Mohon tunggu...
Jagardo Joshua
Jagardo Joshua Mohon Tunggu... Mahasiswa - Life learner

Nothing about me that is special.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penerapan RUU Perampasan Aset: Senjata Makan Tuan?

6 Januari 2022   15:43 Diperbarui: 6 Januari 2022   15:47 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa yang terlintas ketika mendengarkan kata "harta pejabat negara Indonesia"?  beberapa dari kita mempunyai pemikiran dimana dengan banyaknya pajak yang telah dikeluarkan oleh seluruh masyarakat di negara ini baik secara individu maupun dari badan hukum masing masing, kemudian dialokasikan menjadi gaji bagi para pejabat pemerintahan. Mungkin masyarakat secara mandiri dapat meluangkan waktunya untuk melihat transparansi gaji yang diterima oleh masing masing pejabat negara tersebut melalui internet yang dimana dapat dilihat dari LHKPN atau Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara ataupun pengakuan pejabat itu sendiri. Namun, apakah dengan sumber tersebut kita dapat mempercayai secara mentah mentah?

Mungkinkah pejabat negara dapat berbohong terkait harta kekayaan yang ia punya dimana tidak ia sebutkan dalam LHKPN yang ia laporkan sendiri? terdapat grey area yang dimana menjadi salah satu sebab yang mungkin menjadi faktor besar dari banyaknya kasus korupsi yang dialami oleh pejabat negara kita. Berdasarkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi  Firli Bahuri melalui medcom.co.id, total dari surat perintah penyidikan, KPK telah menetapkan 121 tersangka selama 2021 ini.  KPK mengembalikan setidaknya Rp2,6 triliun rupiah, serta menghalau adanya korupsi yang akan dilakukan dimana akan berpotensi merugikan negara sebanyak Rp46,5 triliun.

Dengan adanya kabar tersebut, tentu diperlukan adanya trigger kepada pemerintah untuk membuat suatu peraturan yang dimana nantinya akan menjadi usaha preventif agar tidak terjadinya kasus korupsi yang masif di tahun selanjutnya. Sampai artikel ini dibuat (6 Januari 2022), website DPR tersebut masih menampilkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, dimana telah diusulkan pada 17 Desember 2019. 2 tahun berlalu, RUU ini masih di tahap "mulai" atau belum dilakukan pelaksanaan sama sekali untuk dibahas. Mengapa belum dibahas? Saya akan membahas RUU tersebut berdasarkan website DPR yang saya baca. Silahkan copy paste link dibawah ini https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/72

Salah satu isi dari latar belakang dan tujuan penyusunan RUU Perampasan Aset dalam website DPR tersebut terdapat di poin satu, yakni berbunyi "Kebutuhan adanya sistem yang memungkinkan dilakukannya penyitaan dan perampasan hasil dan instrument tindak pidana secara efektif dan efisien, yang memperhatikan nilai-nilai keadilan dengan tidak melanggar hak hak perorangan". Dari poin tersebut, RUU Perampasan Aset ini nantinya akan menjadi senjata bagi pemerintah untuk melancarkan sita aset dari para pejabat yang dimana nantinya apabila ditemukan aset tersebut tidak diketahui kejelasan dana untuk membeli nya berpotensi berasal dari tindakan pencucian uang atau juga dikarenakan tindakan pidana, maka akan bisa disita dan kemudian dilelang dan hasil dari lelang tersebut masuk ke kas negara.

Di poin lain, disebutkan "Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini dinilai belum secara komprehensif, dan rinci mengatur tentang perampasan aset yang terkait dengan tindak pidana, juga masih memiliki kekurangan (loophole) jika dibandingkan dengan dengan Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) yang direkomendasikan oleh PBB dan lembaga internasional lainnya". NCB mengatur tentang konsep pengembalian tanpa pemidanaan. Peraturan ini sendiri sebenarnya telah didukung dengan Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2021 tentang Lelang Benda Sitaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dimana PP ini memperbolehkan KPK untuk melakukan pelelangan terhadap barang sitaan yang disinyalir merupakan bukti dari tindak pidana korupsi, selama masih dalam tahap penyidikan. Alasan dari adanya hal tersebut terjadi dikarenakan apabila benda yang disita tersebut kalau dibiarkan terlalu lama akan menimbulkan biaya perawatan.

 Dalam website DPR tersebut, disebutkan bahwa sasaran yang ingin diwujudkan adalah "Menyita dan merampas hasil tindak pidana dari pelaku tindak pidana tidak saja memindahkan sejumlah harta kekayaan dari pelaku kejahatan kepada masyarakat, tetapi juga akan memperbesar kemungkinan masyarakat untuk mewujudkan tujuan bersama yaitu terbentuknya keadilan dan kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat". Ketika DPR menyatakan bahwa perwujudan dari penetapan RUU ini sangat mulia dan dapat menurunkan angka kejahatan korupsi, mengapa tidak dilakukan percepatan pengesahan RUU Perampasan Aset? Karena apabila disahkan, terdapat kondisi "senjata makan tuan". 

Kita tidak bisa membuktikan aset yang dipunyai pejabat publik itu adalah tidak sah, maka tidak bisa pula kita menuduh secara sembarangan. Namun, kondisi yang terjadi saat ini memperlihatkan bahwa ada rasa takut untuk mengesahkan RUU ini dikarenakan posibilitas yang terjadi apabila para pejabat publik itu sendiri tidak bisa memperlihatkan aliran dana untuk membeli suatu aset, yang mengakibatkan perusakan citra lembaga tersebut. Apa yang dibutuhkan untuk membuktikan ketidaktakutan tersebut? Komitmen untuk membersihkan Indonesia untuk bebas dari korupsi melalui penetapan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana menjadi Undang Undang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun