Mohon tunggu...
Jajang Hartono
Jajang Hartono Mohon Tunggu... karyawan swasta -

JAHAR akronim dari Jajang Hartono | Suka Ngeblog, Musik, Buku, dan Film |\r\nhttp://kang-jahar.blogspot.com/ | http://ja-har.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Money

Gas Merakyat Idaman Masyarakat

16 September 2014   15:26 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:33 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: bisnis.com

[caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="Sumber Gambar: bisnis.com"][/caption] Siapapun tentu berharap hidup di negeri Indonesia yang kekayaan alamnya melimpah ruah ini sejahtera, berkecukupan dan tidak didera berbagai kenaikan harga barang, termasuk kenaikan gas elpiji yang merupakan bagian dari kebutuhan primer kita. Apalagi setelah posisi energi gas sangat vital setelah dikonversinya minyak tanah menjadi gas elpiji pada masa pemerintahan SBY-JK. Tentu sangat logis dan wajar, jika masyarakat terutama kalangan wong cillik berharap harga BBM dan elpiji tetap stabil dan terjangkau karena Indonesia memiliki sumur-sumur migas yang melimpah, bahkan jika pengelolaannya prorakyat dan  hanya berorientasi pada kepentingan melayani dan mensejahterakan rakyat, kita akan menjadi bangsa yang amat kaya dengan kelimpahan berbagai sumber daya alamnya. Sayangnya, keberlimpahan itu tidak diimbangi dengan sumber daya manusia yang ada. Juga sangat disayangkan sumber daya manusia di negeri ini belum mempunyai keinginan penuh untuk mengelola semua kekayaan itu hanya dengan orientasi dari, oleh, dan untuk rakyat. Padahal semboyan ini begitu menggaung dalam konsep pemerintahan demokrasi yang dipakai di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Namun semboyan tinggal semboyan. Dalam prakteknya, seperti halnya mayoritas negara demokrasi, semboyan itu kini bermetamorfosa menjadi semangat dari, oleh, dan untuk korporasi. Neoliberal: No Subsidi! Dalam kapitalisme neoliberal, rakyat diposisikan bukan sebagai pihak yang harus dilayani, melainkan sebagai konsumen yang membeli. Rakyat diberikan kebebasan (freedom) untuk berjuang memenuhi kebutuhannya sendiri. Karena paradigma kebebasan juga, pada saat yang sama pemerintah juga memberikan kesempatan yang sebebas-bebasnya kepada pihak swasta untuk turut andil mengelola sektor-sektor strategis, termasuk diantaranya sektor energi migas. Sebenarnya masih ada aliran kapitalisme yang prosubsidi yang berkembang di era 1930-an. Pandangan ini kemudian dinamakan kapitalisme mazhab Keynesian. Pandangan ini didasarkan pada pendapat John Maynard Keynes (1883-1946). Keynes berpandangan bahwa pemerintah harus turut intervensi. Dalam bukunya Theory of Empolyment (1936). dia menentang paham ekonomi klasik yang berpandangan bahwa pasar bebas akan selalu mampu memecahkan persoalannya sendiri tanpa memerlukan intervensi pemerintah. Namun popularitasnya berkurang pada 1973 dikarenakan harga minyak naik dan pandangan Keynesian tidak mampu memecahkan permasalahan yang melanda Eropa, yaitu stagflasi (pengangguran) dan inflasi (kenaikan harga). Dalam upaya mencari solusi yang tidak terselesaikan oleh aliran Keynesian, kapitalisme neoliberal yang dipelopori Friedrich Hayek dan Milton Friedman. Neoliberal sebenarnya tidak jauh berbeda dengan paham liberal klasik. Hanya saja neoliberal memodifikasi pandangan liberal klasik sehingga terkesan lebih modern. Momentum aliran baru ini saat naiknya Margaret Thatcher sebagai PM Inggris (1979) dan Ronald Reagen sebagai presiden As (1981). Aliran ini kemudian terus dijalankan hingga sekarang yang idenya di terapkan hampir di semua negara di dunia. Belum Ada Orientasi Melayani Rakyat Masalah kenaikan harga gas elpiji bagi rakyat awam tidak terlalu penting kewenangan itu ada berada pada siapa apakah pemerintah atau korporat (baca: Pertamina). Jika ada pendapat bahwa menaikkan elpiji adalah wewenang pertamina, rasa alasan tersebut agak janggal dan kurang logis. Masalahnya pertamina merupakan BUMN yang levelnya berada di bawah pemerintah. Tentu saja pemerintah punya wewenang yang  lebih besar untuk membuat kebijakan yang dirasa adil dan mengakomodasi kepentingan rakyat banyak. Jika mau jujur, berbagai kenaikan harga barang maupun jasa, termasuk kenaikan gas elpiji berdampak kepada semua kalangan tanpa membedakan kelas menengah atau bawah. Bisa dipastikan kenaikan ini menimbulkan inflasi dan gulung tikarnya Usaha Kecil-Menengah. Pasar akan memburu elipiji 3 kilo. Sesuai hukum pasar dalam kapitalisme, jika permintaan gas elpiji subsidi 3 kg meningkat, tidak menutup kemungkinan gas elpiji 3 kg pun akan dinaikkan. Boleh jadi karena pamerintah mencabut subsidi gas elpiji adalah amanat bank dunia, maka kenaikan elpiji 3 kg adalah tahapan berikutnya, hanya masalah timing atau momentumnya saja. Dalam Loi IMF (Januari 2000), ada mandat kepada pemerintah untuk  mencabut berbagai subsidi. Pencabutan subsidi ini menjadi bagian dari sayarat pemberian Utang (Indonesia Country Assistance Strategy, World Bank, 2001). Ada baiknya pemerintah melakukan refleksi untuk merubah paradigmanya dalam memosisikan rakyat. Selama ini, pemerintah terkesan memosisikan diri terhadap rakyat seperti korporat terhadap konsumen. Inilah gambaran dari sistem pemerintahan kita yang mengadopsi sistem pemerintahan di Eropa yang semakin ke sini semakin menuju pada pemerintahan demokratis-liberal. Bahkan bukan rahasia umum lagi semua produk-produk undang-undang yang dibuat hampir dipastikan semua berpihak pada korporat asing. Itulah ciri khas pemerintahan neoliberal. Kenapa bisa naik dan Pertamina terus merugi? Persoalan kenaikan harga gas elpiji dan kondisi BUMN Pertamina yang terus merugi sebetulnya tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dalam mengelola sektor migas. Negeri ini bukan tidak mempunyai sumber gas alam, akan tetapi tata kelolanya yang masih sangat jauh dari cita-cita ideal Indonesia yang mampu menyejahterakan rakyat. Bagaimana rakyat bisa sejahtera jika berbagai subsidi satu persatu dicabut, mulai dari BBM, Listrik, gas, dan sebagainya. Ironisnya, pada saat pemerintah merasa APBN terbebani dengan subsidi, mengapa pemerintah tidak merasa rugi dengan memberikan ‘subsidi’ kepada perusahaan asing. Fakta menunjukkan bahwa pemerintah menjual gas jauh di bawah harga pasar internasional. Gas yang dijual tersebut antara lain sebagai berikut. Gas Blok Tangguh dijual pemerintahan Megawati ke Cina melalui kontrak 25 tahun dengan harga US$ 2,7 per MMBTU dan naik menjadi US$ 3,5 per MMBTU, padahal harga internasional waktu itu antara US$ 15-18 (Tribunnews.com 12/3). Harga jual yang sangat murah bukan? Dengan kata lain Megawati sudah memberikan subsidi gas ke Cina sebesar sekira US$ 12 per MMBTU gas.  Harga jual gas Tangguh ke Korea sebesar US$ 4,1 per MMBTU. Begitu juga penjualan gas Tangguh ke Jepang dan AS jauh di bawah harga pasar internasional. Ironisnya juga, Pertamina masih mengimpor bahan baku Gas (LNG/Gas alam Cair).  Padahal kita punya tambang gas terbesar di Provinsi Sumatera Utara dan Lhokseumawe yang dikelola PT Arun LNG yang pada tahun 1990 merupakan perusahaan terbesar di Indonesia dan dunia. Perusahaan ini juga termasuk perusahaan penyumbang devisa terbesar di Lhokseumawe dan Indonesia. Daerah lain yang terbilang kaya akan minyak dan gas adalah Pulau Natuna. Kandugan migasnya terbesar di Asia Pasifik. Bisakah Gas Elpiji Tetap Merakyat? Tidak ada yang tidak mungkin. Harga gas yang merakyat adalah idaman masyarakat. Harga gas elpiji dan BBM tetap bisa merakyat (baca: tetap disubsidi Pemerintah) dengan syarat dikelola dengan pengolaan yang adil dan pro rakyat. Semuanya bermuara pada kemauan pemerintah melakukan tata kelola yang baik sehingga bisa menasionaliasi semua sektor migas sehingga asing tidak menguasai kekayaan alam Indonesia.  Sektor migas sedari industri hilirnya sebaiknya dibenahi. Kontrak-kontrak yang dianggap merugikan negara harus segera diselesaikan. Harus ada iktikad baik dari pemerintah untuk menasionalisasi semua kekayaan migas Indonesia. Sering mendengar sebagian di antara kita beralasan, jika dikelola sendiri, SDM kita yang kurang menguasai teknologi. Jika alasannya seperti itu apakah bisa dibenarkan jika semua kekayaan kita tergadai? Padahal jika kita kita bisa mendatangkan SDM dari luar negeri dengan membayar jasa profesional mereka. Bukan dengan cara menyerahkan kekayaan kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun