Mohon tunggu...
Jafran Azzaki
Jafran Azzaki Mohon Tunggu... Lainnya - Senang Menulis

Seseorang dengan hobi menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Menyoal Sistem Pemilu dan Praktik Politik Uang

5 Januari 2023   12:47 Diperbarui: 5 Januari 2023   13:02 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemilu 2019 dengan sistem coblos gambar orang langsung. (Foto ilustrasi: KPU).

GONJANG-ganjing penerapan sistem Pemilu 2024, antara coblos orang atau gambar partai, akan coba mulai dituntaskan pada 17 Januari 2023 mendatang. Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjadwalkan dimulainya persidangan untuk perkara uji materi terhadap sistem pemilu. MK akan mendengarkan keterangan dari Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pihak terkait.

Gugatan uji materi terhadap sistem pemilu ini, sebagaimana pemberitaan media, teregistrasi dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022. Judicial Review ini diajukan oleh enam orang, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V) dan Nono Marijono (pemohon VI).

Belakangan, MK menerima surat dari NasDem mengenai status Yuwono Pintadi (pemohon II) yang disebutkan sudah tidak menjadi kader NasDem sehingga tidak layak dikategorikan sebagai salah satu termohon.

Yang digugat, pasal 168 ayat (2) Undang-undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Dalam pasal itu diatur bahwa pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPR  kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Para pemohon meminta MK agar mengganti sistem proporsional terbuka menjadi tertutup. Mereka menilai bahwa sistem proporsional terbuka bertentangan dengan UUD 1945 dan menimbulkan masalah multidimensi seperti politik uang.

Sebelumnya, merujuk pemberitaan Kompas.com, aturan soal sistem proporsional terbuka sudah pernah digugat dan diputuskan oleh MK. Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008 memutuskan hasil permusyarawan hakim  MK terkait gugatan uji materi sistem pemilu yang diajukan oleh beberapa perwakilan warga dan anggota partai peserta pemilu.

Delapan Hakim Konstitusi yang terdiri atas Moh. Mahfud MD, sebagai Ketua merangkap anggota, M. Arsyad Sanusi, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Abdul Mukthie Fadjar,
M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, dan Maruarar Siahaan masing-masing sebagai anggota, menyepakati sistem proporsional terbuka. Hanya Hakim Konstitusi Maria Farida Andriati yang berbeda pendapat (dissenting opinion).

Bagaimana status putusan MK? Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final. Hal itu berarti Putusan MK telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK.

Pertanyaan di atas layak dikemukakan mengingat besarnya penolakan atas diagendakannya persidangan MK atas pengajuan gugatan sistem pemilu 2024 tersebut. Tak mengherankan jika mencuat kembali pertanyaan tentang tata cara pelaksanaan Judicial Review di MK.

Apakah sebuah pasal yang pernah digugat dan diputuskan oleh MK bisa digugat lagi di lain waktu? Keputusan MK sebagai sebuah lembaga hukum mestinya final dan mengikat. Tidak seperti apa yang terjadi sekarang, yang dikhawatirkan bisa merusak legitimasi hukum di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun