Selamat siang para pembaca budiman,
Sebelumnya, perkenalkan nama saya Arie, saya kebetulan salah satu dari beberapa warga yang terkena pembebasan tanah Toll Cijago seksi II Jl. Margonda Raya. flashback ke tahun 2005, saat itu Pemkot Depok melalui Kelurahan mengumumkan bahwa tanah kami terkena pembebasan lahan untuk kepentingan Jalan Toll Cijago, dan akan segera di hitung luas tanah & bangunannya serta diperintahkan agar dokumen-dokumen tanah yang kami miliki segera dikumpulkan guna penghitungan harga tanah & bangunan. sekitar tahun 2006, kami mendapat undangan pengumuman harga & musyawarah oleh Pemkot/Tim Pengadaan Tanah (TPT).
Pada saat itu harga yang diumumkan cukup layak, beberapa waktu/tahun berselang, kami mendapat undangan kembali oleh TPT/Panitia Pengadaan Tanah (P2T)/Pemkot dan yang memberikan informasi bahwa penilaian menggunakan sistem zonasi, dimana harga tanah mulai dari ujung satu ke ujung satunya dipukul rata, dan itu membuat kami merasa rugi, mengingat lokasi kami didaerah komersil (Jl.Margonda Raya). pada saat acara tersebut, mereka hanya memberikan informasi harga dan sistem zonasi tanpa adanya musyawarah, karena mereka langsung meninggalkan warga.
Setelah itu kami mencoba mengadu ke pihak terkait, mulai dari Pemkot/Walikota Depok, namun kami kembali mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakan, kami sebagai warga Depok merasa di "buang" oleh Walikota Depok, dimana saat kami mencoba mengunjungi Walikota, beliau selalu menghindar.
Karena mereka selalu menghindar, kami laporkan permasalahan tersebut ke Ombudsman, disana mulai ada titik terang, Ombudsman membuat surat rekomendasi untuk Walikota Depok & PU/TPT/P2T untuk menghentikan sementara proses pembebasan dan pengerjaan sebelum kasus Maladministrasi diselesaikan.
Pada bulan Agustus tahun 2014, kami kembali mendapatkan surat undangan pengumuman harga, tapi anehnya surat tersebut tidak memiliki kop surat dan yang bertanda tangan pun bukan pejabat TPT/P2T serta tidak mencantumkan NIK. saat kami menghadiri undangan tersebut, kembali kami dikecewakan, karena harga yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi harga pasaran pada tahun tersebut, bahkan jauh dari harga pasar. sehingga kami mencoba mendatangi kepala P2T untuk mendiskusikan masalah tersebut, namun begitu terkejutnya kami, saat mengetahui bahwa kepala P2T memperlakukan kami dengan sikap yang arogan dan kami menjadi berang akan perlakuannya, sehingga kami memberikan pilihan kepada beliau, "ingin jalan diskusi/musyawarah atau melalui pengadilan", beliau dengan angkuhnya menyatakan "silahkan  melalui pengadilan, kami tidak akan kalah" sambil tertawa.
Setelah itu kami terpaksa menggugat pihak P2T/TPT/Pemkot Depok/Tim Apraisal di Pengadilan Negeri Depok, sidang dimulai awal tahun 2015 hingga saat tulisan ini dibuat, sidang masih berlanjut. Ada banyak kejanggalan disidang ini, mulai dari pihak tergugat ada saja yang tidak hadir sehingga sidang terpaksa ditunda, serta terakhir kami mendapati pihak tergugat memasuki ruangan hakim secara diam-diam.
Dilain hal, alat berat mulai mengepung lokasi kami, dengan segala macam intimidasi dari pihak Hutama Karya selaku Kontraktor dan pihak P2T, mulai dari pengerjaan proyek yang sangat berdekatan dengan rumah warga (sangat mengganggu, tanah bergetar, dan tembok rumah retak) hingga menurunkan bodyguard/preman.
sekian kisah nyata yang saya dan warga lainnya alami. /Arie
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H