya begini dan begitu, tujuannya kesini dan kesitu.
Banyak orang, terutama yang tak mau ribet-ribet hanya melihat karakter dan sosoknya secara personal. Benar begitu? Betul, karena setiap calon pasti mempunyai tujuan yang sama (minimal agak miriplah), polesan katanya saja berbeda. Inilah kenapa berbicara karakter dan personal itu menjadi tidak masalah, dan sah-sah saja.
Tulisan ini mungkin tidak asik karena berbicara personal, tapi tulisan ini tidak dibuat hanya menggunakan imajinasi saja. Ada fakta-fakta dan kebenaran umum, yang sulit dihindari. Kompasiana pun tak akan menghapus tulisan ini.
Kita tentu mempunyai begitu banyak ingatan, tentang bagaimana Ahok suka menyerang banyak orang secara sarkas melalui kata-katanya. Kita tentu masih ingat bagaimana Ahok menistakan Anies dalam debat dengan membawa-bawa dosen. Kita masih ingat, bagaimana Agus-Sylvi juga diserang oleh Ahok secara personal, meski melalui candaan, “maklum, mereka pengen jadi Gubernur”. Bahkan, closing statement yang harusnya dipergunakan untuk menutup, pada debat terakhir, justeru digunakan untuk konsisten menyerang dan menertawakan.
Ini belum lagi bicara fakta sebelumnya bagaimana Ahok memaki-maki bawahannya, bagaimana Ahok memaki-maki salah seorang Ibu dengan kata yang demikian “sadis”, bagaimana Ahok ngata-ngatai seseorang dengan negasi yang luar biasa kotornya. Gaya menyerang secara personal, menjadi ciri khas Ahok. Gaya-gaya seperti itu pun juga diikuti oleh pemujanya, yang banyak bergentayangan di dunia maya. Saat ini beredar meme-meme yang “menistakan” Anies begitu luar biasa, setelah sebelumnya, sosok personal AHY dan SBY “diinjak-injak” sedemikian rupa melalui aksi dunia maya yang sangat liar.
Lalu, kenapa Ahok dan pemujanya lebih suka menyerang secara personal? Karena mereka tahu, jualan program dan keberhasilan yang selama ini menina-bobokkan, tak lagi laku dijual di pasaran. Program ini dan itu, menjadi basi ketika nama Ahok santer terdengar ketika Sumber Waras dan Reklamasi disebutkan. Keberhasilan ini dan itu menjadi kecut ketika dibalik pembangunan, ada tangis menjerit-jerit. Itupun ditambah dengan bonus kata-kata sarkas. Puncaknya adalah ketika ia melakukan penistaan terhadap agama Islam, dan menjadikan sosoknya dibenci oleh jutaan orang. Mereka tak lagi melihat sosok Ahok sebagai yang hebat.
Memang benar, Ahok-Djarot menjadi menang pada putaran pertama (tidak sesuai dengan ambisi untuk menang satu putaran), tapi pada putaran kedua, posisinya akan sangat sulit. Bicara tentang program, banyak yang tidak ia lakukan. Bicara tentang inovasi dan kreasi, banyak yang diacuhkan. Jadi ketika ia berbicara visi-misi, maka tak akan banyak orang yang memercayainya, apalagi orang Islam. Sehingga, menyerang secara personal menjadi pilihan yang paling realistis. Apa lagi yang mau “disehatkan” dari sosok seorang Ahok?
Pasca kasus yang menimpanya, kita melihat Ahok menjadi agak sedikit berubah. Lebih menerima, tidak banyak kata, lebih banyak senyum, dan lain sebagainya. Publik dengan mudah mengira, Ahok benar mengakui kesalahan dan gaya bicaranya yang sedikit “mencak-mencak”. Orang-orang di dekatnya pun mungkin memberikan wejangan bagaimana sikapnya memang kadang berlebihan. Pasca kasus peniscataan dan Ahok dikecam dimana-mana, ia menjadi sosok yang lebih anteng.Sebagian orang, mungkin senang melihat itu. Meski harus diakui, resistensi terhadapnya demikian tinggi.
Masalahnya, karakter itu tampak lagi ketika beberapa bulan kemudian, Ahok dengan santainya menghardik dan mengancam KH. Ma’ruf Amin, tokoh sepuh yang begitu dihormati oleh NU dan orang-orang Nahdliyyin. Dalam sebuah persidangan, dimana KH Ma’ruf Amin menjadi saksi, Ahok berubah menjadi sosok menakutkan lagi. Hampir saja ia “tewas” pasca peristiwa itu, tapi untungnya kita menemukan sosok adem pada kyai sepuh yang juga aktif di MUI itu, sehingga ia meminta agar semua tenang dan tidak bergejolak. Banser, Ansor, dan orang-orang NU di kampung-kampung, siap berangkat untuk membela Kyai-nya, tapi suasana menjadi tenang kemudian.
Dalam konteks psikologi, meski kepribadian itu dinamis, tapi ia cenderung bertahakan untuk berbagai kondisi terutama untuk menghadapi lingkungan yang berbeda-beda. Meski masih mungkin untuk mengubah, tapi karekter akan berganti dengan cara yang tidak mudah.
Artinya, boleh saja seseorang itu berhasil, bekerja, dan berprestasi. Tapi semua itu harus diikuti dengan karakter yang baik, terutama bagi seorang pemimpin, yang menjadi contoh bagi banyak anak muda penerus bangsa. Sehingga, sebagaimana karakter itu penting, maka penting juga untuk mempertimbangan faktor personal untuk memilih seorang pemimpin.