SISTEM proporsional terbuka atau tertutup yang pada akhirnya akan diterapkan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 masih menjadi perdebatan di antara sembilan Hakim Agung Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang gugatan sistem proposorsional terbuka, seperti yang diberlakukan di beberapa Pemilu terakhir, belum dipastikan kapan akan diputus.
Kasus gugatan sistem pencoblosan untuk Pemilu 2024 ini bermula dari pernyataan Ketua  Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari beberapa waktu lalu, yang menyebut bahwa MK bisa saja memutuskan sistem pencoblosan berbeda di Pemilu 2024. Penyebabnya, ada gugatan terhadap UU Pemilu.
Pernyataan Ketua KPU tersebut langsung saja memicu perdebatan yang sengit. Persidangan atas gugatan tersebut juga menjadi kontroversi karena jauh sebelumnya MK telah memutus gugatan serupa. Di sisi lain, delapan dari sembilan partai politik di parlemen menegaskan sikapnya untuk tetap memilih sistem pencoblosan terbuka. Hanya PDIP yang pro sistem proporsional tertutup.
Sistem proporsional terbuka adalah mencoblos langsung nama dari sang calon anggota legislatif, baik di tingkat I atau II. Proporsional tertutup mencoblos logo atau lambang partai.
Persidangan atas gugatan sistem Pemilu legislatif ini sudah beberapa kali berlangsung. MK mencoba melepaskan diri dari berbagai tekanan, kendati publik sudah puas dengan sistem pencoblosan yang dilakukan selama ini, sementara komunitas politik dan partai mendukung coblos nama.
Sistem proporsional terbuka atau tertutup sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam sistem coblos partai, dimungkinkan terminimalisasinya kader kudu loncat. Akan tetapi, memicu berkembangnya oligarki parpol.
Mempertimbangkan banyak faktor, termasuk pemberian kesempatan kepada partai-partai baru, sistem coblos menjadi lebih disukai karena memengedepankan asas keadilan dan pemerataan. Jika dilakukan sistem coblos partai atau proporsional tertutup, partai-partai baru akan lebih sulit melakukan sosialisasi terhadap masyarakat.
Mempertimbangkan pula bahwa pengajuan judicial review UU Pemilu tersebut berpotensi menimbulkan keresahan di masyarakat, MK seyogyanya berpatokan pada keputusan dari persidangan gugatan terhadap UU Pemilu sebelumnya, yang ditolak oleh MK.
Akan menjadi preseden yang buruk apabila MK atas gugatan yang sama MK memutuskan sebaliknya, misalnya mengembalikan ke sistem proporsional tertutup atau coblos lambang partai.
Di antara parpol parlemen yang gigih memperjuangkan tetap diberlakukannya sistem coblos nama atau orang, Golkar konsisten. Golkar sejak awal menolak kemungkinan diterapkannya kembali sistem proporsional tertutup atau coblos logo partai, bukan nama calegnya langsung.
Sistem pemilu tertutup dapat membuat para calon legislatif (caleg) melupakan turun ke bawah (turba) mengurusi rakyat. Caleg jadi malas menyapa konstituennya.
Sistem coblos langsung nama atau orang, kata politisi muda Golkar Dave Laksono, lebih diminati oleh masyarakat. Masyarakat tetap memiliki hak untuk memilih, masyarakat tetap memiliki hak untuk menyampaikan pendapatnya.
Jika menerapkan sistem proporsional tertutup, di mana caleg terpilih ditentukan oleh partainya, hal itu bisa membuat kader partai malas turun ke bawah. Caleg bisa sangat pasif, sebab proses keterpilihannya ditentukan oleh partai.
Pemberlakuan sistem proporsional tertutup juga dikhawatirkan bisa memberangus fungsi aspirasi anggota DPR. Sebab, sistem ini bakal membuat para caleg cukup bergantung pada keputusan partai, sehingga mengabaikan kewajibannya untuk turun ke rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H