Bagian 7
Kakek dan Cucu
Menemani Bapak angkatku sudah menjadi rutinitasku. Seperti biasa aku hanya diam. Aku takberani meliriknya apalagi melihatnya. Kudengar ia sedang bicara dengan seseorang di handphone.
“ Anak itusakit, kenapa dia dibawa ke sana!!” ucapnya kencang. Seperti biasa dia bicarakeras. Hidupnya adalah ketegasan. Apa yang ia mau, sekali itu harus dituruti.Itulah dia. Rupanya Pak Susastio sedang bicara dengan Mas Bima, anaknya, yangtelah membawa cucu kesayangannya pulang. Alit adalah nama cucu kesayangannya.Pak Susastio hanya akan bisa tersenyum kalau ada Alit di sampingnya.
Pak Susastiosangat mengasihi Alit. Segala kemarahannya akan luluh jika ia bersama Alit. Akupernah melihat Alit mendekati kakeknya yang sedang sakit pinggang. Sang kakekmenggenggam tangan kecil Alit dalamgenggamannya dan mereka berjalan bersama. Setiap kali Pak Susastio ingin marahpada orang-orang di sekitarnya , Alit selalu menirukannya, hingga Pak Susastioharus berpikir dua kali untuk marah-marah. Dan saat si kecil menirukan tingkahlakunya, ia tertawa-tawa. Dalam hati aku ikut bahagia menyaksikan kakek dancucu yang usianya terbentang jauh itu. Yang satu hampir menghabiskan seluruhhidupnya, dan satunya lagi baru memulai hidupnya. Saat berjalan aku bisa melihat kesamaan di antara mereka . Walau Pak Susastio bisa berjalan lebih cepat tapi pada saat dia sakit pinggang langkahnya tidak lebih dari si Alitkecil.
Sebagai kakekdan cucu mereka memiliki hubungan yang unik. Saat mereka berjalan bersama, mereka seperti sama. Berjalan tertatih dan sepertinya Alit kecil dapatmerasakan sakit pinggang si kakek. Hal ini mengajarkanku bahwa orang yang sakittidak perlu apa pun kecuali seseorang yang dapat ikut merasakan penderitaanyang di deritanya.
Aku sudah beradadi mobil bersama Bapak angkatku dan mba Larasati yang duduk
di belakang. Sepanjang perjalanan mba Larasati dan Pak Susastiomembicarakan Alit cucunya. Dan setiapkali bicara mba Larasati selalu dipojokkan. Coba bayangkan, betapa besarnyarasa sayang kakek ini pada cucunya. Meskipun kadang ia seperti singa bagiorang–orang di rumah itu. Tapi ia bisa jadi lembut kalau bersama Alit.
“Syan...”katanya.
“Iya, Pak.”
“Apa jadinyakalau anak kecil sakit parah terus di bawa jalan–jalan? Atau sakitnya bisasembuh atau malah lebih parah?” Aku diam tidak berani menjawab.
“Ayojawab,” bentakknya. Kulirik mba Larasatimemastikan bahwa aku boleh menjawab pertanyaannya.
“Sembuh, Pak.Mudah-mudahan Alit bisa sembuh.”
“Bodoh,bagaimana bisa sembuh kalau anak kecil diajak jalan-jalan”. Aku gelagapanantara menjaga perasaan mba Larasati dan menjawab pertanyaan Bapak angkatku.
“Jawab yangbenar”.
“Parah… Sakitnyabisa jadi parah kalau diajak jalan-jalan. Kulirik mba Larasati. Matanyaterlihat sembab, ia menangis, mungkin juga terluka.
“Sekarang jawablagi!!”
“Kalau sakitbisa jadi parah Pak, kalau anak
kecil diajak jalan-jalan.”
“Sekarang jawablagi, kalau sakitnya parah dan tidak sembuh apa yang akan terjadi?” Aku diam.Untuk kali ini aku tidak bisa menjawab pertanyaan Bapak angkatku. Aku tak inginmelukai mba Larasati untuk kedua kalinya. Namun dengan seketika Pak Susastiomenginjak remnya dan mobil itu mendadak berhenti.
“Jawab!!”,bentaknya. Kembali kulirik mba Larasati. Aku tahu ia terluka.
“Jawab saja,Syan.” Ucap mba Larasati lirih.
“Kalau sakittidak sembuh…” Aku tidak bisa meneruskan ucapanku.
“Teruskan....” Desak Pak Susastio.
“Kalau tidaksembuh bisa meninggal Pak” jawabku pelan.
“Kamu laki-laki.Kalau jawab yang keras!!!.”
“Bisa meninggalPak”, kujawab lagi sedikit
lebih keras ditelingannya.
“Mati, kan bisamati”, ucap Pak Susastio emosi, sementara aku tidak berani melirik mba Larasati.Aku tahu hatinya pasti sangat sedih dengan apa yang didengarnya. (JB) - Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H