Mohon tunggu...
Yanto Asyatibie
Yanto Asyatibie Mohon Tunggu... -

saya muslim garis bulat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru?!! Sarjana Dengan Kuliah Satu Tahun!

10 Februari 2011   17:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:43 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lama saya berpikir dan merenungi sekata dibalik kata guru, dulu ketika saya duduk di sekolah dasar (SD) guru menuturkan arti dari sinonim GURU kata guruku yang saat itu Cuma berijazah Madrasah Tsanawiyah berapi-api menerangkan dan menyanjung pengertian Guru kata beliau yang dengan bahasa Indonesia yang sangat pas-pasan “GuRu teh adalah singkatan dari Digugu dan ditiru, digugu artinya, dituruti nasehat-nasehatNya dan ditiru karena guru adalah posisi yang sangat terhormat, jadi kalian harus menjadi Guru”. Imajinasi masa kecilku langsung meresfon dengan baik sangat luhur derajat guru dengan kalimat DIGUGU DAN DITIRU.

Dalam pikirku kelak setelah besar nanti aku bercita-cita ingin menjadi seorang guru,terus terang saya terhifnotis dengan kata-kata guruku itu, terus terang tak saya sadari pada saat itu guruku sangat jarang mengganti baju safarinya paling-paling dalam satu minggu hanya dua baju pormil yang ia pakai, baju safari yang berkancing besar-besar dengan benang yang berbeda-beda kerena sudah beberapa kali kancing itu copot dari bajunya, mungkin sudah beberapa kali sang istri mendaur ulang kancing baju milik suaminya itu dipakai dari hari senin sampai hari rabu dan untuk hari kamis sampai sabtu guruku memakai batik yang kalau dilihat sangat standar harganya dengan motif burung merak yang kepala burung meraknya terpaksa hilang karenamungkin si tukang jahit bingungung bahan1,5 meter harus dibagi sekaligus dengan baju batik anaknya yang tak mampu dibelikan baju Batman yang banyak dipakai oleh teman-teman seusianya, terpaksa kepala burung merak singgah dibaju anaknya bahkan tak jarang baju pusakanya itu sering nonghol ketika ada acara kendurian di desa ku, dan aku juga persis tahu bahwa sepatu KNIP guruku sudah tiga kali lebaran tak pernah ada revolusi bahkan hanya direformasi sedikitpun. Cuma benag-benabg sol yang bertebaran persis bangsat (Tumila Ceuk sunda mah)yang sedang bertelur. Alangkah sederhana sekali guruku itu apakah karena sesederhana itu atau memang gaji yang ia dapatkan tak sebanding dengan keringat dan semangat mendedikasikan dirinya untuk mencerdaskan anak bangsa beliau tak pernah bercerita tentang pendapatan yang Ia dapatkan untuk memenuhi kehidupan anak dan istrinya karena mungkin kalau pun ia ceritakan tak satu pun murid yang bercita-cita seperti beliau. Tapi sungguh aku sangat kagum dengan semangat ’45 yang beliu persembahkan buat anak muridnya. Tutur kata yang tajam menghujam sanubari ku sorot mata penuh dengan kasih sayang ,terpancar merambah pada sendi-sendi setiap sudut indra keenam ku, sungguh sanpai saat ini aku masih ingat betul deru debu metodik didaktik walaupun tanpa RPP dan Silabus ditambah KKM dan kalender pendidikan. Bahkan sebenarnya GHBP menganut buku cetakan tahun 70an yang sudah tanpa jilid dan daftar isi.

saudaraKu, kuat ,lengket ,dan melekat ,barisan kata-kata pendidik yang tanpa pamrih jauh dari jasa yang ia terima tanpa ada iming –iming Fungsionaldan sertifikasi guru apalagi gaji ke 13 yang itu hanya untuk guru2 yang ber SK PNS yang terhormat, walaupun menjadi PNS nya banyak dengan cara yang sangat tidak terhormat. Ternyata guru sebagai pendidik tak terlalu mesti belajar dari teori dan angka-angka pasti, karena angka pasti sangat gampang untuk dimanipulasi apalagi ukuran keberhasilan dinilai dengan Passing Great, dan standar rata-rata nilai UN yang sangat tidak mewakili penilaian Karakter dasar keberhasilan pendidikan di Negritercinta ini. Tapi inilah sebuah system yang tak bisa ditolak,pendidikan dikebiri dengan target angka pasti, seringkali saat ini guru sering kerja lembur sampai pagi untuk mencari up-date informasidan siswa –siswi defresi karena guru belum memberikan surat sakti sampai pagi. Ironis tragis, pesimis sampai kadang meringis, 20% harta benda kita dalam satu tahun dipakai untuk pendidikan dengan teori Hidung, kemana hidung mengendus arah kebijakan system pendidikan Nasional berubah 180 derajat tak aneh ganti menteri akan ganti kebijakan.

Sahabat ku, aneh bin ajaib guruku yang bersahaja ,guruku yang selalu siap tempur walaupun ditengah serba keterbatasan Sembilan bahan pokok, yang telah menelurkan banyak generasi potensial bangsa ini yang memberikaninfestasitak ternilai, yang memberikan sentuhan budi pekerti luhur, yang menjadikan aku menggebu-gebu ingin menjadi seperti beliau yang digugu dan ditiru, kini nasibnya menjadi tragis terhempas peradaban yang tanpa melihat jasa , kembali lagi system yang membelenggu laksana Imperialisme yang menggurita. Padahal para pendiri bangsa kita telah mengamanatkan kepada para pewarisnya Indonesia bukan Negara yang condong imperialisme barat dan tidak condong pada Sosilalis Komunis titik tanpa koma. (NONBLOCK) pahlawan baju safari dan batik burung merak yang merupakan baju kebesarannya tak mampu mengangkat dari tahta sudera dalam hidupnya, bahkan terus tererosidengan kualifikasi nilai pasti, ijazah yang ia laminating dan diframe pigura bambu tak lebih berartidaripada keretas bekas yang dijadikan bungkus terasi diwarung kecil. Bayangkan sebuah moderenisasipendidikan, dituntut untuk menempuh pendidikan serba instan. Sertifikasi guru dituntut untuk S1 sehingga guru yang belum pernah belajar SKS pun berlomba dengan SKSyangpunya arti konyol ( Sarjana dengan Kuliah hanya Satu tahun) portopolio pun menjadi lading bisnis sehingga scannerpun menjadi alat yang tak henti memodifikasi sertifikat bodong. Guruku tak pernah diajak untukmenikmati Liberalisasi pendidikan walaupun 3 dasawarsa ia abdikan dirinya untuk mencerdaskan anak bangsa, tak seorangpun anak didiknya yang kini telah menjadi para petugas bangsa yang mempunyai kekuasaan menentukan arah kebijakan Negara, tak mau melihat nasib guru yang telah mengantarkan mereka pada posisi yang terhormat. Nasibnya kini lebih rendah dari tahta sudera karena tak ada huruf S. diujung namanya., tak lagi mampu bersaing dengan para sarjana yang miskin pengalaman dan tanpa jasa hanya bermodalkan huruf S diujung nama mereka.

Sekarang aku mesti menakar ulang arti guru pada era sekarang ini mari kita Gugu nasihat guru tapi jangan sekali kita tiru Nasib mereka pahlawan kita. Karena kita terlahir sebagai The Winner bukan The Losser.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun