Memasuki Bulan puasa 1435 H ini, sebagai umat Islam (meskipun keislaman saya jauh dari sempurna), mempunyai untuk mengeluarkan “uneg – uneg” tentang makna Puasa bagi umat Islam. Disini saya tidak akan membahas tentang pahala puasa dan keutamaan bulan puasa, karena keterbatasan kemampuan dan hal itu sudah banyak yang membahasnya. Disini saya ingin membahas soal puasa dan strategi membangun keuangan umat Islam dengan masjid sebagai pusara pembangunan ekonomi kerakyatan.
Puasa selain memberikan makna antara manusia dengan sang Khaliq, juga harus mampu memberikan makna dalam hubungan sehari – hari antar manusia. Karena puasa bukanlah kewajiban umat Islam, namun kewajiban tiap – tiap orang yang beriman. Kewajiban berpuasa selama satu bulan penuh ini, ditutup dan disempurnakan dengan pembayaran zakat berupa makanan pokok yang bila dihitung sebanyak 2,7 Kg beras.
Puasa bagi saya bermakna sebagai “Ngraosne Roso” yang berarti menyamakan Rasa dengan mereka yang selama ini kelaparan, kehausan dll. Dalam bahasa umat Islam disebut kaum Dhuafa, Fakir dan Miskin, atau dalam istilah Bung Karno sebagai Marhaen (Kaum yang dimiskinkan oleh system. Menyamakan rasa inilah yang harus dimaknai dalam kehidupan sehari hari dalam pergaulan masyarakat sebagai hikmah berpuasa.
Penutup puasa ialah membayar zakat, bagi saya zakat hanyalah berupa symbol semata (tetapi kita juga harus membayar karena itu merupakan rukun Islam. Bukan berarti saya mengatakan membayar zakat adalah symbol, terus kemudian pembaca mengartikan saya menolak membayar zakat, tidak sama sekali seperti itu. Saya mendukung pembayaran zakat itu.
Bagi saya membayar zakat merupakan bentuk kepedulian kita akan mereka yang saat ini kurang beruntung. Merupakan hasil perenungan mendalam kita akan hikmah social puasa (Menyamakan Rasa), yakni membantu kaum yang saat ini kurang beruntung. Namun jika kita hanya membayar zakat semata terus menganggap cukup bantuan tersebut, maka kita hanya beragama sekedarnya saja. Sekedar untuk menjalankan rukun – rukunnya saja. Bantuan lebih besar kita kepada umat yang belum beruntung haruslah dilipatgandakan terutama di bulan puasa ini.
Pelipatgandaan tersebut dilakukan karena ibadah dibulan puasa mendapatkan amal yang lebih besar (berdasarkan kenyakinan). Disisi lain mengkhianati mereka yang kurang beruntung, menghardik anak yatim dll merupakan bentuk penistaan/pendusta agama meskipun kita menjalankan semua rukun Islam dan Iman. Selain itu, adanya kewajiban bagi mereka yang tidak mampu berpuasa karena sesuatu hal (sakit, perjalanan) wajib menggantikan dilain hari atau membayar Fidyah (Denda).
Menurut saya Fidyah tidak seharusnya dibayarkan oleh mereka yang tidak dapat menjalankan ibadah puasa saja, tetapi oleh mereka yang saat ini juga menjalankan ibadah puasa. Namun fidyahyang saya maksud disini bukan bermakna denda, tetapi lebih bermakna tanggungjawab social bagi mereka yang berpuasa. Kenapa hal ini berlaku untuk mereka yang menjalankan ibadah puasa.
Pertama, Selama tidak dalam bulan puasa kita setiap hari makan 3 kali sehari, yakni makan pagi, makan siang dan makan malam, bahkan kadang kita makan/jajan di sore hari. Bagi perokok tiap hari kita juga merokok baik pagi, siang maupun malam. Kedua, Selama kita berpuasa semua aktivitas makan tersebut tidak bisa kita lakukan pada mulai sebelum subuh sampai magrib. Ketiga, Katakanlah makan pagi kita diganti dengan makan sahur dan makan malam diganti dengan berbuka puasa. Keempat, maka makan siang harus juga diganti tetapi dengan apa? Berikut semua kebiasaan makan/merokok kita di waktu siang hari?
Seringkali kita, sebagian besar umat yang berpuasa menggantinya dengan Merapel makan siangnya tersebut dengan makan malam setelah berbuka, yakni setelah Sholat Taraweh. Bahkan ada yang mesyukuri nikmat puasa dengan mengadakan makan makanan yang biasanya tidak ada saat kita berpuasa. Sehingga setelah habis bulan puasa justru kita mengalami kenaikan berat badan. Lalu semua itu apa bedanya dengan berubahan pola makan saja?
Makna puasa secara social (menyamakan rasa) menjadi berkurang, kita hanya mendapatkan pahala dari ALLAH SWT semata, namun tidak pernah mampu mengembangkan gerakan puasa sebagai gerakan social yang lebih bermanfaat bagi mereka yang tidak mampu. Bagi saya beras 2,7 Kg yang kita berikan kepada si miskin hanya akan bertahan 10 hari untuk mereka hidup untuk kemudian mereka kembali berjuang demi sesuap nasi.
Mulai hari ini kita harus mampu mengelola kebutuhan makan siang/jajan/rokok yang kita makan saat kita tidak puasa. Dimana semua itu harus kita hitung dengan rupiah (sebagai alat tukar) untuk kemudian disumbangkan di masjid atau semacam lembaga pemberdayaan masyarakat. Dengan begitu makna puasa dapat lebih berarti dalam membantu mereka yang papa sengsara, dhuafa dan marhaen tersebut.
Baiklah sekarang kita hitung – hitungan, jika makan siang kita sekali makan itu jika dinilai dengan uang Rp. 7.000,-, minum dan lain – lain (rokok, jajan sore hari) sebesar Rp. 3.000. Maka dalam hari – hari bisa kita menghabiskan Rp. 10.000,-. Kalau selama ini uang itu kita gunakan untuk foya – foya diwaktu berbuka. Mulai hari ini seharusnya uang itu diberikan kepada Masjid – masjid atau dihimpun oleh sesuatu lembaga. Dimana lembaga ini tidak perlu tersentralistik atau bersifat Negara (penulis tidak setuju dengan Negara Islam).
Kalau di Indonesia ini katakanlah ada 100 juta umat yang menjalankan puasa saja maka selama 30 hari puasa akan terkuampul uang sebanyak 100 juta x 10 ribu x 30 hari, jika ditotal sebanyak Rp. 30 T, dana yang sangat luar biasa ditengah kondisi rakyat yang demikian miskin ini. Kalau untuk iuran menjadikan pemimpin saja kita mau menymbang, kenapa untuk kemaslakatan umat kita tidak mau, toch itu diambil dari uang yang tidak kita makan disiang hari waktu berpuasa.
Kalau di kampong kampong di Blitar minimum setiap masjid mempunyai umat yang rata – rata 1000 orang maka dalam bulan puasa ini akan terkumpul uang sebanyak 1 ribu x 10 ribu x 30 hari, jika ditotal sebanyak Rp. 300 juta. Dana sebesar itu lebih besar dibandingkan dengan dana yang ada di PNPM Mandiri untuk setiap kampong/dusun. Tentunya jika mampu dimanfaatkan dana itu, maka pembangunan dusun – dusun akan cepat dan tidak tergantung pada siapapun kecuali rakyatnya.
Dana Rp. 300 juta itu jika untuk membuat usaha kecil dengan modal Rp. 10 juta per usaha maka aka nada 30 Usaha Kecil dan Mikro yang melibatkan minimum 60 tenaga kerja. Sehingga akan tumbuh usaha – usaha kerakyatan ditiap – tiap dusun dan tidak akan menyebabkan adanya Urbanisasi ke kota. Artinya dana dari makan siang kita selama 1 bulan penuh ini seharusnya mampu membuka lapangan pekerjaan sebanyak 6 juta bagi mereka yang dhuafa di seluruh Indonesia dengan kampong – kampong sebagai pusat sekaligus pemerataan pembangunan perekonomian Indonesia. Sekaligus kita mendorong wiraswasta di seluruh negeri ini.
Mulai sekarang kalau kita mampu/mau menyumbangkan makan siang/jajan siang kita yang tidak kita makan selama bulan puasa ini, untuk mereka yang miskin guna membuat usaha – usaha kerakyatan, maka kita secara tidak langsung akan menjalankan ibadah puasa yang tidak hanya merupakan ibadah yang berhubungan antara manusia dengan sang Khaliq, namun juga ibadah puasa yang dimaknai sebagai ibadah antara manusia dengan manusia. Sekaligus kita menyempurnakan puasa “Ngaosne Roso” Menyamakan Rasa dengan kaum Dhuafa atau si Marhaen.
Semoga artikel singkat ini suatu saat akan menjadi gerakan social kita bersama – sama, mohon pertimbangan dari berbagai pihak. Ide ini jauh dari sempurna, mohon penyempurnaan.
Terakhir, Selamat Menjalankan Ibadah Puasa Kawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H