Sebenarnya saya lelah memulai dengan definisi pendidikan di awal tulisan ini. Dari mulai menurut Ki Hadjar Dewantara yang merupakan usaha sadar manusia untuk meningkatkan potensi dirinya sendiri hingga definisi paling filosofis milik Driyakarya, Memanusiakan manusia. Banyak sekali definisi yang hanya tinggal definisi.
Hal ini dikarenakan begitu banyaknya kebobrokan di negeri ini yang membuat saya lelah untuk marah. Dari diri sendiri hingga Negara ini. Betapa idealisme hanya menjadi slogan yang berlumut di buku-buku dan di dinding-dinding lembaga dan institusi pendidikan. Terlebih di tambah kasus kekerasan baru yang kebetulan diangkat kepermukaan beberapa waktu lalu mengenai Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika Universitas Ternama Jakarta yang rebut dengan Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) yang satu almamater.
Keributan dimulai dari tidak terimanya mahasiswa FIK terhadap pemberitaan yang dilayangkan bulletin khusus OSPEK yang diterbitkan oleh Didaktika. Ketidakberterimaan ini mengundang emosi mahasiswa FIK ini untuk merusak Sekretariat Didaktika dan mengeroyoki satu orang mahasiswanya.
Pasca kejadian diterbitkan kronologi LPM Didaktika mengadukan ini ke rektorat dan meminta mediasi. Dalam forum LPM Diaktika memberi hak jawab dan pihak dari FIK maunya Didaktika meminta maaf. Saya pikir Didaktikalah yang seharusnya juga marah karena sekre mereka dirusak sedemikian rupa oleh mahasiswa FIK ini, tapi mungkin mereka ada pertimbangan lain.
Keributan tak hanya terjadi di kampus Jakarta tersebut, tapi juga di sosial media. Hastag FIK Garis Keras yang sangat ingin membinasakan Didaktika tersebar. Mereka tampak begitu barbar. Saya hanya melihat bahwa mereka mahasiswa yang dibayarkan orang tua atau wali mereka di sana untuk dibentuk moral dan kecerdasannya sedemikian rupa, tapi mengapa penyelesaian masalahnya harus lewat kekerasan. Belum lagi kata-kata kasar yang di-twit kan di Twitter beralamat pada Didaktika. Segala macam cacian yang tak pantas dilayangkan begitu saja.
Kabarnya mahasiswa yang mewakili pihak Didaktika tadi juga melakukan visum dan pengaduan ke kantor polisi. Namun kesalahan mereka juga tidak datang pada saat mediasi yang akan diadakan rektorat. Alasannya demi keamanan mereka. Pertanyaan saya apakah rektorat tidak menjamin keamanan dari mahasiswa mereka ini? Saya kira mahasiswa Didaktika terlalu waspada.
Hari ini (3/9) saya mendapat kabar di salah satu media online nasional mempublikasikan klarifikasi yang ditujukan pada LPM Didaktika. Beberapa poin yang diklarifikasi pihak UNJ ini entah mengapa saya rasa agak lucu. Pasalnya yang megklarifikasi bukan FIK tapi UNJ, apakah Didaktika ini merupakan pihak eksternal atau bukan bagian dari UNJ? Entahlah, semoga saya salah.
Selanjutnya, paragraph pertama klarifikasi mengatakan tidak ada kekerasan, tapi poin keenam mengatakan ada keributan di ruang redaksi Didaktika tetapi personel dari Didaktikas sendiri tak ada di tempat. Pembaca yang mengikuti mungkin bisa mencari foto yang sempat di sebar melalui sosial media yang mengacaubalaukan sere Didaktika dan mencorat-coret dinding dengan tulisan #FIKGarisKeras.
Coretan tersebut tak hanya didinding sekre, tapi juga ditemukan di halaman kampus yang menuliskan bahwa mereka akan membinasakan dan membubarkan Didaktika. Ancaman-ancaman seperti ini ditambah lagi foto-foto kacaunya sekre, ditambah lagi ada pemberitaan yang mengatakan polisi sedang memproses kasus kekerasan ini, ditambah lagi Klarifikasi rektorat yang terlihat seperti ingin cepat selesai saja dan seperti menganggap Didaktika anak tiri, sebentar, bukankah ini kampus pendidikan ya?
Pihak FIK sudah diberi hak jawab seusai UU No. 40/ 1999 tentang hak jawab, namun menolak. Menurut UU tersebut yang menolak hak jawab berarti tidak keberatan terhadap apa yang diberitakan. Bukannya mengklarifikasi terror bermunculan. Baik di dunia nyata mau pun di sosial media, terutama twitter.
Beberapa pihak yang mengaku dari FIK bukannya menenangkan dan mengklarifikasi tapi malah mengajak berkelahi atau mengejek-ngejek pihak yang menentang kekerasan dengan kata-kata yang tidak sopan. Seperti yang saya temukan beberapa akun yang saya rasa tak etis untuk ditayangkan disini, mencaci dan mengatakan saya tak tahu masalahnya, ketika ditanya klarifikasi jawabannya hanya: eh goblok, lo ga tau masalahnya mending diem aje! Jawaban yang keren sekali dari mahasiswa tadi.
Mereka seperti preman yang marah karena kenyamanannya di ganggu. Tapi Didaktika tak pula sepenuhnya bisa dibela, mereka menghilang, menurut perwakilan rektorat. Menurut beberapa akun twitter mahasiswa FIK mereka takut memunculkan diri di kampus. Rektorat yang memediasi malah mengeluarkan klarifikasi kejadian, bukannya klarifikasi hasil mediasi.
Rektorat kalau boleh saya ibaratkan sebagai orang tua. Sebaiknya mempertemukan kedua pihak dan mengusahakan keamanan mereka seaman-amannya. Bukan saya memihak pada didaktika, tetapi ini merupakan tanggung jawab orang tua memediasi anak-anaknya yang sedang bertengkar.
FIK yang kemudian bersembunyi di balik ketiak birokrat (rektorat) tidak memberikan klarifikasi apa pun. Malah rektorat yang memberikan klarifikasi, bukan hasil mediasi.
Membandingkan pemberitaan tentang memang adanya laporan dari personel didaktika yang saya peroleh lewat pemberitaan malah menambah kecurigaan saya pada klarifikasi yang dipublish. Bisa saja ada unsur tekanan atau ancaman didalamnya oleh mahasiswa FIK, semoga ini hanya piiran buruk saya, atau Didaktika memang berbohong saya juga tak tahu pasti. Yang jelas semuanya kabur disini. Tak ada yang benar. Salah semuanya.
Saya lelah membahas definisi pendidikan karena memang hanya jadi slogan. Bayangkan saja Kampus Jakarta yang dilabeli sebagai kampus pendidikan yang, saya tahu Prof. H.A.R Tilaar yang saya kagumi berasal dari sana, terjadi kekerasan yang ditolerir oleh pihak rektorat dan rektorat tak terlihat serius menanganinya.
Kejadian ini saya kira perlu menjadi bahan instropeksi bagi Kampus Jakarta ini Mahasiswa adalah calon guru, bukan guru yang harus dikelas, tapi guru bagi masyarakatnya dan juga guru bagi dirinya sendiri. Seorang guru atau tepatnya pendidik memiliki tugas mulia yaitu memanusiakan manusia. Tak berlebihan rupanya saya menyanggah kalau di dunia pendidikan tinggi pun peristiwa seperti ini masih ada.
Diperlukan keseriusan pihak Kampus Jakarta dan roda-roda pendidikan lainnya untuk menginstropeksi diri dengan serius. Untuk masalah ini, rektorat tak perlu menyalahkan siapa pun, berita terakhir yang saya baca Kampus Jakarta ini menyayangkan tak hadirnya pihak Didaktika, termasuk pembimbingnya juga. Saya kira pihak Kampus tak perlu mengatakan hal-hal tak perlu seperti itu, Selesaikan urusan, mungkin dengan mendatangi atau cara lain.Cara-cara mediasi yang memanusiakan manusia. Mengeluhkan ketidakdatangan tak mempunyai manfaat apa pun.
Saya tak tahu mana yang arus dipercaya, bisa saja disini saya yang salah mengerti apa yang terjadi disana. Akan tetapi, kekerasan dalam penyelesaian masalaha seperti kasus ampus Jakarta ini tetap saya tentang karena penyelesaian masalah dengan otot dalam konteks ini sama sekali tidak berpendidikan dan menafikkan fungsi otak.
Mahasiswa harapan bangsa adalah slogan basi yang menempel didinding-dinding . Bagaimana bisa jadi pemimpin bangsa jika yang dilihat yang paling kuat dan orang banyak memilihnya dengan alasan takut. Hal ini selalu terjadi jika kita melihat kebobrokan-kebobrokan yang terus terjadi hingga kini. Tapi do’a saya semoga saja penerus mereka tak melakukan hal bodoh semacam kekerasan tadi.
Saya hanya punya sebuah ketakutan dalam kasus ini. Ketakutan itu adalah jika calon pendidiknya saja menyelesaikan masalah dengan kekerasan begini, bagaimana penerusnya? Kepada siapa lagi berharap selain pendidik untuk menyematkan nilai ideal moral masyarakat?
Ini adalah bentuk semacam hipperealitas kebodohan yang dibentuk oleh oknum-oknum dalam dunia pendidikan itu sendiri. Terus saja mengulang-ulang kebodohan yang pernah terjadi. Apakah kemudian benar yang dikatakan Baudrilard bahwa kita sudah sampai kepada semacam hiperreal dimana segala sesuatu dimainkan ulang lagi dan lagi? Saya kira hampir. Akan tetapi pengulangan kekerasan ini menggelembung, artinya yang melakukan bukan hanya siswa menengah, tapi juga perguruan tinggi.
Almarhum H. Mabun Djunaidi, seorang tokoh pers senior yang terkenal lewat esai-esainya yang jenaka pernah membuat kutipan bagus perihal kemanusiaan dalam lingkaran kekuasaan dan pendidikan politik.
…Agar supaya memudahkan, paling utama berhentilah barang setengah jam di depan kandang monyet. Monyet jenis apa saja pun, jadilah. “Kamu lihat monyet yang paling besar dan paling beringas itu? Dialah kepala, pemimpin monyet-monyet lain di kandang itu. Dia menjadi kepala dan menjadi pemimpin itu, bisa disebabkan beberapa faktor. Bisa karena dia paling tua, bisa juga karena paling pintar. Tetapi yang jelas karena dia paling besar, paling kuat, paling perkasa, paling mampu membanting monyet-monyet lainnya yang tidak menurut. Alasan takutlah yang membuatnya bisa menjadi pemimpin. Monyet tidak pernah mengenal sistem pemilihan seperti halnya bangsa manusia. Ini kedunguan warisan.”
Pada akhirnya, pelaku-pelaku kekerasan dalam pendidikan mewariskan warisan-warisan yang menjadikan rasa takut sebagai jalan untuk berkuasa. Dan sedikit memodifikasi ulang Mabun Djunaidi: Ini kedunguan warisan untuk terus melahirkan kedunguan.
Semoga ini hanya sebatas ketakutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H