JAKARTA. Dia duduk di ruangannya yang ramai, rasa kecewa dan sedih melanda hatinya dalam kedamaian yang menyelimuti ruangan. Dia melepaskan tangisnya perlahan, air mata mengalir membasahi pipinya yang pucat. Hasil pemilu telah diumumkan, namun hatinya tak bisa menerima keputusan yang penuh rekayasa tersebut.
Hatinya terpilu mengetahui bahwa pemilihan umum yang seharusnya menjadi ajang demokrasi dan keadilan telah dipenuhi oleh manipulasi dan pesanan dari presiden. Dia harus memenangkan anak presiden, bukan karena kemampuannya atau dukungan rakyat, melainkan karena pesanan dari orang yang berkuasa mengatur sang Presiden.
Dengan berat hati, sang pemimpin KPU melangkah ke depan untuk mengumumkan hasil pemilu yang penuh kontroversi. Dia mencoba menahan rasa sesak dan kecewa yang teramat dalam, namun dalam diamnya, hatinya menangis hancur.
Di bulan ramadhan yang suci ini ketika dia dan Jutaan rakyat Indonesia sedang menjalankan ibadah puas hatinya seakan teriris oleh keputusan yang tak adil itu. Bagaimana mungkin dirinya bisa melangkah sebagai pemimpin KPU.yang baik.
Bagaimana mungkin hatinya bisa tenang ketika tindakan yang dilakukan telah merugikan rakyat dan merusak demokrasi?
Dalam kegundahan ruangannya, sang pemimpin merasa rapuh. Dia merenungkan beban yang harus dipikulnya, beban dari keputusan yang tak sesuai dengan keadilan. Hati kecilnya menjerit hingga tak tertahankan, tidak rela menyaksikan tindakan yang merusak martabat dan moralitas.
Mata berkaca kaca , air mata menyusuri pipi yang pucat. Sang pemimpin merasakan dirinya hancur, tercabik antara tuntutan politik dan nurani yang menolak untuk disesatkan. Bagaimana dia bisa memimpin dengan mulia jika langkah pertamanya adalah langkah yang penuh rekayasa dan manipulasi?
Dalam terang ruangan, sang pemimpin menangis dalam diam. Tangisnya bukanlah tangis kelemahan, melainkan tangis kepedihan karena harus berhadapan dengan keputusan yang ia tahu tidak benar. Hatinya teriris dan terluka, namun di dalamnya juga merebak api keinginan untuk membawa perubahan yang sejati.
Dengan langkah gemetar, sang pemimpin keluar dari ruangan. Ia harus menghadapi kenyataan pahit ini dengan kepala tegak, meski hatinya hancur berkeping-keping. Dia memikul tanggung jawab sebagai pemimpin terpilih, namun dalam dirinya terus menggelora penolakan akan hasil yang tidak sah itu.
Dalam bulan yang suci ini, di saat rakyat seharusnya bersatu dalam semangat keadilan dan kejujuran, sang pemimpin harus menghadapi paradoks kehidupan politik yang penuh intrik dan keserakahan kekuasaan. Namun, di balik segala kesedihan dan kecewa, ada cahaya kebenaran yang bersinar dalam hatinya, mengingatkannya bahwa perjuangan untuk kebenaran harus terus dilakukan, meski jalannya penuh liku dan rintangan.
Dengan langkah mantap, sang pemimpin KPU menghadapi kerumunan, menyampaikan hasil pemilu dengan suara yang gemetar namun penuh dengan kejujuran. Dia tahu, perjalanan sebagai pemimpin tidaklah mudah, namun hatinya tetap teguh untuk tidak menyimpang dari jalan yang benar.