Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujarat ; 13)
---------------------------------------------------------------------
Ayat Al-Qur’an di atas menjelaskan pada kita bahwa keberagaman adalah sebuah sifat asal manusia. Allah sengaja menciptakan keberagaman pada manusia dengan menciptakan berbagai latar belakang dengan tujuan untuk kebaikan manusia itu sendiri. Mengapa keberagaman menjadi sebuah keuntungan atau kebaikan bagi manusia? Jawabannya bisa kita temui karena sifat keterbatasan manusia itu sendiri.
Bagaimana menjelaskan ini semua?
Baiklah. Kita mulai dari pemahaman ‘keterbatasan” itu sendiri. Sifat terbatas berarti adanya ketidakmampuan manusia dalam melakukan apapun secara sempurna sendirian. Setiap orang diberkahi kemampuan indera terbatas dank has, sehingga daya tangkap setiap orang pada realitas hapir pasti tidak ada yang sempurna sama satu sama lainnya.
Atas dasar sifat ‘keterbatasan’ ini maka diperlukan peran lebih dari satu kemampuan indera manusia untuk bisa mencapai validitas kebenaran yang lebih baik atau menuju identik kesempurnaan. Semakin banyak peran inderawi manusia maka semakin baik pula validitas kebenaran yang dihasilkan. Sampai pada penjelasan ini kita akhirnya bisa menjelaskan apa yang dimaksud dengan kentungan manusia atas keberagamannya tersebut.
Lantas bagaimana menjelaskan keberagaman pada komunitas Fatinistic yang Homogen?
Jika kita berpatokan pada penjelasan di atas, sebenarnya tidak ada homogenitas dalam sebuah komunitas manusia. Yang bisa kita katakan sebagai yang homogen adalah pada konsep dasar visinya, namun pada tataran misi dan praksisnya setiap individu dalam komunitas pasti tidak ada yang sama. Secara umum komunitas Fatinistic sebagai sekumpulan orang pengagum Fatin mempunyai visi bersama yaitu mendukung kemajuan karir Fatin. Namun pada tataran misi atau prekteknya setiap individu atau sub kelompok akan memiliki perbedaan cara menjalankannya. Ada yang memilih memberitakan secara gencar berita-berita mengenai Fatin di media sosial, ada pula yang memilih menggunakan jalur kegiatan social untuk menyebarkan pengaruh komunitas Fatinistic kepada masyarakat luas, yang lainnya memilih untuk menulis, menghadiri langsung setiap konser Fatin, dsb. Namun apapun cara yang ditempuh setiap orang atau sub komunitas Fatinistic dalam komunitas besar Fatinistic tujuannya hanya satu, yaitu menjalankan visi Fatinistic tersebut di atas.
Sisi gelap dari keberagaman yang perlu kita waspadai adalah efek samping konfliknya. Semenjak manusia diciptakan memang selalu tidak pernah bisa lepas dari konflik. Dalam konteks yang kita jelaskan di sini, konflik bisa terjadi karena kurangnya informasi antara individu yang satu dengan yang lainnya atau sub komunitas yang satu dengan sub komunitas yang lainnya dalam menjalankan setiap misi Fatinistic-nya. Kekurangan informasi ini jika dipahami secara ego-subjektif maka akan menimbulakan mispersepsi (kesalahpahaman) di antara individu atau sub komunitas. Sementara itu, penyebab terhambatnya alaur informasi di antara individu dalam menjalankan misinya adalah karena kurangnya keterbukaan komunikasi atau bisa jadi karena sebab kesengajaan penguasaan informasi oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lainnya.
Oleh karena itu, sebagai salah satu individu Fatinistic, saya memandang keberagaman yang ada di fatinistic adalah sebagai sebuah kekayaan yang tak ternilai untuk kemajuan Fatin dan Fatinistic itu sendiri. Saya malah meyakini, keberagaman ini takan akan mungkin bisa dipadamkan oleh apapun, termasuk oleh sebuah konsep organisasi tunggal sekalipun.
Yang harus dilakukan oleh Fatinistic secara umum adalah bagaimana memanfaatkan keberagaman ini sebagai sebuah kekuatan untuk saling mendukung perwujudan visi bersamanya, bukan malah menciptakan konflik yang justru malah kontraproduktif dengan perkembangan Fatinistic dan Fatin itu sendiri. Cara yang terbaik adalah, pertama menciptakan keterbukaan informasi di antara individu atau sub komunitas dan menghindari penguasaan informasi oleh salah satu individu atau sub komunitas. Kedua, untuk pengurus formal harus bergerak sesuai dengan perannya yang telah ditentukan secara organisasi dan mengindari overlap tugas dan wewenang, dan. Ketiga, organisasi formal Fatinistic harus mampu berperan sebagai pengelola keberagaman Fatinistic bukan sebagai polisi yang mengarahkan pada kesatuan tindakan formal.
Semoga jaya dan selamat HUT Fatinistic yang pertama…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H