Kalau kita menelisik semua pemberitaan dan analisis tentang TNI, dua hal yang tampak di depan mata adalah kekurangan alutsista dan kekurangsejahteraan anggotanya. Padahal kalau dilihat dari sisi kualitas tempur prajurit TNI di regional ini, TNI selalu ada dalam ranking utama. Artinya kualitas prajurit yang begitu prima kok berbanding terbalik dengan kesejahteraan dan kesenjataan. Jadinya gimana dong, terus yang salah siapa dong ?
Kita langsung saja tuding tanpa tedeng aling-aling bahwa yang salah adalah anggaran dan mbahnya anggaran adalah political will dari government. Tapi kalau political will ditanya jawabnya juga sederhana, mendahulukan pembangunan ekonomi. Kecuali pada era Orde Lama maka hantu yang bernama anggaran itu selalu menjadi lagu hit sepanjang empat dekade, pada setiap rezim yang berkuasa untuk memastikan bahwa modernisasi alutsista TNI dan kesejahteraan prajuritnya menjadi sebuah kosa kata berbalas pantun :
Karena keterbatasan anggaran, maka kondisi alutsista menjadi renta
Karena keterbatasan anggaran, maka kesejahteraan prajurit terkendala
Karena keterbatasan anggaran, maka pengawal republik tetap bersabar rela
Hampir empatpuluh tahun gurindam duabelas ini selalu didengungkan sebagai lagu wajib taat dan membiasakan seluruh prajurit TNI berpuasa, ya berpuasa sejahtera, ya berpuasa alutsista. Pertanyaan lugasnya adalah apakah kondisi ekonomi kita masih sama dengan empat puluh tahun lalu untuk mematahkan argumen political will tadi. Jawabnya tentu tidak karena kita tidak lagi cacingan (nyindir iklan obat cacing). Tetapi mengapa lagu itu masih wajib dengar untuk segenap jajaran TNI yang nota bene adalah pengawal republik dan penjaga eksitensi NKRI. Jawabnya adalah political will yang belum menyadari pentingnya sebuah TNI yang besar, kuat dan profesional yang menjadi bargaining power bagi diplomasi antar negara.
Kekuatan Baja Diri
Kalau boleh mengaku, sejujurnya sejak reformasi 1998 atau setidaknya lima tahun terakhir kondisi ekonomi kita sudah membaik dan bahkan sudah tahan uji ketika krisis ekonomi menggelar dan menggelegarkan diri di hampir semua kawasan dunia akhir 2008 lalu. Itu artinya sudah saatnya kita kembali menatap anak kandung rakyat ini yang selalu dinomorsekiankan pertumbuhannya dan nrimo saja to le. Bukankah anak kandung kita ini perlu dirawat, dipoles dan diperkuat struktur dirinya agar bisa tampil sebagai kekuatan baja diri bagi kelanjutan NKRI.
Lalu kalau political will yang kita suuzonkan, sejumlah asumsi bertema duga bisa jadi iya jawabannya. Boleh jadi ada perjanjian tidak tertulis apalagi terdaftar dengan pihak Barat, ketika rezim Orla berganti Orba bahwa sangat dimungkinkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tidak boleh menjadi kekuatan setara dengan masa Orde Lama karena dikuatirkan rumah-rumah jiran disebelahnya tidak bisa tidur nyenyak.
Namanya juga duga, bisa benar bisa tidak, tapi kalau dilihat perjalanan bangsa selama empat dekade atau katakanlah selama lima tahun terakhir ini, asumsi itu bisa jadi hipotesa atau bukti defacto loh. Contoh realnya, sudah dikasih Kredit Ekspor sama Pemerintah Rusia tahun 2006 sebesar $1 Milyar untuk beli senjata made in Rusia, kok susah amat dan banyak gangguan teknisnya, ujung-ujungnya si Paman Sam menawarkan lagi F16 dan Herculesnya kepada Indonesia.
Sekedar catatan tahun 2006 kita mendapat Kredit Ekspor dari Rusia sebesar $1 Milyar untuk pembelian persenjataan Sukhoi, Tank Amphibi, Kapal Selam kelas Kilo, Kapal Perusak Kawal Rudal (PKR), namun perjalanan pengadaan alutsista yang sudah jelas sumber pembiayaannya itu masih juga tersendat. Selama empat tahun itu hanya digunakan untuk beli senjata Sukhoi dan 17 Tank Amphibi dengan nilai $100 juta sementara untuk senjata strategis seperti Kapal Selam dan PKR seharga $900 juta perjalanannya mirip perjalanan keong, sudah lambat, tak sampai-sampai lagi. Simpulnya sederhananya : sudah dikasih pinjaman kok masih jual mahal, kalau bisa dipersulit untuk apa dipermudah, kumaha atuh yang mempersulit diri sendiri dengan alasan birokrasi antar departemen atau karena perjanjian tidak tertulis tadi, takut dijewer Barat.
Kabar Gembira
Selama sebulan terakhir ini banyak kabar yang menggembirakan untuk perkuatan alutsista TNI antara lain program 100 hari pemerintahan SBY yang akan merevitalisasi industri hankam strategis (Pindad, PAL, DI, LEN) sebagai pemasok utama persenjataan TNI. PT PAL sudah mendapat kontrak dari TNI AL sampai tahun 2014 untuk buat 2-4 Korvet Rudal, 11-15 Kapal Cepat Rudal, 7 Kapal Angkut Tank, kerjasama pembuatan Kapal Selam dan repowering 25-30 KRI. PT PAL saat ini sedang menyelesaikan pembuatan 2 KRI LPD hasil kerjasama dengan Korsel dan perawatan beberapa KRI termasuk pemasangan rudal di KRI FPB.
Lalu ada berita TNI AU akan bentuk skuadron tempur baru di Medan, pembentukan Kodam baru di Kalimantan dan Papua, proyek Kostrad Divisi 3, penambahan batalyon tempur Kodam dan Paskhas, proyek 100 FPB berpeluru kendali. Kemudian penambahan radar di Timika, Merauke dan Saumlaki, penggantian pesawat Bronco dengan Super Tucano, penggantian Hawk Mk53. Kedatangan 3 pesawat tempur Sukhoi SU27, 17 Tank Amphibi BMP-3F dari Rusia dan hibah 35 LVT dari Korea Selatan pada bulan Desember 2009 serta tambahan KRI FPB segera mengisi arsenal TNI.
Semua berita itu tentu saja menyegarkan dahaga kita akan keinginan untuk melihat anak kandung kita itu gagah perkasa bukan gagah gemulai. Namun yang tak kalah penting tentu saja meningkatkan kesejahteraan para prajurit itu dengan balas saja yang setimpal dan wajar, misalnya gaji prajurit paling rendah minimal 4-5 juta rupiah sebulan diluar lauk pauk dan gaji para Jendral berkisar 40-50 juta sebulan. Bukankah para Jendral itu juga boleh juga disebut Direksi sama seperti Direksi Bank atau Perusahaan. Dan bolehlah kita sebut Direksi Pengawal Keamanan NKRI.