Mohon tunggu...
Jahzi Syifa Azzahra
Jahzi Syifa Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - i`am an explorer

do your best and never stop trying

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

FOMO vs JOMO: Mengubah Ketakutan Menjadi Kegembiraan Ketertinggalan

18 Juli 2024   10:00 Diperbarui: 18 Juli 2024   10:02 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dewasa ini, generasi muda seringkali mengalami perasaan takut ketertinggalan. Mulai dari ketertinggalan akan fashion serta mengikuti suatu tren yang berada di media sosial. Tak sedikit apabila generasi muda tidak melakukan suatu tren akan merasa “tidak gaul” dan di cap “ketinggalan”. Atas fenomena tersebut, disebut sebagai Fear of Missing Out (FOMO). FOMO adalah perasaan cemas atau takut yang dirasakan seseorang karena khawatir akan melewatkan pengalaman, kesempatan, atau informasi yang dianggap penting atau menarik yang sedang dialami atau diikuti oleh orang lain. Namun, di tengah munculnya fenomena FOMO, muncul konsep yang berlawanan yang dikenal sebagai Joy of Missing Out (JOMO). Berkebalikan dengan FOMO, JOMO ialah perasaan kepuasan dan kebahagiaan yang timbul dari memilih untuk melewatkan beberapa pengalaman, menikmati momen yang ada, serta hidup dalam ketenangan.

Gejala FOMO timbul seiring berkembangnya sosial media di masyarakat. Ketika seseorang melihat postingan teman-teman mereka yang sedang bersenang-senang, menghadiri acara, atau menikmati pengalaman baru, timbul rasa cemas dan takut bahwa mereka sedang ketinggalan sesuatu yang penting. FOMO sering kali diperparah oleh algoritma media sosial yang menampilkan highlights kehidupan orang lain, menciptakan ilusi bahwa hidup orang lain selalu lebih menarik dan penuh petualangan. Akibatnya, banyak orang merasa tertekan, stres, bahkan insecure dengan kehidupan mereka sendiri. Parahnya lagi, dalam menjalani hidup, mereka sering merasa kurang bersyukur atas hal yang mereka alami. Sebenarnya, jika seseorang FOMO terhadap hal yang positif akan memberikan dampak baik bagi kehidupannya. Misalnya, seseorang FOMO terhadap pencapaian temannya sehingga ia terinspirasi untuk menjadi yang terbaik seperti hal yang dilakukan oleh temannya tersebut.

Namun, tidak semua dampak FOMO bersifat positif. Banyak yang justru mengalami penurunan kesejahteraan mental karena terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain dan merasa tidak pernah cukup. Di sinilah konsep Joy of Missing Out (JOMO) dapat memberikan solusi yang menenangkan. JOMO mendorong individu untuk menghargai momen-momen pribadi, menikmati kesederhanaan, dan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal yang tidak melibatkan persaingan sosial.

Dengan menerapkan JOMO, seseorang dapat memfokuskan energi pada apa yang benar-benar penting bagi dirinya, tanpa harus merasa tertekan oleh apa yang terjadi di luar sana. JOMO mengajarkan bahwa tidak masalah untuk ketinggalan acara sosial atau tren terbaru jika itu berarti kita dapat menikmati waktu berkualitas untuk diri sendiri, memperkuat hubungan pribadi, dan mengejar passion tanpa gangguan. Pada akhirnya, JOMO membantu kita untuk lebih bersyukur atas apa yang kita miliki dan lebih hadir dalam kehidupan kita sehari-hari, yang secara signifikan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kepuasan hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun