Hal ini diikuti oleh seluruh pasukannya. Konon, di Alas Ketonggo masih bisa dijumpai mahkota Sang Raja yang telah menjadi batu. Dari tempat ini, Sang Raja bersama pengikutnya mendaki Lawu melalui jalur Jogorogo. Jika mau ditelusuri, jalur ini tembus hingga Pasar Dieng dan Argo Dalem di kawasan Puncak Lawu.
Di Pasar Dieng saat ini masih ditemukan jalan batu kuno dari arah Jogorogo dan beberapa gapura dari tumpukan batu menyerupai bentuk piramid. Pasar Dieng merupakan sebuah teras datar yang sangat luas, kira-kira enam kali luas lapangan sepak bola. Di teras ini terdapat ribuat batu yang berserakan.Â
Di antara batu-batu itu terdapat batu-batu yang ditumpuk. Jelas tumpukan-tumpukan itu sengaja ditata sebagai salah satu wujud ritual dari orang-orang yang datang ke sini. Di dekat batu-batu yang ditumpuk tersebut seringkali masih dijumpai sisa bunga, hio, dan uang koin. Selain batu yang ditumpuk, di pasar dieng banyak dijumpai batu yang disusun membentuk segi empat seperti untuk membatasi sesuatu.
Cerita Muis dan cerita banyak orang lainnya tentang Sunan Lawu atau Brawijaya terakhir sudah dianggap benar adanya. Penghargaan pada Sunan Lawu ini bisa Anda lihat saat malam 1 Syuro. Nyala senter tidak putus dari pintu pendakian hingga puncak. Warung-warung dadakan banyak berdiri di kawasan Cokrosuryo, Argo Dalem, dan Sendang Drajat. Bagi arkeolog seperti saya, kehadiran Majapahit di Lawu bisa dipastikan dengan adanya lambang Majapahit yang diterakan pada menhir di Kompleks Cokrosuryo.
Namun, keberadaan punden-punden berundak, menhir, lumpang, dan dolmen di Gunung Lawu patut dipertanyakan. Semua tinggalan itu mewakili kehidupan prasejarah---jauh sebelum Majapahit lahir. Saat Sang Raja Majapahit datang ke sini, kawasan Puncak Lawu bukan ruang kosong.Â
Punden-punden berundak itu sudah ada sebelumnya, lalu dipakai ulang, direhab, dan beberapa dibangun baru. Ketika Kerajaan Majapahit berada di ambang keruntuhan, ada kecenderungan kalangan elite, seperti raja, patih, dan para panglima kerajaan, kembali memuliakan pemujaan leluhur (animisme).Â
Mereka mengasingkan diri ke daerah pinggiran di pegunungan, seperti Penanggungan, Wilis, Bromo, Dieng, dan Gunung Lawu. Di tempat-tempat tinggi ini mereka meneruskan dan membangun kembali kehidupan---tempat yang dekat dengan langit, dengan TUHAN. Raja Majapahit sudah mengajarkan pada kita bagaimana mewarisi ajaran dan karya leluhurnya untuk kehidupan lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H