Mohon tunggu...
Om Win
Om Win Mohon Tunggu... -

... seorang urban yang sehari-hari bergiat di Jakarta, dengan semua manis getir kehidupannya; kota di mana semua keinginan diharapkan, segenap harapan diinginkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jakarta, Betapa Paradoksnya…

16 November 2013   22:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:04 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JAKARTA. Kota di mana belasan juta manusia beradu sesak di jalanan, berebut sedikit celah demi sejengkal gerak, menuju jarak, yang tiada pernah terukur oleh waktu yang senantiasa gegas namun lambat.

Gegas namun lambat? Ya. Itulah paradoks; orang-orang pasrah dalam keterburu-buruan semu. Tak berdaya mengejar waktu yang tak terkejar — tapi juga tak bisa menyerah. Sebab menyerah bukanlah pilihan.

Yang dimaksud mengejar itu, bila kau ingin tahu, bukanlah berlari. Ia lebih sering berarti merayap. Ya, seperti isi laporan lalulintas di timeline NTMC Polda Metrojaya setiap hari: padat merayap di jalan anu. Lancar tersendat di perempatan itu. Kuulangi sekali dua kali lagi untukmu: lancar tersendat. Lancar, tapi tersendat.

Inilah Jakarta, kota tempat semua cita-cita menggantung di langitnya yang kelabu. Kemiskinan dan keberlimpahan menjadi satu. Orang-orang alim dan orang-orang jahat. Janda-janda berduit dan janda-janda melarat. Anak-anak manja di dalam kabin Alphard dan bocah-bocah kumal berdebu menengadah tangan di sisi jendelanya yang gelap.

Kota ini menjanjikan segalanya. Keberhasilan dan kegagalan. Mimpi buruk dan indahnya kejutan. Kerja keras dan kemalasan. Keramaian dan kesunyian. Banjir dan gersang. Realita, juga fatamorgana.

Jakarta. Sungguh beradab bagi sebagian penghuninya. Tapi juga biadab bagi sebagian penghuni yang lain.

Kau bisa mencapai tujuan dari Blok M ke Tanah Abang dengan seribu lima ratus rupiah saja, naik Kopaja, bersesak-sesak bersama penumpang lain di dalam bus bau apak yang dikemudikan ugal-ugalan. Hanya sopir dan Tuhan yang tau ke mana kendaraan ajaib itu akan berbelok dan kapan akan berhenti.

Untuk tujuan yang sama nikmatilah ruang nyaman Mercedes Benz. Kursinya empuk dibalut kulit lux. Aroma kulit itu begitu lembut berpadu parfum khas yang menguar bersama sejuknya AC. Sopirnya ramah, dengan uniform baju safari dan tutur kata terlatih sesuai SOP. Ya, S.O.P. Kau tau itu?

Sampai di tujuan tetaplah duduk hingga sang sopir membukakan pintu. Tapi sebelum turun jangan lupa kau bayar dulu. Harganya, seratus kali tarif Kopaja tadi. Boleh bayar tunai atau gesek kartu. Tidak banyak kok. Cuma seratus lima puluh ribu rupiah lebih kurang. Hanya akan terselip di antara daftar tagihan kartu kreditmu di akhir bulan.

Kabar buruknya: baik Kopaja maupun Mercy hanya menawarkan perbedaan kenyamanan ruang. Selebihnya, kecuali soal tarif tadi, sama belaka. Dua-duanya harus menderita dihajar kemacetan. Tak bergerak kecuali perlahan. Mercy dan Kopaja sama-sama tak bisa terbang.

Tapi kau bisa terbang dengan sebenar-benarnya pengertian terbang, bila mau dan memang punya uang. Carterlah helikopter. Sediakan uang tak kurang lima belas juta rupiah sekali jalan. Hitung sendiri itu sama dengan berapa kalinya tarif Kopaja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun