Masih gelap hari, belum keluar matahari. Ramai kumpulan orang, padati bahu jalan. Lambaikan tangan buat henti laju angkutan. Lalui hari tanpa pernah henti semangat juang.
Sayur penuhi gerobak impian, motor hindari lubang tak bertuan. Tentara bernyanyi, sebab belum datang waktu berperang. Ayam-ayam, burung-burung, kesiangan.
Persetan apa kata orang!! Aku pulang saat pagi menjelang. Kerja larut malam dengan badan separuh telanjang, juga desahan dalam keringat kelelahan. Tak lagi jadi soal, demi lunas tunggakan kontrakan, demi lapar tak terus datang, demi Bunga, anakku, gapai impian. Demi Rani, istriku, datang kesembuhan.
"Bujang!! Tidur kau?!!!" teriakan juragan lihat ku tidur di depan tumpukan keranjang jeruk miliknya, bangunkan ku, untuk segerakan angkat jeruk pada truk ke dua yang baru datang.
Inilah hari dimana datang kiriman jeruk dari Brastagi, kampungku, tempat lahirku, tempat kuburan kedua orang tuaku. Ditinggal mati sejak ku baru lahir oleh ibu ku saat melahirkanku. Lalu bapak yang mati dua bulan setelahnya akibat tergencet truk yang tak kuat menanjak, buat Marbun, juragan jeruk, majikan bapakku, juraganku sekarang, adopsi ku jadi anaknya, dan dibawa diriku ke Jakarta. Diasuhnya, disekolahkan tinggi-tinggi, sembilan tahun lamanya.
Tanyaku padanya, setelah kulihat seorang anak kenakan celana panjang abu-abu melintas didepan kios jeruk tempat ku kerja "Pak, kenapa dulu tak kau sekolahkan ku hingga bercelana panjang??"
"SMA maksudmu??" Tanyanya balik kepada ku.
"iyalah!!"
"kau tak tau bujang!! Dulu saat kau kecil, kulihat iklan di TV, sekolah itu wajibnya sembilan tahun, kalo kau ku sekolahkan sampai SMA, dosa nanti aku!!"
"bagaimana bisa bapak berdosa kalau sekolahkan ku hingga SMA??"
"itu ustad di TV yang bilang, pakai peci dia, persis jum'atan seragamnya, seperti ustad ceramah jum‘at kemarin, ‘janganlah kau ada-adakan apa yang tidak ada pada aturan agama, berdosa kau nanti!!'. Makanya kusekolahkan kau hanya sampai SMP. Takut aku."