Mohon tunggu...
jaka wandira
jaka wandira Mohon Tunggu... -

Staf Bidang Advokasi Petani Yayasan Solidaritas Masyarakat Desa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengembalikan Cita-cita (jadi) Petani

8 Maret 2011   14:26 Diperbarui: 26 Agustus 2017   03:27 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kesejahteraan Petani yang kian hari kian memprihatinkan. Meskipun para petani telah bekerja keras, rajin dan jujur, namun kemiskinan tidak segera menjauh darinya. Bahkan kemiskinan malah semakin menjadi dan dianggap sebagai takdir. Bahwa menjadi petani pasti akan menjadi orang miskin. Sehingga generasi bangsa saat ini, jika ditanya tentang cita - citanya sangat jarang (kalau tidak mau dikatakan tiada) yang menjadi petani. Sebagian besar dari mereka lebih memilih profesi lain karena permasalahan tingkat kesejahteraan.

Pola pendidikan di negara agraris ini, juga semakin menambah keinganan pemuda Indonesia tidak ingin menjadi petani. Selama saya sekolah mulai dari SD sampai perguruan tinggi, hampir seluruh mata pelajaran diarahkan kedalam dunia industrialisasi. Mungkin saat itu Indonesia sedang mencapai masa persiapan tinggal landas. Namun bagaimanapun pendidikan formal yang tidak mengakar di masyarakat agraris dengan menberikan pendidikan industri, tentunya tetap menjadi paradok bagi perkembangan generasi bangsa ini.

Saat di sekolah kita - generasi muda - dikecoki dengan doktrin - doktrin dunia industri, gerakan untuk urbanisasi, bekerja di perusahaan - perusahaan industri dengan gaji yang tinggi, apalagi dibandingkan dengan menjadi petani. Pulang sekolah kita ketemu dengan sawah, petani, buruh tani, hidup dalam alam pikiran masyarakat yang agraris. Menjadikan generasi muda yang tercerabut akar pemikiran, perasaannya dari dunia pertanian. Dunia yang membesarkannya baik langsung maupun tidak langsung.

Dari segi jumlah, Petani adalah terbesar di negara ini, namun pembangunan untuk sektor ini seperti anak tiri negara, warga negara kelas dua. Petani seperti buih di lautan. Dibutuhkan dan dijargonkan dalam setiap kampanye baik eksekutif maupu legislatif, sampai aksi mahasiswa. Namun nasibnya tidak pernah berubah, dari dahulu hingga sekarang, tetap menjadi perahan dan simbol kemiskinan.

Bukan hanya sekolah, orang tua kitapun (yang petani) selalu mengatakan kepada kita, nanti kalau besar jangan menjadi petani yang bekerja kepanasan dan kehujanan dan tidak pernah sejahtera, carilah pekerjaan lain yang berada ditempat teduh tapi menghasilkan, cukup orang tuamu yang menderita sebagai petani. Merupakan ungkapan keputusaan orang tua yang hidup lebih lama dibandingkan dengan kita, sebagai petani.

Kalau pembaca berkumpul dengan kelompok tani, atau menghadiri pertemuan kelompok tani. Akan dapat melihat langsung sebagian besar (80%) dari mereka berusia diatas 40 tahun. Petani sudah bukan lagi pilihan hidup sebagai mata pencaharian, tetapi menjadi petani merupakan keterpaksaan karena tidak mempunyai pekerjaan lain. Padahal petani merupakan pekerjaan awal masyarakat Indonesia bersama dengan nelayan. Semua mata pencaharian di negara - negara agraris muncul karena mereka tergeser dari dunia pertanian (terkait kepemilikan lahan), atau untuk mendukung keberadaan dunia pertanian agar lebih maju.

Padahal sebagian besar penduduk Indonesia berada di pedesaaan dan bermata pencaharian sebagai petani. Dan merekalah penyumbang terbesar angka kemiskinan dinilai dengan garis apapun. Seharusnya pendidikan generasi muda baik di sekolah maupun di perguruan tinggi diarahkan kedalam perbaikan dunia pertanian. Bukan malah meninggalkan dunia pertanian dan beralih kepada industri dengan alasan pertanian tidak lagi menarik dan dianggap sebagai peradaban kuno.

Semakin banyak negara yang menuju kepada dunia industri, maka peluang negara - negara agraris seperti Indonesia sebagai lumbung pangan dunia akan semakin besar. Dengan karunia tanah subur yang terhampar dari Sabang sampai Merauke sebagai modal awal dunia pertanian. Menjadi lumbung pangan dunia bukan berarti kita tidak melaksanakan industrialisasi, tetapi Indonesia sebagai salah satu negara terluas di dunia sudah seharusnya mampu berdaulat dalam hal pangan, bahkan dunia bisa tergantung pada kita.

Spesialisasi pembangunan didunia pertanian, sehingga pertanian kita mampu menjadi salah satu yang terbaik di dunia, saya rasa adalah cita - cita yang sangat mungkin untuk saat ini kita capai. Dengan mengandalkan hasil - hasil pertanian sebagai barang dagangan, bangsa ini akan mempunyai daya tawar tersendiri dimata dunia. Dibandingkan sekarang yang tidak mempunyai produk unggulan sama sekali.

Kenapa Tidak Sejahtera

Sebagian besar petani di Indonesia merupakan petani yang memproduksi barang - barang sosial, seperti padi, jagung dan kebutuhan pokok lainnya. Yang jika harganya naik akan menyebabkan gejolak sosial, Sehingga pemerintah selalu membatasi harga penjualan produk - produk tersebut, supaya harganya tetap terjangkau demi stabilitas. Bahkan pemerintah melakukan impor kebutuhan pokok tersebut demi menjaga stabilitas, walaupun mengorbankan petani dalam negeri. Sementara petani dengan produk sosial tersebut menggunakan sarana produksi pertanian yang berasal dari industri, tanpa subsidi dari pemerintah. Tidak ada jalan bagi petani, selama masih menggunakan sarana produksi dari dunia industri dan menjual produk sosialnya, tetap saja akan melarat. Karena antara biaya produksi dengan hasil panen yang berbeda asalnya, industri dan sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun