KEMITRAAN dalam wujud koalisi bukan menjadi jaminan untuk sebuah keterikatan yang solid, atau membersamai keingian dan tekad yang mulia. Kemitraan dalam wujud koalisi partai-partai menjelang Pemilu 2024, sejatinya Pilpres 2024, lebih bertumpu pada kepentingan bersama. Ketika kepentingan tersebut tidak lagi sejalan, masa depan koalisi menjadi tidak jelas, bahkan berpotensi bubar.
Potensi bubarnya koalisi-koalisi di tengah jalan ini disampaikan oleh Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Kendati demikian, Cak Imin sedang tidak meramal. Cak Imin yang juga Wakil Ketua DPR bisa dikatakan tengah mengungkapkan kegundahannya atas stagnasi yang terjadi di Koalisi Indonesia Raya, kemitraan yang dijalinnya bersama Gerindra. Kegundahan yang bermuara dari adanya kebuntuan komunikasi antara dirinya dengan Prabowo Subianto, Ketum Gerindra.
Ini mirip dengan apa yang terjadi di Koalisi Perubahan, kemitraan yang coba dibangun NasDem dengan Demokrat dan PKS. Tetapi, Koalisi Perubahan belum benar-benar terbentuk atau dideklarasikan, berbeda dengan kemitraan Gerindra dan PKB di mana Koalisi Indonesia Raya sudah disepakati pada Agustus 2022 lalu. Keberadaan Koalisi Indonesia Raya menyusul Koalisi Indonesia Bersatu yang sudah lebih dulu eksis sejak pertengahan Mei.
Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang beranggotakan Golkar, PPP dan PAN serta Koalisi Indonesia Raya (KIR) yang diusung Gerindra dan PKB memang sudah sama-sama memenuhi ambang batas pengajuan presiden atau presidential thresold, yakni masing-masing 25,87% dan 23,25%.
Demikian juga dengan Koalisi Perubahan (KP) yang direncanakan beranggotakan NasDem, PKS, dan Demokrat, memiliki 28,50% perolehan suara atau kursi DPR. Sebelum bersepakat dengan Gerindra, PKB sebenarnya sudah lebih dulu mewacanakan membentuk Koalisi Semut Merah (KSM) bersama PKS. Namun, KSM hanya menjadi angan-angan, apalagi secara regulatif belum memenuhi PT 20%, yakni hanya 17,9%.
Kembali ke masalah kebuntuan komunikasi. Cak Imin belum pernah diajak bicara secara mendalam oleh Prabowo Subianto terkait penentuan capres dan cawapres dari KIR. Ketum PKB sudah secara gamblang menegaskan keinginannya menjadi cawapres dari KIR, dengan Prabowo sebagai presidennya. Di internal PKB Cak Imin sudah dideklarasikan sebagai capres, demikian juga Prabowo Subianto untuk Gerindra.
Cawapres menjadi posisi tawar dari PKB untuk kelanggengan keberadaan KIR. Kondisi serupa terjadi di KP. Belum terbentuknya KP karena NasDem, atau Anies Baswedan yang sudah diberi mandat untuk menentukan cawapresnya, sampai saat ini belum juga menyetujui siapa yang harus dipilih.
Anies menghadapi pilihan yang amat sulit. Memilih Agus Harimurti Yudhoyono, Ketum Demokrat, PKS bisa menarik diri dari rencana koalisi. Sebaliknya, menetapkan Ahmad Heryawan sebagai wakilnya, Demokrat belum tentu ikhlas.
Di tengah potensi ancaman penarikan diri dari PKS dan Demokrat tersebut, Koalisi Perubahan pun hanya akan menjadi angan-angan seandainya NasDem dan Anies Baswedan tiba-tiba memilih mantan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa sebagai wakilnya.
Dalam pengamatan penulis, kebuntuan komunikasi ini tidak terjadi di KIB. Pasalnya, tiga partai KIB tidak menjadikan cawapres sebagai "bargaining position". Sementara soliditas koalisi terus dibangun melalui jalinan komunikasi yang intens, pembahasan terkait capres dan cawapres belum dilakukan secara mendalam.