Kita pahami, faktor Joko Widodo memegang peranan penting. Enam partai politik itu masih solid berada di koalisi pemerintahan dan Joko Widodo menjadi atasan para ketua partai politik itu. Posisi sebagai presiden membuat Jokowi relatif lebih bebas berkomunikasi dengan segala pihak, bahkan dengan lawan politiknya. Hal inilah yang tidak dimiliki Megawati saat ini.
Suara Jokowi kali ini pasti didengar Megawati, entah sedikit entah banyak. Pengalaman Jokowi memerintah akan menjadi landasan memberi saran kepada Megawati. Jokowi dikenal sebagai pribadi yang suka mengecilkan masalah. Pidatonya akhir-akhir ini menyatakan kita harus waspada terhadap krisis yang akan menghantam Indonesia.
Tahun 2022 adalah tahun yang sulit, sementara tahun 2023 adalah tahun yang gelap gulita. Bisa diringkas, masalah pokok yang mendesak hanya satu: ekonomi atau kesejahteraan rakyat. Jokowi kemungkinan besar akan menawarkan calon wakil presiden yang berlatar belakang ekonomi sekaligus memiliki dukungan politik kuat.
Salah satunya adalah Airlangga Hartarto. Ada dua hal untuk sampai pada kesimpulan itu. Pertama, jika PDIP dan Airlangga Hartarto bersatu berarti merupakan pasangan yang rasional dan mementingkan aspek kemampuan memerintah. Ini keluar dari tradisi sipil-militer, Jawa-luar Jawa, dan nasionalis-Islam.
Kedua, Airlangga merupakan gabungan teknokrat dan politikus. Airlangga paham proses pengambilan kebijakan publik dan tidak teralienasi dari dinamika politik sehari-hari. Perlu diketahui publik bahwa beragam koalisi ini memiliki tujuan menaikkan elektabilitas partai politik.
Dari simulasi capres dan cawapres koalisi Pilpres 2024, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyimpulkam jika calon capres-cawapres PDIP bisa kalah di pertarungan bila partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu tidak berkoalisi.
Studi ini, sebagaimana dikutip Kompas.com, menggunakan simulasi tertutup dengan asumsi empat pasangan dari koalisi yang sementara ini terbentuk, yakni PKB dan Gerindra, Koalisi Perubahan (NasDem, Demokrat, PKS), PDIP sebagai pemain tunggal atau lone ranger, dan Koalisi Indonesia Bersatu/KIB (Golkar, PPP, PAN).
Dari hasil jajak pendapat yang dilakukan SMRC, Ganjar Pranowo cukup kompetitif jika dipasangkan dengan calon selain Puan. Tapi, ketika dipasangkan dengan Puan, posisi Ganjar di bawah dua nama yang selama ini kompetitif dengan dia, yaitu Prabowo dan Anies.
Artinya, kekalahan berpotensi dialami PDIP jika menduetkan Ganjar dengan Puan. Jika PDIP tidak berkoalisi dengan partai lain dan tokoh lain, maka partai berlambang kepala banteng moncong putih itu bisa tersingkir. Hasil serupa juga didapat jika Ganjar menjadi cawapres Puan. Suara pasangan Puan-Ganjar bahkan terjun bebas dari simulasi sebelumnya.
Pesan dari pemilih secara umum adalah bahwa PDIP tidak bisa sendiri untuk memenangkan pilpres. Pengalaman selama ini memang demikian, harus dengan cara koalisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H