Samiyati perempuan Yogyakarta, istri Willem Kootstra yang dinikahinya pada tahun 2003 menjadi rahasia intensitasnya dalam melukis. Pada 1996 Willem Kootstra datang ke Indonesia dan menetap di Kota Yogyakarta. Pada 2003 berlibur ke Belanda, kemudian kembali ke Yogyakarta dan menikah dengan Samiyati, kemudian memiliki putri kembar, setelah itu Willem tidak pernah lagi ke Belanda. Dia menemukan Samiyati yang merupakan bagian dari kenyamanan hidupnya dalam berekspresi dan bersosialisasi di tanah Jawa.
Kekuatan energi Samiyati tidak bisa diragukan lagi dalam memberikan semangat dan memberikan kesempatan yang luang bagi suaminya yang memiliki keinginan mengekspresikan gagasan-gagasannya ke atas kanvas. Tanggapan atau penghargaan serta penilaian Samiyati dan putrinya yang kembar membuat semakin kuatnya karya-karya yang dihasilkannya. Kekuatan sebuah cinta dan kasih sayang yang menggelora dalam keluarganya itu mendorong Willem Kootstra tetap berkarya, dapat menumpahkan cat, menumpahkan segala rasa dan pikirannya ke bidang kanvas. Â Â
Semenjak pernikahannya dengan Samiyati, empat kali pameran tunggal telah dilakukan, pada 2003 ia berameran tunggal di Rumah Budaya Tembi, 2014 pameran tunggal "Laissez Faire!" di Nalarupa, 2015 pameran tunggal "Everything is WrongEverything is Excellent" di Luden Art Space, dan kini pada 2017 adalah pameran tunggalnya yang ke empat "What's The Right Thing to Do" di Hotel Gallery Prawirotaman Yogyakarta.Â
Willem Kootstra masih terus berproses dengan daya cipta lukis abstraknya, dan menunjukkan kepada masyarakat seni rupa bahwa spirit serta kreasinya terus mengalir. Â Pameran tunggal kali ini sebagai penanda eksistensinya atas apa yang diperjuangkan serta mempertahankan terhadap dunia lukis abstraknya.
Kesuksesan suami sangat bergantung kepada siapa istri pendampingnya. Pekerjaan suaminya kini sebagai seniman, sebagai pelukis. Samiyati telah menunjukan kemampuannya sehingga suaminya dapat bekerja dengan maksimal. Kini kemampuan melukis dalam sebulan bisa tiga lukisan ukuran dua meteran, namun Willem Kootstra lebih memilih ukuran kanvas yang sedang karena kondisi fisiknya. Padahal sebelumnya bisa sampai sepuluh karya dengan ukuran berpariasi dalam sebulan. Kesungguhan Samiyati menjaga ritme berkarya Willem Kootstra sekaligus menjaga kesungguhan menguji kreasi dalam karyanya.
Abstrak Willem Kootstra
Willem Kootstra yang dilahirkan di Bandung, 13 Agustus 1938 dari keturunan Belanda (Bapak) dan Bandung (Ibu) tinggal di Indonesia sampai pada umur 12 tahun, dan pada 1950 bersama keluarganya pindah ke Belanda melanjutkan sekolah dan bekerja di Belanda. Sambil bekerja ia belajar melukis kepada tokoh-tokoh pelukis Belanda, menonton pameran dan banyak mengunjungi museum seni rupa.
Ketertarikan kepada lukisan Abstrak terjadi semenjak ia mengenal karya-karya lukisan. Oleh karenanya, kendati karya-karya lukisan abstraknya dibuat di Indonesia, terutama Yogyakarta, tetap saja berbeda dengan karya-karya para pelukis abstrak Indonesia, baik secara konsep maupun bentuk karyanya.Â
Bahkan dengan Arie Smith atau Ries Mulder yang sama-sama orang Belanda, secara konsep maupun bentuknya tetap berbeda.[ii] Seni lukis abstrak yang berkembang di Indonesia berpijak pada konsepsi spiritual adat-istiadat yang menekankan nilai-nilai moralitas-keTuhanan pada awal tahun 1960-an seperti Ahmad Sadali, Mochtar Apin, But Muhtar maupun Srihadi Soedarsono hingga generasi berikutnya pada tahun 1970 seperti Danarto, Lian Sahar, Nashar, Aming Prayitno, Nunung WS, Umi Dahlan, Sulebar M Soekarman sebagai tokoh abstrak yang diperhitungkan dalam periode akhir seni rupa modern Indonesia.
Perbedaan karya-karya lukisan abstrak Willem Kootstra dengan karya-karya seni abstrak Indonesia terletak pada kemurnian seni abstrak yang erat kaitannya dengan kota asal seni lukis abstrak, Munich Jerman, yang diproklamasikan oleh Wassily Kandinsky dengan kolompok Cobra sebagai ujung tombak perkembangannya. Seni abstrak murni kemudian berkembang di Belgia dan  Belanda hingga seluruh Eropa dengan Willem de Kooning, Arshile Gorcky dan Hans Hofman sebagai tokohnya. Perkembangan seni abstrak menyebar ke Amerika dengan puncak perkembangan abstrak ekspresionisme di masa Jackson Pollock dan Mark Rothko. Dari Amerika seni abstrak menyebar hingga Rusia, negara asal Kandinsky, dan terus berkembang ke seluruh Asia hingga Indonesia.