[caption id="attachment_322303" align="alignnone" width="573" caption="BURUH SAWIT. Sudah bekerja keras, tentu buruh sawit bisa hidup dengan layak sesuai hasil kerja. (Foto: Jafar G Bua)"][/caption]
Saya baru saja menyusuri jalur selatan dari Palangkaraya menuju Sampit, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Tujuan utamanya melihat dari dekat kehidupan buruh perkebunan sawit di wilayah itu. Saya ditemani Jopi Peranginangin, pegiat Sawit Watch, lembaga nirlaba yang memusatkan perhatiannya pada advokasi lingkungan dan buruh pada perkebunan sawit skala besar. Banyak cerita yang bisa dicatat. Berikut beberapa di antaranya.
Perjalanan kami mulai dari Palangkaraya, Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Kota ini berpenduduk hanya 220.962 jiwa. Padahal luasnya 2.400 kilometer persegi. Itu setara 3,6 kali luasnya dari Jakarta yang berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa. Singgah sebentar di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, organisasi nirlaba yang memusatkan perhatian pada advokasi masyarakat dan lingkungan hidup. Mengumpulkan banyak remah informasi dari tempat itu lalu menempuh perjalanan lebih dari 70 kilometer menuju Paranggean, salah satu wilayah Kecamatan di Kabupaten Kotawaringin Timur.
Paranggean bolehlah disebut kecamatan sawit. Bayangkan total luas lahan perkebunan besar sawit di wilayah ini mencapai 130 hektare. Itu setara dengan 60 persen luas wilayahnya. Tidak kurang dari 13 perusahaan perkebunan besar sudah menyulap lahan dan hutan di sana menjadi hamparan kebun sawit. Itu barulah di Kecamatan Paranggean. Di seluruh Kabupaten Kota Waringin Timur tercatat tidak kurang 77 perusahaan perkebunan besar sawit dengan luasan lahan mencapai 646.017 hektare.
Dengan rata-rata lebih dari 1.000 buruh yang bekerja pada perusahaan perkebunan itu, pikirkan saja berapa banyak warganya yang menggantungkan nasib di tandan sawit. Bahkan ada yang rela meninggalkan kebun-kebun palawija mereka dan pekerjaan lainnya, lalu memburuh di perkebunan besar. Maklumlah, iming-iming gaji tinggi memantik minat. Padahal, harapan tidaklah selalu sama dengan kenyataan.
Di Parenggean setelah didera lelah semalaman melewati jalanan berlumpur, licin dan curam, kami menumpang istirahat di rumah panggung milik Hendrikus, Ketua Serikat Pekerja Sawit Indonesia. Spasi adalah salah satu organisasi buruh yang berbasis di wilayah itu. Rata-rata anggotanya bekerja di PT. SPMN (Sarana Prima Multi Niaga).
Barulah keesokan pagi, mengalirlah kisah-kisah nestapa para buruh perkebunan besar kelapa sawit di wilayah itu dalam sebuah pertemuan tak resmi serikat pekerja ini.
Denti Bakti, (43), anggota Sepasi membuka pembicaraan, “saya ini dulu mandor kebun. Tapi kemudian dipindahkan ke pekerjaan lain. Tidak menentu. Lantaran saya bergabung dengan serikat pekerja. Meski cuma anggota biasa.”
Pada titik ini, Affandi, pegiat Walhi Kalteng menyebutkan bahwa perusahaan sejatinya telah melanggar hak-hak pekerja untuk berserikat. Kata dia, “tentu itu melanggar undang-undang. Melanggar kebebasan warga Negara untuk berserikat dan berkumpul.”
Karena itu, menurut Denti, wajar bila hanya 96 orang dan 1000 buruh di perkebunan mereka berani menjadi anggota serikat.
“Padahal dengan berserikat, mereka akan menjadi lebih kuat. Mereka akan lebih mudah menuntut hak-haknya karena punya wadah yang bisa menyatukan suara mereka,” pandang Jopi Peranginangin, pegiat Sawit Watch yang menemani saya.
Para buruh tahu, kata Denti, “banyak masalah yang mereka hadapi dan tidak tahu harus bagaimana. Kalau saya rinci satu demi satu masalahnya, itu banyak. Salah satunya yang penting adalah masalah kesehatan. Asuransi memang ada, tapi pengurusannya sangat berbelit. Bahkan bila manajemen mengatakan salah prosedur, klaim kita tidak dibayarkan. Nah, yang begitu kalo kita berserikat bisa diselesaikan bersama-sama. Menjadi masalah bersama.”
“Coba kita lihat bila ada gangguan kesehatan atau ada kecelakaan kerja atau berhubungan dengan itu, kita mesti melewati prosedur panjang. Sementara biasanya ini kondisi darurat atau kejadiannya terjadi di malam hari,” sambung Hendrikus, ketua Spasi.
Prosedur panjang yang dimaksud Hendrikus itu, adalah bila mereka sakit atau mengalami kecelakaan kerja, yang pertama mereka harus mendapat surat pengantar dari tenaga medis perusahaan, apakah akan diarahkan ke klinik perusahaan atau tempat lain. Lalu dari situ kemudian klinik mengeluarkan surat rujukan ke rumah sakit setempat. Terkadang, masih bisa ditenggang, tapi bila dalam keadaan darurat, berbelitnya pengurusan pelayanan kesehatan menyulitkan mereka.
“Sementara kalo kita berobat sendiri, susah klaimnya. Karena perusahaan menggangap kita lalai tidak mengikuti prosedur yang ada. Padahal siapapun tahu, siapa yang paling bekerja keras di perkebunan itu kalau bukan para buruh. Sementara untuk menuntut haknya saja, buruh susahnya bukan main,” tukas Denti kemudian.
“Sebenarnya, kita tidak berharap yang muluk-muluk. Kita hanya bermohon hak kita dipenuhi saja, sesuai dengan beban kerja kita. Kita sudah bekerja keras, tentu kita bisa hidup dengan layak sesuai hasil kerja,” sambung Hendrikus lagi.
Ada lagi yang menjadi kerisauan para buruh di sini, angsuran asuransi kesehatan mereka ke jamsostek—yang sekarang kita lebih kenal sebagai Badan Penyelenggara Jasa Sosial – Kesejatan (BPJS Kesehatan)—kerap baru dibayarkan perusahaan setelah 3 – 4 bulan. Padahal mestinya setiap tanggal 15 bulan berjalan. Itu pun dipotong dari upah mereka sebesar Rp38 ribu tiap bulannya.
“Kami takut nanti ada apa-apa, asuransi tidak mau melayani kami, karena selalu lambat membayar angsuran,” sebut Denti.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H