ZAMAN KONTEMPORER DAN KORUPSI SEBAGAI
                 PERSOALAN MORAL
Korupsi yang disingkapkan dari karya beberapa berpikir zaman modern yang dibaca dalam konteksnya. Dari bab Mbak itu terlihat tidak ada linearitas pengertian korupsi. Apa yang dijelaskan terlihat adalah bahwa dalam campuran aduk itu, arti korupsi erat melekat pada pertarungan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, sosial, dan kultural yang terlibat di dalamnya titik dan dengan itu juga peraturan paham moral. Dan pola itu juga terlihat bahwa di Paruh pertama abad ke-19 mulai terlihat embrio pengertian korupsi yang dapat dikatakan dekat dengan apa yang dikenal dewasa ini, yaitu korupsi sebagai penyelewengan kekuasaan dan jabatan publik. Pengertian itu sudah tertanam selama berabad-abad dan dalam banyak peradaban dan bukan khas paham barat. Namun, dalam konstelasi politik, ekonomi, sosial, dan kultural di Eropa antara abad ke-17 dan ke-19, pengertian itu mengalami pemaknaan baru yang kemudian membentuk paham baru korupsi.
      Apa yang terjadi dengan pengertian korupsi selepas zaman modern? Bagaimana pengertian itu terus berkembang dalam kaitan dengan konstelasi politik ekonomi, sosial, dan kultural zaman selanjutnya tanda tanya pertanyaan itu membawa kita beralih ke abad ke-20 titik perjalanan paham korupsi juga terjahit erat dengan konstelasi politik ekonomi, sosial, dan kultural yang menjadi penanda abad ke-20 apa yang kemudian terjadi dengan paham korupsi di awal abad ke-21?
 .1  Kekuasaan Publik Sebagai Mandat Warga
Memahami masalah korupsi sebagai bagian reformasi pemerintahan yang ditulis Jeremy benham dalam konstitusional code (dibahas dalam zaman modern), orang yang pernah berkenalan dengan ilmu-ilmu sosial sulit mencegah diri untuk tidak bertanya: bukankah proposal benham itu sangat mirip dengan apa yang satu abad kemudian dibahas max Weber mengenai ciri legal rasional birokrasi modern?
  Kemiripan itu tidak tanpa dasar. Leonard Hume, seorang ahli pemikiran bentham, melihat bahwa "teori organisasi birokrasi" dengan ciri legal rasional yang kemudian hari dibahas Weber telah muncul penuh dalam karya bentham. Apakah kemiripan pemikiran bentham dan Weber ini kausal atau tidak bukanlah soalnya. Yang jelas, program reformasi tata pemerintahan yang diajukan bentham menyangkut modus legal rasional otoritas yang kemudian digarap Weber kemiripan ini mengisyaratkan bahwa, dalam ungkapan sejarawan William rubinstein, bentham dan Weber membawa gagasan yang kematangan pesannya telah tiba dalam sejarah. Bentham menulis pada zaman ketika ia dan banyak pemikir melihat negara modern yang berciri legal rasional lebih dari sekedar aspirasi dan kini ada dalam jangkauan. Ia mencapai kesimpulan itu mendahului zaman melalui kegigihannya mengejar implikasi logis, betapapun awalnya terasa asing
 .2. max Weber dan paham modern korupsi
Max Weber tidak pernah secara khusus membahas korupsi titik namun, dapat dikatakan bahwa paham korupsi yang kini luas dipakai korupsi sebagai penyelewengan kekuasaan atau jabatan publik adalah pengertian yang berakar dalam pemikiran Weber tentang birokrasi modern. Ia pemikir dengan keluasan cakupan yang menakjubkan: sejarah peradaban, hukum, tata negara, partai politik, dominasi dan kekuasaan, kelas dan status sosial, ekonomi dan kapitalisme corak masyarakat, etnisitas, agama, distisisme profesi, dunia akademis dan intelektual, teori tindakan, metode ilmu-ilmu sosial, seni dan seksualitas titik ia juga dikenal aktif dalam kehidupan publik.
 .3 korupsi dan proyek pembangunan
Sejarah selalu gelisah. Sejarawan Erik Hobsbawm berkisah tentang bagaimana abad ke-20 mulai dan berakhir. Antara awal dan akhir berlangsung pergolakan, salah satunya berisi pola ini. Abad ke-20 berkisah tentang bagaimana seorang tuan berkuasa atas semua orang untuk jangka waktu tertentu atau atas beberapa orang untuk selamanya tetapi tidak mungkin berkuasa atas semua orang untuk selamanya.Hobsbawm menulis itu dalam kaitannya dengan kemerdekaan yang melahirkan negara baru di kawasan Asia dan Afrika. Kebanyakan negara Amerika latin telah mencapai kemerdekaan di paruh pertama abad ke-19, sedangkan kebanyakan negara Afrika meraihnya pada dekade 1960-an titik di kebanyakan negara Asia, momen itu terjadi setelah perang dunia ke-2 (1945). Kisah selanjutnya berisi ironi yang berayun antara cita-cita dan realitas.
.4 membentuk globalisasi paham anti korupsi
  Pertanyaan "mengapa"? Di atas merupakan bagian kisah lonjakan perhatian terhadap korupsi sejak awal dekade 1990-an sampai hari ini. Kisah itu terbentuk dari konteks dan aktor tertentu dengan drama dan ironiannya. Beberapa ahli melihat bahwa sejak runtuhnya Uni Soviet perhatian terhadap masalah korupsi mengalami perubahan dramatis.
.5 globalisasi kampanye melawan korupsi
 Kemunculan TI di tahun 1993 dan perubahan sikap wb terhadap masalah korupsi sejak paruh dasawarah bisa dikatakan menjadi poros lonjakan perhatian terhadap korupsi pada skala global. TI menjadi motor pembentukan kesadaran global tentang masalah korupsi, sedangkan urusan kebijakan international dimotori terutama oleh WB. Kepemimpinan WB terletak dalam implikasi visi anti korupsi bagi aneka program bantuan pembangunan di seluruh dunia titik dengan itu visi anti korupsi juga menjelma pada daratan kebijakan negara titik dalam proses ini segera bergabung lembaga-lembaga internasional lain, seperti IMF, perserikatan bangsa-bangsa/united nations (PBB/UN), EUROPIAN UNION (EU), ORGANIZATION FOR Economic Cooperation  and Development (OECD),Council of Europe (CoE), dan lain-lain.
 Korupsi dapat dikenal pergeseran dari lingkup makna yang luas menyangkut ciri generatif seluruh tatanan masyarakat lingkup lebih sempit menyangkut ciri penyelewengan kekuasaan dan jabatan pergeseran itu terlihat jelas pada abad ke-19 titik para ahli bahkan melihat bahwa seninya mulai tumbuh sejak abad ke-17 dan kian matang pada abad ke-18 titik pengertian korupsi yang dipahami dewasa ini sudah dapat dikenali dengan jelas di akhir abad ke-19.
  Namun, saya tidak bisa menahan diri untuk mengenali bahwa apa yang muncul bukan hanya pengertian baru melainkan juga pengertian lama yang bersikeras untuk tetap bertahan. Apa yang bersikeras tetap tertahan itu rupanya adalah persoalan moral yang membentuk konsep korupsi. Berbagai kajian dari teropong ekonomi, politik, hukum, antropologi, sosiologi, ataupun psikologis sangat membantu menyingkapkan kompleksitas gejala korupsi, tetapi mengapa korupsi dianggap sebagai kutu baik kehidupan suatu masyarakat rupanya mengelak dari penjelasan sektoral itu. Patokan hukum sungguh membantu memahami perbuatan yang disebut korup tetap tetapi jantung pengertian korupsi bukanlah persoalan hukum. Ukuran nilai ekonomi sangat membantu menaksir kerugian yang terlihat dalam korupsi, tetapi jantung korupsi bukanlah perkara ekonomi. Begitu pula korupsi sering ditunjuk sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang dimandatkan rakyat atau penilaian kepentingan umum tetapi alasan mengapa dan kepentingan umum yang disalahgunakan/diselewengkan itu disebut korupsi tidak dapat dipahami dari konsep mandat dan kepentingan umum itu sendiri.
.6 memahami ciri moral korupsi
  Arti istilah 'moral', 'filsafat moral' atau 'etika' telah dibahas ringkas dalam bab sebelumnya dan tidak akan diulang. Hanya perlu disebut bahwa bab ini akan berurusan terutama dengan apa yang dalam filsafat moral klasik menyangkut bidang etika normatif (normative ethics) dan meta-etika (Metaethics). Keduanya menjadi kajian filsafat dalam arti sekarang sedangkan bidang yang dahulu disebut etika deskriptif (descriptive ethics) kini menjadi rumpun ilmu-ilmu sosial.
.7 mazhab utilitarianisme
  Istilah 'utilitarianisme'dibentuk dari kata latin UTILIS (bermanfaat),uti-litas(manfaat/guna). Seperti disebut perumus paham ini adalah Jeremy bentham (1748-1832), tentu dengan mengolah berbagai Ilham dari pemikiran zamannya dan tradisi panjang pemikiran etika titik sudah di tahun 1776 ia menulis: "kemaslahatan sebesar mungkin banyak sebanyak mungkin orang adalah tolong ukur benar dan salah". Apa yang dirumuskan betnam itu kemudian diolah lanjut dimodifikasi dan dikembangkan secara kritis oleh banyak pemikir lain, salah satunya John Stuart Mill (1806-1873). Utilitarianisme adalah salah satu bentuk etika konsekuensialis, yang melihat baik buruknya ciri tindakan dengan kriteria bermanfaat tidaknya dampaknya (consequences). Kompleksitas paham utilitarialisme dengan aneka variasinya tidak akan diurai di sini titik apa yang disajikan berikut ini hanya menyangkut relevansi bagi persoalan korupsi.
.8 Mazhab Deontologi
Istilah 'deontologi' (Deontology) terbentuk dari kata Yunani, Deon (kewajiban) dan logos (paham, gagasan, dasar alasan).Deontology dapat diartikan sebagai paham tentang kewajiban titik paham etika ini punya banyak ragam, yang paling dikenal dirumuskan Immanuel kant ( 1724-1804). Apa yang disajikan berikut bukan seluk beluk kompleksitas etika deontologi, melainkan hanya relevansinya bagi kajian moral atas korupsi. Cara sederhana adalah memahami dalam perbedaannya dengan ketika utilitarian sebagai paham konsekuensialis.
   Seperti dibahas di atas, paham konsekuensialis memandang baik buruknya perbuatan bukan dari motif atau ciri tindakan untuk sendiri, melainkan dari dampaknya titik namun, cara berpikir ini lalu membuat tindakan berstatus moral sekunder terhadap ciri dampak titik bagi para Deontolog, prinsip moral tidak bisa didasarkan pada kriteria seperti itu.
.9 daya institusi: Deskriptif dan normatif
 Bolehkah kita mulai dengan pertanyaan sederhana titik mengapa kita marah terhadap penjarahan anggaran KTP-elektronik yang dilakukan para legislator politis, pejabat dan pebisnis? Mengapa doping dipandang merusak sportivitas kompetensi olah raga? Mengapa kita menganggap plagiat merusak integritas kaidah dunia akademis? Mengapa mencemaskan politik uang (money politics) sebagai perusakan demokrasi? Juga jika semua itu tidak dilarang kelakuan tidak tertangkap, dan juga belum ada hukum yang melarang, mengapa semua itu tetap dipandang seharusnya tidak terjadi? Bahkan oleh pelakunya! Itulah mengapa mereka melakukan diam-diam dan "penuh kerahasiaan, bahkan jika jika praktik korup dianggap sangat wajar". Dan itu tidak tergantung pada rasa suka atau tidak suka, menguntungkan atau tidak menguntungkan.
    Pertanyaan di atas dapat diperpanjang titik ada sesuatu yang "gaib"mengapa kita marah atau menganggap hal itu merusak dan tidak seharusnya terjadi pada kinerja institusi-institusi tersebut. Mengapa menilai perbuatan-perbuatan itu dengan kategori salah dan benar, baik dan buruk? Juga apabila disertai banyak gradasi penilaian di antara keduanya gradasi nilai tetap mengandaikan spektrum 2 kutub. Deskripsi tentang gradasi dengan aneka variasi secanggih apapun tetap belum menjawab pertanyaan sentral: mengapa tanda tanya dan, seperti dibahas di atas, penggantian istilah 'benar/baik' dengan misalnya kata efisien atau istilah salah/buruk dengan inefisien, hanya mengelak dengan menunda jawab pan titik jika menjarah uang di jalan tidak disebut korupsi tetapi menjarah uang anggaran KTP elektronik dipahami sebagai korupsi, soalnya bukan terletak dalam menjarah melainkan pada kekhasan faktori yang melekat secara intrinsik pada institusi yang potensial.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H