Mohon tunggu...
Ferdy Kusumah
Ferdy Kusumah Mohon Tunggu... profesional -

Menulis adalah naluri setiap individu, sama persis dengan kebutuhan hidup primer lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menggalang Kekuatan TNI dan Polri Jelang Pemilu 2014

4 Desember 2013   18:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:19 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu 2014 telah menanti di depan mata. Pesta demokrasi lima tahunan ini begitu sangat ditunggu, khususnya bagi politisi yang merasa ter­panggil turut memberikan sumbangsihnya bagi kemajuan ibu pertiwi.

Manakala pintu demokrasi kala itu begitu terkunci rapat di era orde baru demi meminimalisir gerakan progresif dari kaum muda yang haus akan kemerdekaan berfikir, berkumpul dan berserikat terhadap kondisi bangsa yang dianggap mandul secara ekonomi akibat sistem pemerintahan saat itu menga­rah kepada konglomerasi, pun gerakan tersebut kerap mendapat tudingan anti pemerintah hinggap dianggap subversif.

Pengebirian demokrasi masa orde baru sebenarnya hanyalah salah satu dari buruknya manajemen pemerintahan saat itu. Sesungguhnya persoalan ekonomi bangsalah yang menjadi sekam ketika gerakan anti pemerintah yang dimotori elit mahasiswa kala itu akhirnya berujung lengsernya Suharto sebagai Presiden RI di semester awal tahun 1998.

Krisis ekonomi dan moneter yang berkepanjangan atau yang populer dengan jargon “krismon” benar-benar meluluhlantakkan sendi-sendi ekonomi bangsa.

TNI/Polri Sebagai Alat Kekuasaan

In­flasi dan hutang luar negeri yang demikian besar memaksa masyarakat turun ke jalan menuntut perbaikan disegala bidang. Unjuk rasa yang digelar secara masif berakhir dengan pergantian rezim dimana parlemen saat itu mengumumkan ke­jatuhan pemerintahan Suharto yang berkuasa lebih dari 30 tahun.

Kala kekuatan militer yang cenderung pro pemerintahan Suharto serta merta menjadi alat kekuasaan maka secara otomatis netralitasnya sebagai alat pertahanan Negara yang wajib melindungi kepentingan bangsa dan Negara termasuk melindungi rakyatnya pun ikut terpangkas. Tidak ada lagi perlindungan yang memihak kepada rakyat kecuali perlindungan total terhadap penguasa.

Beberapa kisah pilu yang terekam oleh sejarah bangsa ini dengan jelas melukiskan betapa kejamnya ketika militer telah berpihak jauh kepada penguasa. Dengan berbagai alasan menjaga stabilitas kemanan dalam negeri akibat sejumlah gerakan massa yang sebenarnya hanya ingin hidup lebih layak akibat sistem pemerintahan yang korup dan cenderung mengangkangi kepentingan kapitalis, tak ayal pergerakan pure rakyat terberangus oleh aksi militeris yang tidak bisa dibilang manusiawi. Sebut saja peristiwa Trisakti, dan tragedi penembakan massal di Semanggi, Jakarta, adalah sebagaian kecil bentuk kebiadapan militer akibat ditunggangi kepentingan penguasa.

Pelanggaran HAM berat di beberapa daerah serta penghilangan sejumlah aktifis yang dianggap merongrong kewibawaan pemerintah juga merupakan bagian kecil dari sejarah buramnya keberpihakam militer terhadap penguasa saat itu.

Namun, sepenggal kisah heroik yang paling fenomenal sejarah bangsa ini setelah era Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 barangkali adalah sejarah pergerakan mahasiswa yang didukung oleh seluruh komponen masyarakat. Sejarah mencatat pada tahun 1998 merupakan peristiwa yang barangkali juga manjadi catatan sejarah dunia bila kekuatan rakyat yang begitu masif mampu menumbangkan pemerintahan yang terkenal sangat diktator.

Lucunya parlemen seakan-akan turut pula menghakimi sang penguasa yang notabene sebelumnya demikian taklik menyembah, sampai-sampai tidak ada satu pun dari punggawa istana sang diktator tersebut yang berani berkata atas kecuali “Menurut petunjuk bapak Presiden, bla bla bla …”. Naif rasanya melihat itu. Namun seperti itulah kira-kira gambaran bangsa ini 15 tahun lalu.

Langkah Aman TNI Pasca Lengsernya Suharto

Kecuali melihat gaya ludruk parlemen dan para punggawa kabinet orde baru saat itu, kita sedikit berlega hati ketika militer ternyata enggan mengambil alih kekuasaan yang sebenarnya sangat memungkinkan untuk itu. Namun, menurut pengakuan sang Panglima saat itu, dirinya tidak tertarik untuk melakukan hal yang dianggap sebagai kudeta. Jujur atau tidak wallahu alam bi shawab. Hanya sang Panglima dan Tuhanlah yang tahu.

Terlepas dari itu kita wajib mengapresiasi akan sikap yang diambil militer waktu itu. Entah sadar atau mungkin juga paham akan gerakan rakyat saat itu yang emoh terhadap rezim dan anteknya, maka militer pun akhirnya lebih berposisi netral. Artinya militer ingin dianggap pro rakyat namun juga tidak ingin dianggap penghianat oleh rezimnya. Inilah sebuah langkah aman TNI pasca lengsernya Suharto.

Lengser keprabon akhirnya juga menjadi jargon akan tumbangnya pemerintahan Suharto, sekali pun istilah itu hanya demi sedikit memperbaiki citra Suharto yang memang sudah sampai titik nadir karena belum pernah ada ketika suatu rezim yang amat diktator turun tahta atas kehendak pribadi. Sekali lagi ini dagelan politik.

Layaknya epic, tahun 1998 merupakan gerbang terbukanya pintu demokrasi yang kala itu terbilang mahal untuk diimplementasikan. Namun, sejak itu pula demokrasi akhirnya seperti barang kodian di pasar Tanah Abang. Semua orang melakukan segala tindakan dan perbuatan kerap mengatasnamakan demokrasi. Sekali lagi ini lazim sebagai sebuah fenomena peristiwa yang dianggap trending.

Menjaga Disintegrasi Bangsa

Atas nama demokrasi pula pada tahun 1999 parlemen mengesahkan Undang Undang Pemerintahani Daerah atau yang popular disebut UU Otonomi Daerah (Otda). UU No. 22 Tahun 1999 merupakan pengganti UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 5 Tahun 1979, Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah otonom dengan mengakui kekhususan yang ada pada tiga daerah yaitu Aceh, Jakarta, dan Yogyakarta, dan satu tingkat wilayah administratif.

Pada periode 2004 berlaku UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan UU No. 22 Tahun 1999. Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu jenis daerah otonom dengan perincian Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Selain itu Negara mengakui kekhususan dan/atau keistimewaan yang ada pada empat daerah yaitu Aceh, Jakarta, Papua, dan Yogyakarta. Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (Desa atau nama lain) beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan.

Nah, sampai tahapan ini atas nama demokrasi tak ayal sebuah daerah akan dapat mekar semekar-mekarnya apabila memenuhi syarat untuk itu. Sejuruh itu kepentingan individual turut pula mendompleng atas pemekaran wilayah yang sebenarnya masih memungkinkan untuk tetap berada di wilayah induk. Namun, karena kepentingan kelompok atau golongan tertentu maka suatu daerah akhirnya terpisah dengan dasar tekanan dan keterpaksaan. Biasanya daerah baru tersebut akan rawan konflik karena dibangun atas dasar kepentingan sepihak saja.

Disintegrasi bangsa yang mengkambinghitamkan kebebasan demokrasi akhirnya menuntut pihak keamanan turut dalam mengatasi konflik horizontal di beberapa daerah. Pertikaian antara suku maupun sengketa pemilukada yang kian marak memaksa institusi Polri bergerak menetralisir keadaan, termasuk pihak TNI yang kini serius terhadap masalah tapal batas.

Sinergitas Polri Menyongsong Pemilu 2014

Tidak bisa dipungkiri ketika paradigma kepolisian Negara RI lebih mengarah kepada azas pelayanan masyarakat secara prima menjadikan Polri sebagai profesi yang semakin dekat dengan masyarakat.

Dalam HUT Bhayangkara ke-67 Juli 2013 lalu Polri berkomitmen dalam temanya yakni 'Sinergitas Kemitraan dan anti KKN, Wujudkan Pelayanan Prima, Gakum (Penegkan Hukum), Kamdagri (Keamanan Dalam Negeri), dan Sukseskan Pemilu 2014'.

Jelas tema ini diambil demi mengamankan pemilu 2014 yang sebentar lagi akan kita masuki. Penegakan hokum turut disorot karena ada kekhawatiran terjadinya konflik politik yang sangat membara dimana penguasa saat ini sudah dapat dipastikan akan turun pada 2014 mendatang, namun secara politik tidaklah semudah yang dikira. Motor partai yang mengusung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) duduk sebagai presiden RI selama dua priode berturut-turut sudah dapat dipastikan tidak akan melepas dominasinya sampai disini. Beberapa kader partai dipersiapkan untuk menjegal Calon Presiden (Capres) lainnya termasuk mengadakan konvensi guna menjaring partisan di luar partai, Ini sebuah langkah besar untuk tetap eksis di kancah politik menghimpun seluruh kekuatan demi mempertahankan kekuasaan.

Ganti Panglima TNI dan Kapolri

Tidak bisa dipungkiri ketika simbol-simbol pertahanan dan keamanan Negara turut berpartisipasi dalam hajat besar demokrasi. Pemilu yang seyogyanya sebagai proses perbaikan sistem manajemen pemerintahan kearah yang lebih baik justru ditafsirkan berbeda, yakni pemilu sebagai alat menuju kekuasaan golongan.

Ketika pemilu ditafsirkan demikian maka layak ketika partai politik berjuang mati-matian dengan segala cara meraih kekuasaan, termasuk mempengaruhi lembaga pertahanan dan kekuasaan Negara, dalam hal ini TNI dan Polri.

Pemilu 2014 diawali dengan penobatan para legislatif di semua tingkatan, pun partai penguasa tidak ingin ditinggalkan begitu saja oleh konstituennya. Bargening antara partai penguasa dengan lembaga pertahanan dan keamanan negara seakan menjadi titik mengukir dominasi berikutnya. Tak ayal pergantian Panglima TNI maupun Kepala Kepolisian RI turut menjadi kuncian sukses atau tidaknya mengamankan partai menuju kekuasaan.

Tidak bisa dipungkiri politik kekuasaan saat ini masih mempengaruhi sistem politik kita. Siapa yang dekat dengan link kekuasaan maka dia akan menempati singgasana yang paling puncak. Atau siapa yang ingin mencapai singgasana puncak maka ia harus memiliki link yang dekat dengan penguasa saat ini.

Salah satu kunci untuk lolos dengan mulus kearah kekuasaan adalah pendekatan terhadap kekuatan TNI/Polri. Dipahami atau tidak pergantian Panglima TNI terasa begitu elok. Tidak ada sedikitpun riak layaknya ajang promosi di tingkat legislatif yang demikian panas dan membakar.

Adalah Jenderal TNI Moeldoko yang demikian gemilangnya dalam berkarir. Kala Jenderal TNI (Purnawirawan) Pramono Edhie Wibowo memasuki masa pensiunnya sebagai KSAD, Moeldoko sebagai Wakasad langsung dipercaya menggantikannya pada Mei 2013 lalu.

Karirnya terus melesat ketika Presiden SBY melantiknya sebagai Panglima TNI menggantikan Laksamana Agus Suhartono pada 30 Agustus 2013, artinya dalam hitunganwaktu tiga bulan saja ia telah menduduki pangkat dan kedudukan tertinggi dalam organisasi militer. Tentu karir yang meroket tersebut oleh sebagaian kalangan dianggap spektakuler karena tanpa hambatan dapat merangsek sebagai panglima militer Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI).

Kendati demikian kita semua akhirnya mafhum ketika proses itu semata karena balutan dari strategi pengamanan pemilu 2014 mendatang. Mantan KSAD Pramono Edhie Wibowo sendiri seperti yang publik terka akhirnya masuk dalam link politik penguasa dimana namanya masuk dalam salah satu peserta konvensi Capres Partai Demokrat.

Hal yang tidak jauh beda terjadi pada pergantian Kapolri. Dalam embel-embel sinergitas Polri mensukseskan Pemilu 2014 akhirnya Komjen (Pol) Sutarman secara resmi dilantik SBY sebagai Kapolri pada tanggal 25 Oktober 2013 di Istana Negara menggantikan Jenderal Polisi timur Pradopo. Sutarman merupakan satu-satunya calon Kapolri yang diusulkan SBY ke DPR sebagai penggati Timur yang memasuki masa pensiun, dan tentu dianggap loyal terhadap kubu Cikeas. Ia menumbangkan 9 kandidat calon Kapolri yang sempat menjadi trending topics media selama beberapa waktu.

Kembali ke khitah

Meskipun demikian rasanya sah-sah juga ketika banyak opini yang menyangka pergantian Panglima TNI dan Kapolri adalah bagian dari penggalangan kekuatan kekuasaan jelang pemilu 2014. Namun, publik juga berharap kiranya bila hal itu terjadi TNI & Polri haruslah tetap memperlihatkan sikap profesionalitasnya sebagai penjaga benteng demokrasi.

Netralitas TNI & Polri pun harus dikembalikan ke khitahnya sebagai alat pertahanan negara demi pengamanan terhadap musuh negara lain. TNI/Polri tidak lagi sebagai alat kekua­saan sehingga netralitasnya tetap mutlak dipertahankan. Kita wajib mengingat­kan jangan sampai TNI/Polri masuk kembali pada kepentingan politik golongan yang akan mengebiri kembali simbol-simbol demokrasi.

Jelang Pemilu 2014 harus kita cermati bersa­ma akan netralitas TNI/Polri agar jangan sampai masuk pada kepentingan penguasa. Ken­dati memasuki situasi politik yang kian memanas, diharapkan pergan­tian Panglima TNI dan Kapolri yang baru saja berlangsung tidak lantas di­artikan sebagai bentuk penggalangan kekuatan oleh rezim penguasa jelang pemilu 2014 mendatang. Semoga saja simpul pertahan negara tersebut mam­pu menjaga marwah demokrasi.

Ferdy Kusumah: Pemerhati Bidang Sosial/Praktisi Media

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun