Mohon tunggu...
Bayu Fitrah Kurniawan
Bayu Fitrah Kurniawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang

Menulis dan membaca = berpikir = hidup

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Orang Tuaku Buta dan Tabu

22 Desember 2022   00:32 Diperbarui: 22 Desember 2022   07:19 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini bukan peraduan yang bersifat mengemis rasa kasihan dari siapapun. Namun, caci maki yang datang berganti-ganti begitu mengoyak hati dan pada akhirnya memberiku pelajaran bahwa; semua orang memiliki mata jasmani, namun tak semua orang memiliki mata hati. Banyak orang memekik keras berkata bahwa; karena kecacatannya, Ayah dan Ibuku tidak akan pernah bisa menjadi apa-apa, Ayah dan Ibuku tidak memiliki hak untuk bercita-cita, dan Ayah serta Ibuku mustahil bisa berbuat banyak untuk keberhasilan anak-anaknya. Seandainya hukum agama dan negara tidak berlaku, sudah kumutilasi semua orang yang berkata seperti itu. Luar biasanya, Ayah dan Ibu hanya mengulumkan senyumnya lalu berkata kepadaku; "Tidak apa-apa, nak. Memang begini keadaannya. Jangankan orang lain, bahkan jika anak Ayah pun ikut membenci Ayah karena kondisi yang sedemikian rupa hina tapi nyata, Ayah dan Ibu tidak apa-apa. Toh, kami memang tidak akan pernah bisa menjadi apa-apa, kami memang tidak memiliki hak untuk bercita-cita, dan memang mungkin kami mustahil  bisa berbuat banyak untuk masa depanmu nanti, nak".

            Cerita baru dimulai. Teluk Kuali, Februari 1975 lahir seorang anak bungsu dari pasangan Ahmad Karim dan Maryana, pasutri yang hidup di pelosok Kab. Tebo, Jambi. Anak bungsu mereka terlahir normal, sehat, dan tak membawa alasan apapun untuk dapat diumpat. Cerita berubah pada September 1977. Ia disetubuhi demam tinggi berhari-hari dengan kondisi tak ada sarana kesehatan yang memadai di perkampungan yang jauh dari pusat peradaban, sehingga ia terpaksa melawan sakit tanpa pengobatan. Setelah beberapa hari ia terbaring, demamnya sedikit mereda, namun kelopak matanya yang sudah sekian hari tertutup sukar terbuka. Kelopak matanya matang dipanggang demam yang akhirnya membuat kedua bola matanya buram. Miris, yang terpanggang bukan hanya bola mata, namun juga saraf-saraf mungil yang tak salah apa-apa, ia pun dilantik Tuhan menjadi penyandang disabilitas netra.

            Awal cerita baru dimulai, ia enggan usai. Ujung Pandang, April 1977 lahir seorang anak bungsu dari pasangan Abdul Hamid dan Taku Daeng, pasutri yang hidup dipinggiran kota Kapal Pinishi, dekat sekali dengan pesisir pantai yang begitu indah, Pantai Losari. Ia pun terlahir normal. Cantik sekali. Jauh lebih indah daripada purnama termegah abat ini. Namun, empat tahun setelah ia lahir, ia harus menggigit jari karena penyakit cacar bertamu ke tubuhnya, demam tinggi tak luput. Hari ketiga dalam sakitnya, ia dibawa ke dokter untuk pengobatan, namun pengobatan itu sia-sia. Dokter salah mengambil keputusan, ia disuntik, tetapi demamnya malah menjadi-jadi. Hampir sebulan ia terbaring tanpa mampu berbuat apa-apa. Jangankan menggerakkan badan, membuka mata pun ia tak kuasa. Setelah sebulan berlalu, demamnya mereda. Sayangnya, mata yang sudah sebulan tertutup, ketika terbuka hilang sudah warna hitamnya. Matanya memutih, pucat pasi. Kenyataan mengharuskannya menjalani hidup sebagai penyandang disabilitas netra. Demikian cerita awal kebutaan Ayah dan Ibuku. cerita mereka tak jauh berbeda. Wajar saja, takdir menjodohkan mereka. 

            Meski takdir membirulebamkan hati, mereka menghadapi hidup dengan penuh berani. Mereka mengenyam pendidikan di Panti Sosial Bina Netra (PSBN) "Wyata Guna", Bandung. Ayahku tamatan SLTP, Ibuku tamatan SLTA. Di tempat bersejarah itu benih cinta mereka bersatu. Ayah dan Ibuku menjalin hubungan akrab lalu menikah di Bandung. Setelah menikah, mereka memutuskan untuk tinggal serta hidup di Bandung dan menjadi tenaga kerja di Panti Pijat Tunanetra "Hasta". Tuhan menunjukkan kebesarannya menjelang kelahiranku. Ayah dan Ibuku memiliki orang tua angkat yang benar-benar peduli dengan mereka. "Oma Viki", demikian aku memanggilnya. Sempat ada sedikit perdebatan antara Oma dengan Ayah dan Ibuku menjelang kelahiranku. Ayah dan Ibu memilih untuk menjalani proses persalinan di bidan saja, namun Oma menepis keinginan mereka, apalagi Oma mengerti bahwa tensi ibuku cenderung tinggi. Lari ke bidan mungkin bukan solusi yang benar. Oma menghendaki Ayah dan Ibu pergi ke dokter yang juga adalah kawan akrab Oma, Dokter Forris namanya. Ia adalah dokter kandungan senior di Bandung pada masa itu. Ayah dan Ibuku sempat menolak, dengan alasan biaya. Namun, Tuhan menyampaikan kemurahannya ditangan Oma. Oma berkata bahwa ia yang akan membiayai proses persalinan Ibu. Karena waktu mendesak, Ayah dan Ibuku iya-iya saja.

            Selepas tiba ditempat praktek dokter Forris, ia mengatakan bahwa harusnya aku sudah lahir satu minggu sebelum hari itu. Akhirnya dokter Forris mengambil tindakan cepat, ia menggiring Ayah, Ibu dan Oma ke tempat ia bekerja, salah satu rumah sakit ternama di Bandung, rumah sakit "Santo Borromeus". Dalam kondisi mendesak, Ayah dan Ibu tak lagi terpikir berapa biaya yang harus dikeluarkan di rumah sakit megah itu. Namun, Oma yang merupakan orang tua angkat Ayah dan Ibuku tidak tinggal diam, Oma lah yang akan menanggung semua biaya persalinan Ayah dan Ibuku.

            Ditengah kecermatannya menangani persalinan Ibu, dokter Forris mengatakan bahwa Ibu datang diwaktu yang tepat, karena jika terlambat sedikit saja, bisa dipastikan secara medis bahwa harus ada salah satu yang dikorbankan, aku atau Ibuku. Sungguh, mendebarkan sekali. Hari Jum'at, 7 Maret 2003, pukul 00.45 dini hari, tangisan pertamaku memekik keras, Ibu terkapar lemas. Meskipun harus melalui proses operasi caesar, namun kami berdua dinyatakan selamat dan sehat. Beberapa waktu berlalu, Ayah dan Ibu sempat menghidupiku di Bandung, memboyongku ke Tanjung Pinang, Kepri, lalu akhirnya menuju garis akhir perjalanan hidup kami sementara ini di Batu, Jawa Timur.

            Sedemikian berat dan luar biasanya perjalanan Ayah dan Ibu memperjuangkan hidup, dan ternyata masih ada orang-orang baik seperti Oma yang siap sedia mengorbankan tenaga, pikiran, materi, dan segala yang ia mampu untuk Ayah dan Ibu. Biaya persalinan di rumah sakit megah Santo Borromeus pada waktu itu sangat mahal dan tidak terjangkau oleh perekonomian Ayah Ibuku yang hanya berprofesi sebagai juru pijat. Biaya persalinan di rumah sakit umum kelas menengah di Bandung pada masa itu berkisar antara 3-4 juta, dan di rumah sakit Santo Borromeus biaya persalinan Ibuku mencapai angka 10 juta. Luar biasa.

            Kini, dalam gempuran hidup yang ripuh, riuh bergemuruh, kecacatan, kebutaan kedua orang tua itu seringkali dipandang tabu oleh masyarakat. Mereka mengalami banyak sekali pengalaman menjadi korban caci maki dan banyak gempuran luka mengoyak hati. Ada segelintir orang yang menganggap bahwa Ayah dan Ibuku mustahil bisa melakukan banyak hal untuk menopang masa depan, menafkahi, menghidupiku, adik dan juga ibuku. Kami sering dihina oleh banyak orang karena keadaan yang sedemikian luar biasa menyeramkan. Bahkan, Ayahku, dimasa mudanya, selepas lahirku ia sempat bekerja sebagai pengamen di KRL Jakarta-Bandung sembari terus melanjutkan profesi utamanya sebagai juru pijat. Kini, aku pun turut merasakan luar biasanya mengambil pembelajaran dari pengalaman hidup yang sebegitu keras. Aku menjadi pengamen di perkampungan daerah kota Batu dan Kabupaten Malang untuk membiayai kebutuhan transport kuliah, uang jajan, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Karena hasil kerja pijat Ayah dan Ibu seringkali tak cukup untuk membiayai aku dan adikku, juga untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

            Tidak hanya masyarakat umum. Bahkan, keluarga pun sering meragukan Ayahku untuk bisa menjadi tumpuan hidup kami sekeluarga. Menarik, manakala ada keluarga yang ternyata lambat laun bisa menjadi asing, menjadi orang lain. Ada pula orang lain yang sepersekian waktunya menjadi akrab, saling bantu dan peduli seperti keluarga sendiri. Hidup memberikan banyak sekali kejutan yang tidak pernah kita sangka datangnya. Aku hanya berharap, semoga suatu saat orang-orang yang tak punya mata hati untuk melihat kami dapat sadar dari kebutaannya. Pendidikan menjadi salah satu cara untuk dapat mengubah masa depan. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mematahkan kami. Kami tidak akan patah meski orang-orang keparat itu mencoba mematahkan kami seribu kali, kami tidak akan hancur meskipun orang-orang bangsat itu mencoba menghancurkan kami berjuta kali. hidup tanpa pemikiran dan perjuangan sepertinya percuma, sama saja tiada. Kami berpikir dan berjuang, maka dari itu kami ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun