Menjadi jomblo itu mulia, hebat, dan bermartabat.
Pembaca yang budiman! Belakangan ini marak sekali digaungkan di media sosial bahwa menjadi jomblo merupakan stigma tak terampuni yang melekat pada diri seseorang. Mulai dari tulisan hingga meme bertemakan jomblo terkesan menyudutkan eksistensi jomblo. Padahal, jika dikaji secara mendalam melalui penalaran yang matang, akan kita temukan sebuah bukti yang mencengangkan, bahwa jomblo sejatinya adalah wujud eksistensi yang patut dipertahankan!
Setidaknya disini saya akan mengurai 3 hal mengapa jomblo memiliki keunggulan dibanding yang tidak jomblo (red : pacaran).
Pertama, bahwa jomblo lebih banyak memiliki waktu untuk dimanfaatkan demi pencapaian masa depan. Berbeda dengan mereka yang dimabuk asmara tanpa kejelasan yang pasti, seorang jomblo bisa tampil lebih menggairahkan soal perbendaharaan waktu. Di saat non-jomblo (read : pacaran) asyik-masyuk dengan buaian abstrak bersama kekasihnya, sang jomblo mampu mempersiapkan masa depan guna kelanggengan masa depan yang seseungguhnya, yakni menikah dan hidup tenang.
Banting tulang memapankan diri, belajar memperluas wawasan adalah langkah jitu bagi jomblo demi meraih kunci kebahagiaan. Karena dengan keduanya, kelanggengan bahtera rumah tangga kelak dipertaruhkan. Dalam hal ini, jomblo-lah peraih medalinya.
Jujur, bagi saya, membaca buku memperdalam keilmuan lebih memuaskan ketimbang berjalan dengan seorang perempuan ke suatu wisata atau tempat perbelanjaan. Nikmat memang, namun hanya sesaat. Dan saat ia tersadar, penyesalanlah yang akan didapat.
Wacana bahwa pacaran mampu mendongkrak semangat belajar ataupun berkarya itu adalah wacana yang mengandung keambiguan. Kalau hanya untuk memompa semangat belajar saja ia butuh sorakan semangat sang pacar, maka bukankah itu hanya akan menyemai jiwa kebergntungan antara satu dengan yang lainnya. Tidak mandiri. Padahal, belum tentu keduanya bisa hadir bersama pada saat yang dibutuhkan. Dan, pada saat-saat tertentu, seseorang akhirnya harus menggigit jari karena nilai pelajaran di sekolah yang ia dapati berwarna merah dikarenakan antara ia dan kekasihnya itu baru saja mengalami permasalahan yang cukup serius.
Mengapa demikian, karena hakikatnya, seorang yang pacaran mereka semangat belajar hanya saat ada pacarnya, dan itu tak lebih dari sekadar semangat yang hangat-hangat di depan, namun hambar di belakang. Ia bekerja karena ingin dilihat. Ia beraktivitas karena ingin diperhatikan. Namun permasalahannya, mampukah antar keduanya mempertahankan hal tersebut. Mampukah seseorang tak lelah memperhatikan pacarnya padahal masih banyak hal lain yang butuh difokusi. Fokus dan perhatiannya pun terbelah. Saat-saat seperti itu-lah pacaran malah hanya akan menelurkan kegalauan yang beranak pinak melahirkan kegalauan yang lain.
Pacaran, berdasarkan hasil wawancara saya dengan sosok yang telah melanglangbuana dalam dunia pacaran namun diakhiri dengan penyesalan, “Seorang yang pacaran mudah cemburu, yang kemudian hal tersebut diiringi dengan kegalauan.” Tatkala ada seorang perempuan lain mendekat, maka hatinya menggelegak.iri. Lalu galau.
Kedua, bahwa jomblo mampu lebih hemat mengatur siklus keuangan. Demi menyunggingkan senyum kekasihnya, seorang yang aktif berpacaran tak jarang rela merogoh kocek dalam dompetnya. Baik dalam keadaan lapang dada, atau sering kali malah sering diirngi dengan terpaksa, sang pacar membelikan ini dan itu untuk kekasihnya.
Kemudian lahir sebuah apologi, bahwa hal demikian, bagi orang pacaran, terkadang dilakukan secara bergantian, jadi tidak ada kesan membertakan, dan penuh dengan pengorbanan. Maka rasa getir tak mengiri perjalanan pacaran mereka.
Sama saja. Memang, pada awalnya akan dilakukan dengan sukarela antar pasangan, namun, suatu saat mereka berpisah, atau keduanya tak lagi menyapa, kenyataan seperti itu akan membuat sesak dada. Ia merugi karena sosok yang ia beri perjuangkan tidak lantas menjadi pendamping hidupnya yang abadi. Jomblo terbebas dari belenggu keduanya.
Pula, bagaimanapun jua, meski keduanya bergantian soal merogoh kocek, seiring berjalannya waktu, keduanya sama-sama bakal mengeluarkan biaya. Mending kalau sudah bisa bekerja mencari uang sendiri, lah kalo masih bergantung pada orang tua. Makin nestapa saja suasana.