sempurna dalah obsesi yang dimiliki kebanyakan manusia saat ini. Baik laki-laki maupun perempuan membuat standar sempurna versi mereka masing-masing. Laki-laki yang sempurna biasanya di identikan dengan lelaki yang berperawakan atletis, memiliki kekayaan dalam jumlah banyak serta terpandang di masyarakat. Adapun perempuan yang sempurna adalah perempuan yang cantik dengan standar cantik yang terbilang cukup tinggi, berperawakan seksi, dan masih banyak lagi.
Obsesi menjadiStandar tersebut pada akhirnya membentuk kerangka berpikir manusia-manusia modern yang penuh dengan kesempurnaan. Tidak jarang didapati quotes-quotes yang menjatuhkan manusia yang jauh dari standar itu. Seperti kepada pria, seringkali didapati quotes yang berbunyi bahwa laki-laki tidaklah sama seperti perempuan dan anak-anak. Ia hanya akan dicintai bilamana ia memiliki kemampuan yang mumpuni, baik dari segi pengumpulan kekayaan atau kemampuan fisik. Begitupun terhadap perempuan, mereka hanya akan dicintai bilamana memiliki tubuh yang cantik dan ideal.
Hal itu kemudian berdampak pada banyaknya manusia yang merasa bahwa dirinya adalah seseorang yang tak pantas dicintai, tak pantas disayangi, atau bahkan tak pantas memiliki hubungan dengan orang lain. Kalaupun terjalin suatu hubungan, acapkali berpura-pura menjadi orang lain, bersikap layaknya manusia sempurna, dan hanya menunjukan sisi terbaik dari dirinya. Padahal esensi suatu hubungan adalah menunjukan diri sendiri apa adanya tanpa takut dihakimi dan ini merupakan bagian dari kebutuhan dasar seorang manusia.
Ketika mendengar kata-kata diatas, saya merasa miris dengan apa yang terjadi. Ternyata, di dunia modern ini, anjing dan kuncing lebih layak mendapatkan rasa cinta manusia ketimbang manusia itu sendiri. Hubungan transaksional menjadi landasan kebanyakan hubungan saat ini, sehingga seolah-olah manusia yang kalah persaingan dalam dunia ini, adalah manusia yang pantas mati.
Tak jarang pula fenomena ini berdampak pada cara pandang lookisme, yakni suatu pandangan bahwa orang cantik dan tampan adalah seseorang yang paling kecil kemungkinannya dalam melakukan kejahatan. Sehingga ketika terjadi suatu tindakan pidana dan pelaku adalah orang tampan atau cantik, tak jarang banyak mendapat simpatisan dari masyarakat. Berbanding terbalik dengan pelaku yang berperawakan tidak tampan atau cantik, yang justru langsung mendapat kecaman dan cacian bahkan sampai menghilangkan nilainya sebagai seorang manusia.
Cara pandang yang membentuk manusia saat ini pada akhirnya melupakan jati diri mereka sebagai seorang manusia. Yakni seorang makhluk yang tidak hanya dibekali oleh kekuatan, melainkan juga kerapuhan. Hingga pada akhirnya menghasilkan manusia-manusia gagal serta tak pantas untuk hidup. Tak heran bilamana banyak yang terkena depresi, dan kemudian berujung pada tindakan mengakhiri hidup atau bunuh diri.
Selain dampak buruk di atas, keyakinan bahwa manusia mesti sempurna pada akhirnya membuat manusia rawan untuk tidak percaya diri, rawan untuk terbawa arus lingkungan sekitar tanpa tahu siapa jati dirinya sendiri. Manusia yang unik dan original akan banyak terkikis saat ini.
Lalu kemudian apa akar masalah dari fenomena ini dan bagaimana solusi yang mesti dibangun?
Akar masalah dari fenomena ini menurut penulis dapat dikategorikan menjadi tiga unsur, unsur pikiran, fasilitas, pola asuh. Unsur pikiran dalam hal ini adalah dimaksudkan semua cara pandang dan berpikir yang terbangun di era ini. Sistem kapitalis dengan cara pandang materialistis nya yang mendominasi membuat hampir setiap manusia berpandangan demikian. Seperti tak ada cara lain selain ikut berkecimpung di dalamnya. Manusia saat ini dilahirkan dengan kondisi dimana dirinya tak  bisa menentukan akan hidup dengan sistem yang bagaimana. Kita seperti menerima saja apa yang disuguhkan tanpa bisa lagi mengkritisi atau mengubah bilamana tidak sesuai dengan hati nurani kita. Manusia satu dimensi, manusia yang memiliki standar kesempurnaan sendiri adalah manusia-manusia yang terbentuk saat ini.
Kemudian untuk unsur fasilitas adalah semua teknologi yang ada saat ini memberikan setiap pemahaman yang berlaku umum tersebut menjadi mudah untuk disebarluaskan. Tak ada lagi batasan ruang dan waktu bagi hal ini. Rasanya tak lagi mudah bagi kita untuk membedakan antara cara pikir orang desa dan kota, sebagai dampak dari ini.
Terakhir adalah unsur pola asuh yang memberikan dampak kepada setiap manusia yang lahir di dunia dengan cara pandang yang kurang lebih sama. Semisal dalam hal sempurna tadi, orang tua yang menanamkan pada diri anak tersebut bahwa dia sempurna dan layak untuk dicintai pada akhirnya membuat si anak yakin bahwa dirinya memang sempurna.
Padahal semestinya yang mesti ditanamkan dalam diri anak sejak kecil adalah tak peduli seberapa rapuh dirinya, seberapa tidaksempurna dirinya, dia layak dan pantas untuk dicintai dan berperan dalam kehidupan ini. Dengan begitu, manusia yang tumbuh adalah manusia yang percaya akan dirinya sendiri, manusia yang tak terlalu peduli akan standar yang ditetapkan, dan manusia yang yakin untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.
Berupaya menjadi sempurna tidaklah salah, karena itu bisa mendorong kita untuk terus berupaya meningkatkan kapasitas diri. Yang salah adalah meyakini bahwa diri harus sempurna untuk bisa dicintai dan berperan dalam kehidupan ini. Karena bilamana meyakini hal tersebut, ketika tak tercapai maka hanya ada satu opsi, mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H