Mohon tunggu...
Jajang Hartono
Jajang Hartono Mohon Tunggu... karyawan swasta -

JAHAR akronim dari Jajang Hartono | Suka Ngeblog, Musik, Buku, dan Film |\r\nhttp://kang-jahar.blogspot.com/ | http://ja-har.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dakwah Bil Pamplet

29 April 2013   19:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:24 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1367237670263826387

Inilah salah satu bentuk jawaban Allah atas nadzar ketika saya sakit parah sewaktu sekolah MA . Saya berjanji kalau seandainya diberikan kesembuhan, saya tidak akan menyia-nyiakan umur yang Allah berikan itu. Saya berjanji akan menjadi bagian dari perjuangan mengembalikan kegemilangan Islam di muka bumi. Saya terinspirasi dari pelajara SKI yang diajarkan di MTs dan MA. Di pelajaran tersebut begitu gamblang dijelaskan era kegemilangan Islam yang membuat dunia tercengang. Karena kegemilangannya itu, Islam menjadi inspirasi dan menjadi jantung peradaban dunia. Uniknya Islam mampu menghadirkan nuansa baru kebudayaan khas regional seperti Indonesia, India, Pesia, Andalusia. Dahsyatnya kebudayaan-kebudayaan yang beragam itu berhasil terhimpun dalam satu gugusan daulah Islam. Dan mulailah saya menunaikan janji saya. kuliah semester pertama, teman sejurusan menawari saya untuk ikut kajian Islam. Tanpa pikir panjang saya langung mengiyakan. Saya memang sangat merindukan kajian itu karena sewaktu di MA saya hanya membaca booklet, buletin, dan selebaran, atau sesekali ikut training. Sewaktu MA, aktivis pejuang syariah dan khilafah belum sampai ke sekolah saya. Tapi saya pernah bertemu dan berdiskusi dengan seorang kenalan yang sudah mulai mengaji kitab-kitabnya. Teman jurusan saya, Mumtaza (nama samaran) membawa saya ke sebuah masjid kecil yang terletak di pinggir sebuah pool bus. Di mushala kecil itu, para aktivis dakwah kampus berdiskusi dan merancang strategi. Di situ pula saya mulai mengkaji pemikiran Islam yang murni tak terkotori. Para aktivis itu tergabung dalam sebuah wadah bernama LSPI (Lembaga Studi Politik Islam) UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Dinamika organisasinya tidak jauh berbeda dengan organisasi lain di kampus. *** Dakwah merupakan aktivitas yang mulia. Bahkan dakwah seharusnya menjadi jantung dari setiap aktivitas seorang muslim. Terlebih lagi seorang mahasiswa yang digelari sebagai aktivis dakwah (hamlud da’wah). Namun ada kalanya aktivitas mulia yang satu ini mengalami pasang surut dalam diri seseorang dan juga organisasi dimana para aktivis dakwah itu beraksi dan merancang strategi. Demikian halnya pula dengan organisasi dakwah di kampus yang saya ikuti. Kami mengalami berbagai kendala dalam organisasi, salah satunya adalah komitmen teman-teman. Banyak diantara teman-teman yang berpersepsi dalam mengerjakan amanah organisasi yang kurang. Meskipun sudah dibagi-bagi berdasarkan penilaian kapasitas masing, namun dalam eksekusinya sering mengalami kendala. Masing-masing dari kami punya alasan untuk menyedikitkan kontribusi dengan dalih bentrok kuliah, pulang kampung, kerja sampingan, dan berbagai alasan lain. Sikap dan alasan itu seolah mengatakan, ini tugas kamu, itu tugas kamu, dan semuanya bukan tugas saya, saya sibuk. Masing-masing dari kami memang punya kelebihan dan kekurangan. Kelebihan itu adalah asset organisasi. Sementara kekurangan itu bisa jadi penghambat gerak organisasi. Saya terkesan dengan semangat yang tinggi dari seorang Mumtaza. Meskipun penampilan dia, tidak menampakkan seorang aktivis muslim yang alim, namun dia kuat memegang prinsip. Itu telah melecut semangat saya yang kadang patah hanya karena mengalami keterbatasan materi (finansial). Saya pikir itu bisa menjadi kolaborasi dakwah untuk menambal kekurangan dan melejitkan gaung dakwah. Satu dari sekian program yang sangat jelas terlihat adalah dalam menyebarkan pamplet dwimingguan. Yang mengurusi masalah itu hanya orang-orang itu saja, yaitu Mumtaza yang menjabat sekretaris. Sementara yang lain acuh seakan tidak mau tau tidak peduli mau berjalan apa tidak. Padahal dakwah lewat media ini menjadi salah satu pengokoh akan eksistensi organisasi di kampus. Dengan pamplet itu minimal organisasi dakwah ini terlihat geraknya yang rutin. Tugas membuat pamplet propaganda ini ini awalnya dikerjakan oleh ketua lama dibantu Mumtaza. Ketika berganti kepengurusan, tidak diketahui alasannya bagaimana, ketua yang baru jarang datang ke sekretariat, sehingga yang lebih berperan besar malah Mumtaza, lagi-lagi Mumtaza. Saya tidak tega dia bergerak sendiri, dan saya pun merasa sungguh tidak bertanggung jawab apabila tidak terjun dan memberikan kontribusi. Saya pun membantu sebisa saya. Waktu itu saya diamanahi sebagai bendahara. Dia membuat desain pamplet itu, sementara untuk redaksi kalimatnya sesekali saya berkomentar dan memberi masukan. Semuanya di kerjakan Mumtaza dari A-Z, dari desain hingga memfotokopi, bahkan hingga menempel-nempel di mading-mading fakulktas. Saya tahu betul keadaan kas organisasi. Anggaran untuk membuat pamplet itu sering kurang. Untuk mengatasi hal itu, lagi-lagi Mumtaza mengeluarkan uang miliknya sendiri. Saya sangat iri padanya. Tiap orang memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan Mumtaza, dia terpacu untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan ketika deadline pekerjaan itu nyaris habis. Dia menggunakan prinsip the power of kepepet. Itu memang memiliki kekurangan dan kelebihan. Sementara saya berprinsip bahwa sebuah pekerjaan itu dikerjakan di awal-awal. Syukur-syukur ketika deadline habis kita sudah bersantai ria. Terkadang ini menjadi perdebatan kami. Suatu ketika deadline itu habis. Setelah menggerutu padanya, saya mencoba berpositif thinking saja, barangkali dia banyak tugas-tugas kuliah. Ingin sekali saya mengambil alih tugas dan kewajiban dakwah itu, tetapi sayang saya tidak memiliki kemampuan desain grafis. Pamplet propaganda dakwah itu harus dibuat secara profesional agar terlihat lebih elegan. Saya berharap pamplet itu sudah di tempel bakda Isya. Namun kenyataannya bakda isya itu baru finishing. Dan beresnya jam 9-an. Saya tidak berkomentar apa pun. Malu saya. kalau dibandingkan saya dengan dia, dari kontribusi waktu hingga dana dia lebih banyak ketimbang saya. Saya hanya memperhatikan dan menemani dia di depan komputernya. Di atas jam sembilan kami mulai bergerak. Master pamplet itu kami fotocopi di kertas warna coklat. Pamplet itu diberi tagline !nterupsi dalam setiap kali terbit. Kami mencari sebuah fotocopian. Wah, ternyata mayoritas tempat fotocopian sudah hampir semua tutup. Aku sempat cemas. Kalau tidak bisa difotokopi sekarang masa harus ditunda sampai besok, padahal waktu ke depan masih ada agenda lain sekaligus juga disibukkan dengan kegiatan kuliah. Kami tidak putus asa. Kami terus mencoba mencari fotokopian yang masih buka. Ada yang masih buka, tapi sayang mesin fotocopinya sudah dimatikan. Mereka tidak berniat untuk menyalakan lagi kecuali besok pagi. Aku makin cemas. Ada pikiran untuk menyalahkan rekan dakwahku. Tapi buat apa disalahkan, aku menghujat diriku, memangnya kontribusi sebesar apa hingga seenaknya menyalahkan orang. Kami terus mencoba. Akhirnya ketemua juga dengan foto kopi yang berjodoh dengan kami. Kami fotocopi pamplet itu kurang lebih lima puluh eksemplar. Aku membayangkan ketika, pagi para mahasiswa kampus membaca pamplet kami yang ditulis dengan font yang besar. Aku membayangkan mereka membacanya, setelah itu menjadi kesadaran bagi mereka bahwa ada tugas mereka tidak sekadar kuliah, tetapi mereka pun tanggung jawab untuk memberikan perubahan pada nasib negeri ini yang semakin tidak menentu, juga pada nasib dunia yang berada diambang kehancuran akibat kejahatan sebuah ideologi setan bernama kapitalisme. Aku melihat waktu di hape. Sudah setengah dua belas malam. Fotocopi masih berlangsung. Ada kendala yang dihadapi. Ukuran pamplet itu menggunakan A3. Dan kertasnya pun bukan kertas HVS. Beberapa lembar gagal. Ada yang terlalu buram. Akhirnya kelar juga. Kami mulai beraksi. Kami mulai memburu mading-mading fakultas. Satu demi satu kami eskekusi. Bagian belakang pamplet itu saya lumuri dengan lem kayu. Teman saya yang menempelnya di mading. Terkadang kami bergantian tugas itu. Malam semakin dingin. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas lebih. Kampus terlihat sepi, hanya ada satu dua orang yang lewat. Kami terus beraksi ke area kampus lebih dalam menempel pamplet-pamplet di mading jurusan dan fakultas hingga lembaran itu habis tak tersisa. Ketika lembaran itu sudah tidak ada di tanganku dan tangan teman saya, terasa lega hati saya. Ada rasa nikmatnya terjun dalam dunia pergerakan, dengan segala dinamikanya. Aku merasa menjadi manusia yang beruntung karena telah bersentuhan dengan dunia dakwah. Aku bersyukur menjadi mahasiswa yang tidak individualis yang berkutat hanya pada mata kuliah, dosen, dan ujian. Aku bersyukur karena lebih dari itu aku menjadi bagian kecil dari sebuah pergerakan besar di seluruh dunia yang konsisten ingin mengembalikan denyut peradaban Islam yang mulia nan cemerlang.Kisah ini tergabung dalami Antologi Kisah: Ideal Is Me (Diterbitkan Wadi Press/Dakwahkampus.com) Untuk Kisah-kisah lainnya, dapatkan bukunya di Gramedia Online http://gramediaonline.com/moreinfo.cfm?Product_ID=857087&CFID=160329316&CFTOKEN=17366520

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun