Mohon tunggu...
Jafar G Bua
Jafar G Bua Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Photo Journalist CNN Indonesia, salah satu stasiun televisi yang menjadi bagian dari CT Corp dan CNN International. Saat ini bekerja dan berdomisili di Pulau Sulawesi, namun ingin berkelana ke seluruh pelosok Nusantara Jaya. Semua tulisan di microsite ini dapat dikutip sepanjang menyebutkan sumbernya, sebab ini semua adalah karya cipta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merah Putih pun Berkibar di Lingayan

16 Oktober 2011   11:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:53 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada 92 pulau terluar Indonesia berbatasan langsung dengan negeri jiran. Salah satunya adalah Pulau Lingayan yang berbatasan dengan Tawau, Sabah, Malaysia Timur. Pulaunya indah menghijau. Pasir pantainya berkilau memutih. Sungguh sayang direbut orang lain. “Ibu, Pak, singgah istirahat dulu di pondok-pondok kami.” Sapaan penuh keramahan itu datang dari sejumlah warga Pulau Lingayan, ketika saya menjejakan kaki di salah satu pulau terluar Indonesia itu. Pulau Lingayan, masuk dalam wilayah administratif Desa Ogotua, Kecamatan Dampal Utara, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah atau sekitar 300 kilometer arah barat Kota Palu, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Luas pulau ini berkisar 122 Ha, dihuni oleh sekitar 85 Kepala Keluarga (KK) atau 352 jiwa dengan mata pencaharian sebagaian besar nelayan. Pulau ini, segaris laut dengan Sipadan-Ligitan. Dari Pulau ini, Sipadan dan Ligitan bisa ditempuh dua malam perjalanan laut dengan kapal motor nelayan. Bisa lebih cepat lagi dengan kapal motor besar. “Taraf perekonomian warga di sini sangat rendah disbanding saudara-saudara kami di daratan. Untuk membeli bendera merah putih pun kami berpikir-pikir, sebab anak istri kami bisa kelaparan bila kami tidak bisa membeli beras atau bahan makanan lainnya. Tapi jangan hati kami, kami orang Indonesia dan bangga jadi Orang Indonesia,” tandas Kepala Dusun Pulau Lingayan, Anwar Kanda. Beberapa tahun lalu, saat gencar-gencarnya diplomasi Pemerintah Republik Indonesia untuk memperjuangan kepemilikan Sipadan-Ligitan, sebuah helikopter mendarat di pesisir barat pulau ini. Sebuah bendera Negara Malaysia sempat ditancapkan di atas pulau karang. Tapi warga kemiudian mencabut bendera itu. Wakil Gubernur Sulawesi Tengah yang sempat memimpin upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi 17 Agustus lalu, kepada warga Lingayan meminta tidak terpengaruh oleh pihak-pihak luar “NKRI adalah harga mati; dan saya minta kepada saudara-saudara untuk tidak terprovokasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab,” imbau Sudarto. Beragam Suku Dengan Profesi Sama Warga Pulau Lingayang sebagian besar adalah suku asli setempat, ditambah suku Bugis, Mandar dan lainnya. Mereka sudah tiga generasi menetap di pulau ini. Selain menetap di rumah panggung yang tergolong bagus, ada pula yang masih bermukim di gubuk-gubuk reot berdinding dan beratap anyaman rumbia. Tidak ada pula jamban yang layak di tiap rumah. Untuk penerangan, sebagian besar memakai lampu petromax. Lalu ada lembaga yang memberi bantuan pembangkit listrik tenaga surya untuk mereka, namun kini rata-rata alatnya sudah rusak. “Mahal biaya memperbaikinya. Jadi warga membiarkannya begitu saja. Beli makanan saja sudah, mau beli itu lagi,” aku Anwar Kanda. Tentu saja lantaran menetap di Pulau, pekerjaan utama mereka adalah nelayan. Juga buruh tani kelapa. Para juragan di daratan mempunyai banyak tanaman kelapa di Pulau ini. “Ini bukan kelapa warga Pulau. Ini mereka dari kampung. Kami di sini cuma dimintai tolong memanjat saja,” kata Yonas (61), salah satu warga tertua di Pulau yang indah ini. Itulah yang bisa jadi seumur hidup warga Lingayan tetaplah tidak bisa meningkatkan taraf hidup hingga ke anak cucu. Kehidupan mereka berputar di tempat itu saja. Setamat Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama kembalilah mereka melaut dengan menjadi buruh nelayan saja. Sementara, para perempuannya lebih banyak berada di rumah atau membuat ikan asin yang kemudian dijual di pasar di daratan seharga Rp5.000 per 10 ekor ikan asin ukuran kecil. Selebihnya tidak ada lagi. “Ini biasa suami saya bapancing atau saya, lalu saya bikin ikan asin. Saya jual di kampung,” kisah Murniati, perempuan setempat.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun