Mohon tunggu...
Jaid Brennan
Jaid Brennan Mohon Tunggu... Penulis Freelance -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pelangi Pucat Pasi, Bagian 1: Masa Kecil

18 Desember 2016   12:56 Diperbarui: 18 Desember 2016   13:25 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jaid Brennan

Pelangi Pucat Pasi

“Luka yang melampaui batas rasa sakit justru tidak akan terasa sakit"

Bagian 01.

Masa Kecil

Aku menangis kencang ketika kurasakan celanaku basah. Ibu masih sibuk dengan pekerjaannya. Dinginnya lantai menembus pori-pori kulitku, membuatku ingin terus menjerit menangis. Jeritan dari mulut kecilku akan mengundang naluri siapa pun untuk menggendong dan mengganti popokku. Tapi ibu tetap sibuk dengan pekerjannya dan masih membiarkanku kedinginan di lantai. Entah sudah berapa lama ibu baru beranjak dari mejanya menghampiririku, mengganti popok  dan menggendongku. Dan tidak berapa lama aku sudah tertidur nyaman dalam hangat pelukannya.     

 Sekarang aku sudah berumur lima tahun. Aku mulai masuk TK. Dan setiap pagi Ibu punya pekerjaan baru, mengantarku sekolah. Dan setiap kali Ibu membawaku bersama teman-teman seumurku, banyak ibu yang lain  ingin menggendongku atau mencubit kecil pipiku. Aku juga menonjol di antara teman-temanku. Katanya tubuhku montok dan putih. Mungkin karena itulah Ibu menyayangiku.Hari-hari berlalu. Ibu-ibu mulai menanyakan sesuatu yang sepertinya membuat Ibuku  kesal. Dan marah, tapi entah marah pada siapa. Mungkin juga marah padaku. Apa sebenarnya yang ditanyakan ibu-ibu itu, aku sendiri juga tidak mengerti. Yang kutahu, ibu–ibu itu selalu menanyakan begini.

“Ko, Syan tak pernah diantar Ayahnya?” Mungkin itulah kurang lebih yang ditanyakan ibu-ibu  pada Ibuku. Dan sering kulihat Ibu menunduk menyembunyikan sesuatu. Terkadang kulihat Ibu menangis sendiri. Aku tak cukup bisa memahami sebenarnya apa yang terjadi..Namun saat ada seorang laki-laki dewasa menyentuh pipiku atau menggendongku, ada sesuatu yang hilang, yang tidak aku miliki. Seorang Ayah… aku tidak memilikinya. Saat ada temanku yang menagis pada Ayahnya , aku bingung tak mengerti. Kenapa aku tidak memilikinya? Saat kutanya pada Ibu, ia  bilang Ayah ada di surga, di antara awan-awan. Aku semakin tak mengerti dengan apa yang di katakan Ibu padaku. Aku tak mengerti kenapa Ayah berada di surga. 

Tapi ketika aku berusia sembilan tahun, ketika aku mulai melakukan kenakalan-kenakalan kecil, ketika aku mulai merengek minta mainan pada Ibu, ia mengatakan kalau aku nakal seperti Ayahku. Tapi kata Ibu, Ayahku ada di surga. Mungkinkah orang yang nakal bisa berada di surga, pikirku waktu itu. Dan saat aku mulai beranjak remaja, ketika aku mulai masuk SMP, Ibu bilang Ayah meninggal sebulan sebelum aku lahir. Aku tak mengerti apa yang sebenarnya  terjadi dengan diriku. 

Kenapa aku tidak seperti teman-temanku yang memiliki seorang laki-laki dewasa, tempatku mengadu dan berlindung. Dan saat itu kurasakan aku mengalami deskriminasi. Entah kenapa semua orang seperti ingin muntah saat melihatku dan mengatakan kata-kata yang tidak semestinya mereka mengatakan, bahwa aku  anak haram. Bahkan ada sebagian teman-temanku yang bersikap kasar padaku dengan melempariku dengan batu. Aku sangat tertekan dengan keadaan ini. Aku jadi tidak percaya diri, tidak seperti mereka. Aku cenderung menutup diri, dan menarik diri dari pergaulan luar. (Bersambung )

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun