Judul : Kumara: Hikayat Sang Kekasih
Penulis : S. Jai
Penerbit : Dewan Kesenian Jawa Timur
Cetakan : Desember 2013
Tebal : xiv + 389 halaman
ISBN: 978-602-9850-31-4
PELARANGANbukumenjadi salah satu cara sebuah rezim melanggengkan kekuasaannya. Tidak hanya masa kolonial, masa reformasipun pelarangan buku masih terjadi. Dengan dalih menjaga ketertiban umum banyak buku yang gagal beredar. Dampaknya hak-hak masyarakat menyampaikan maupun mendapatkan informasi terhalangi.
Rezim Orde Barudikenal sangat ketat menyortir buku terutama buku-buku yang berhubungan dengan huru-hara tahun 1965. Hanya buku versi rezim kala itu yang dapat beredar. Bahkan bukan hanya buku sastra atau sejarah, karya-karya lain berupa musik, film, bernasib sama; dilarang peredarannya.
Masih sangat segar dalam ingatan bagaimana Rezim Orde Baru menciptakan opini dan memunculkan Soeharto sebagai tokoh utama dan bersih dalam film G 30 S/PKI yang selalu tayang tiap 30 September malam setiap tahunnya. Padahal banyak yang menyangsikan “kebersihannya” dalam peristiwa yang menempatkan bangsa ini pada titik nadir kemanusiaan.
Buku seperti Dalih pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karangan John Rosa, Hubungan Soeharto dan Kup Untung: Sebuah Mata Rantai yang Hilang Wf Wertheim, serta Hari-hari Terakhir Kekuasaan Soeharto karya Bennedict Anderson adalah sedikit contoh dari ribuan buku yang dilarang peredarannya.
Setiap warga negara, seperti para penguasaberhak bercerita kisah yang dialaminya pada masa lampau, semisal yang bersinggungan dengan peristiwa 1965 sesuai versinya. Toh, para kritikus dan masyarakat yang akan menjadi hakim atas validitas kebenarannya yang akan diuji oleh publik.
Mengenai cara bercerita orang bisa memilih untuk menggambarkan dirinya dengan heroik yang mengharu-biru untuk mendapatkan simpati dan sanjungan dari masyarakat–-ini dapat dilihat dalam buku-buku pelajaran tentang Orde Baru dalam peristiwa pembantaian PKI tahun 1965. Pun demikian dengan buku-buku biografi yang banyak muncul di toko buku apalagi menjelang pemilihan caleg maupun presiden di tahun politik 2014 ini.
Ada juga orang yang memilih menuliskan kejadian sehari-hari yang biasa dilakukan oleh rakyat kebanyakan seperti Sri Sumarah karya Umar Kayam. Hal seperti ini tidaklah salah dan sah-sah saja untuk dilakukan. Seperti yang diungkapkan Tagore, dalam Catatan Pinggir “Sejarah” Gunawan Muhammad Oktober 2013 silam,sejarah bukan yang tercatat dari tokoh dan adegan publik. Sejarah adalah ceritapratyahik sukhduhkha,“suka duka sehari-hari” manusia, yang disampaikan secara kreatif.
Peristiwa Gestapu maupun Gestok1965 ditulis dengan beraneka ragam versi.Bawuk novelet (selain Sri Sumarah) karya Umar Kayam danRonggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ditulis dengan versi novel.Sedangkan Palu Arit di Ladang Tebu karya Herman Sulistyo, Kesaksian Para Algojo 1965 oleh Majalah Tempo serta Buku PutihBenturan NU-PKI 1948-1965sebagai tanggapan atas investigasi Tempo oleh PBNU yang diluncurkan pada Desember 2013 silam ditulis dengan laporan investigasi.
S. Jai dengan data-data yang ia miliki serta kekuatan imajinasinya menuliskan versi lain atas peristiwa perang saudara yang menggegerkan dunia internasional. Dengan locus of tragedyadalah Kediri cerita-cerita dibangun dari orang-orang yang disekitarpengarang. Semuanya tertulis lengkap dalam novel Kumara: Hikayat Sang Kekasih.
Ia mengklaim bahwa karya ini merupakan karya yang memuat banyak biografi–- yang oleh orang Jawa tersebut kerap disebut ‘sejarah’ itu—ia banyak sekali menggali tokoh-tokoh dalam novel tersebut dengan wawancara banyak orang. Mereka adalah para penduduk sekitar Pabrik Gula Ngadirejo dan para mantan buruh yang sebagian besar telah berumur senja.
Mereka adalah orang-orang yang berjibaku dalam pergulatan selaku pribadi-pribadi masyarakat kecil yangkeukeuhpada daya budi hasil peradaban Jawa dan yang telanjur diuntai dengan tali secara keliru ke dalam pentahapan mistis yang irrasional. Bukan hanya itu. Bahkan mereka jugalah yang berkumpar pada keteguhannya dengan kultur Jawa rendahan yang mengukuhkan kebudayaannya, yang secara religi dimaknaistupid vainglorydengan istilah Abangan oleh sederet sarjana terkemuka—termasuk oleh Geertz
Seperti yang diceritakan oleh Suratemi bagaimana awal mula gesekan yang berubah menjadi gerakan yang melibatkan santri versus Orang-orang Komunis, BTI, dan Pemuda Rakyat. Dengan sudut pandang orang pinggiran yang terseret arus pertentangan antar golongan, tak pernah tahu apa yang terjadi dan kenapa hal itu bisa terjadi. Kejadian itu menjadi terang benderang setelah semuanya selesai.
“Ono opo to sakjane, Kang? Kawe esuk kok gegera terus?” Suratemi tanya penduduk yang paling belakang di rumah Pak Lurah itu.
“Durung gegeran yu, iki isih arep gegeran temenan, Yu. Lapor Pak lurah. Pondok Kiai Jauhari diserbu wong-wong BTI, PKI, Pemuda Rakyat. Iki arep Berangkat mbales.” (Hal. 76)
Kisah Karta lain lagi. Waktu itu ia adalah direktur Pabrik Gula Ngadirejo dengan kekuasaan yang dimiliki ia melindungi buruh pabriknya yang sebagian besar adalah anggota Serikat Buruh Gula, SBG, salah satu organ PKI. Karta bukanlah anggota PKI, tetapi ia berkewajiban untuk melindungi anak buahnya dengan alasan yang sangat sederhana, demi pabrik terus berjalan memproduksi gula. Walaupun dikemudian hari satu demi satu buruhnya terkena screening oleh atasannya karena terlibat PKI.
Nama Pak Karta memang harum di kalangan buruh dan kampung Istana, sekitar pabrik Gula Ngadirejo, tetapi nasib yang dialami Ruki, anaknya,berbeda.Semenjak bapaknya menolong buruh pabrik gula Ngadirejo, ia menjadi bahan ejekan oleh teman-temannya. Pun begitu semasa tinggal di Jerman cap “orang kiri” tetap melekat pada dirinya.
Berangkat dari Mitos
Novel ini dibuka dengan keseharian masa tua Mbok Suratemi. Sebagai penulis, S. Jai mengajak pembaca untuk merunut kisah hidup orang kecil yang berada pedesaan yang jauh dari pusat kuasa. Orang-orang kecil yang semasa hidupnya tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan kebijakan tetapi selalu mendapatkan imbas kebijakan yang barangkali tak pernah berpihak kepadanya.
Orang kecil seperti Mbok Suratemi menyandarkan dirinya kepada “yang baik” untuk diri dan keluarga serta masyarakatnya. Jika nantinya ada yang salah dalam keluarga atau masyarakat hampir pasti dia akan menyalahkan dirinya. Sebuah bentuk kerelaan dan ikhtiar “orang kecil”.
Kediri memiliki beragam mitos yang hidup di tengah-tengah masyarakatnya.Masyarakat mengolah, menghayati, serta mengamini mitos tersebut untuk menjadi bagian “kebenaran” dalam dirinya. Maka tak heran jika Roland Barthes menuliskan bahwaMitos tidak didefinisikan oleh objek pesannya tetapi oleh caranya menyatakan pesan tersebut.
Nah, maka dari itu bisa dilihat bahwa kekuatan novel Kumara: Hikayat Sang Kekasih terletak pada kegigihan pengarang ngonce’i, menguliti mitos yang hidup di masyarakat sekitar Sungai Brantas.Dus, bisa dikatakan bahwa novel ini hidup karena mitos, timbal baliknya novel ini semakin menguatkan akar mitos di masyarakat.
Saya menangkap makna kalimat ‘Maju ke Belakang Mundur ke Depan’ S. Jai dalam novel sebelumnya Tanha: Kekasih yang terlupa(yang juga berangkat dari mitos) merupakan pembuktian bahwa dengan menggali mitos sebenarnya adalah perjalanan menuju masa depan bagi orang yang merawat dan mempercayainya.
Pandangan hidup orang miskin yang menghidupkan mitos bahwa peristiwa Gestokadalah di luar nalarnya. Tidak pernah ada dalam pikirannya bahwa anak, tetangga, kerabat dekat yang beda organisasi bisa berbuat melebihi hewan.
“Pak Karta sendiri, begidik ketika mendapati cerita di depa matanya sendiri. Suatu ketika, di pabrik ada seorang tukang namanya Tabuk, Sudah tua tapi punya adank yang juga kerja di pabrik itu. Tabuk ini fanatik tetapi bodoh. Bencinya setengah mati pada Karta. Semuanya disingkirkan, anaknya namanya Bowo, di bawa terus di bunuh.”(hal. 133)
Orang-orang yang selalu ngugemi, merawat mitos-mitos moyangnya lebih memiliki antibodi dalam dirinya dalam situasi huru hara Gestok, Gerakan Satu Oktober, mereka cenderung mengembalikan kepada “yang lain” di luar dirinya. Mereka berharap suatu saat kehidupan mereka akan kembali adem ayem seperti yang dicita-citakan oleh manusia.
“Dalam pemahaman tertentu boleh jadi benar, tetap tidak sepenuhnya itu terjadi padaku. Memang ada aroma nostalgia kejayaan masa silam, tetapi aku tidak sedang bicara seperti itu. Aku bicara perihal spiritualitas orang miskin, spiritualitas tokoh-tokoh yang bergelut dengan kemiskinan.”(hal. 339)
Versi-versi semacam ini yang perlu digali dan didalami kebenarannya. S. Jai menawarkan penulisan sejarah menurut versinya. Orang-orang kecil menyimpan cerita-cerita dalam dirinya hanya untuk penenang dirinya ketika masa tua. Bisa dikatakan merekalah sebenarnya pelaku sekaligus pengamat yang bersih hati nuraninya seperti yang Tagore ucapkan dalam Gitanjali Where words come out from the depth of truth, Dimana kata-kata keluar dari kedalaman kebenaran.
Sebuah cerita di masa lalu yang hanya jadi kembang di masa tua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H