April 2014 lalu saya menyusuri jalur selatan dari Palangkaraya menuju Sampit, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Saya ditemani Jopi Peranginangin, pegiat Sawit Watch, lembaga nirlaba yang memusatkan perhatiannya pada advokasi lingkungan dan buruh pada perkebunan sawit skala besar.
Sawit Watch melansir data bahwa saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara terbesar pengeksport minyak kelapa sawit di dunia. Indonesia juga menjadi negara terluas perkebunan kelapa sawitnya. Luasannya lebih dari 13 juta Hektare. Dan, kita menjadi pemasok 43 persen dari kebuthan minyak sawit dunia. Lalu, ada sekitar 4,9 juta jiwa yang menjadi buruh di perkebunan-perkebunan sawit dari Sumatera, Kalimantan sampai Sulawesi. Itu belum termasuk pekerja di tingkat manajemen. Di pasaran dunia 1 barrel minyak sawit bisa mencapai US $803. Nilai 1 barrel sekitar 158 liter.
Coba kita lihat hitungan sederhana produksi minyat sawit; dari sekitar 1 hektare kelapa sawit bisa dipanen paling kurang 1,5 ton tandan buah sawit segar. Itu bisa menghasilkan sekitar 300 liter minyak sawit. Maka hitunglah dengan harga per barrel tadi. Lupakan dulu berapa biaya produksi dan sarana produksi yang dikeluarkan semasa tanam, perawatan hingga panen, tapi coba pikirkan berapa besar keuntungan perusahaan sawit skala besar itu? Apalagi mereka mempekerjakan buruh dengan harga murah. Tentu itu penghematan luar biasa bagi perusahaan, namun penghisapan peluh para buruh.
Di Paranggean, per Januari upah minimum yang berlaku sebesar Rp1.090.825 juta per bulan. Itu mengikuti upah minimum provinsi. Paranggean, berada di wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
Bagaimana cara perusahaan mendapatkan buruh murah? “Perusahaan memperkerjakan buruh harian lepas yang tidak terikat kontrak. Mereka diupah tidak layak. Upah tidak sesuai dengan kebutuhan mereka dan biaya-biaya lain. Per hari mereka mendapatkan 45 ribu sampai 60 ribu rupiah. Belum lagi mereka dituntut oleh perusahaan untuk bisa memenuhi target 1 ton per hektare per panennya. Bila tidak mencapai target, tentu upah yang mereka dapat makin berkurang,” papar Arie Rompas, Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah.
Soal target itu menimbulkan masalah baru. Untuk mencapainya, seperti riset Walhi Kalteng, para buruh mempekerjakan istri dan anak-anaknya. Akibatnya, “banyak anak-anak buruh yang terpaksa tidak sekolah hanya untuk mendapatkan tambahan penghasilan bagi keluarganya,” sambung lelaki penyuka motor trail ini.
“Sementara perusahaan terkadang abai memenuhi hak-hak normatif para buruh. Pelayanan kesehatan dan perlindungan keselamatan kerja kerap tidak dipenuhi,” sambung lelaki berdarah Manado-Dayak ini.
Adapun menurut Jefrie Gideon Saragih, Direktur Sawit Watch, pada 2013 upah buruh tetap di perkebunan sawit setiap bulannya sekitar Rp1,2 juta – Rp1,4 juta. Sementara pengeluaran buruh sedikitnya Rp1,2 juta – Rp1,5 juta, hanya untuk biaya makan.
“Belum lagi bila ditambah biaya anak sekolah, biaya transport buruh ke tempat kerja, sandang, kesehatan dan kebutuhan lainnya. Buruh di salah satu perkebunan swasta asing di Kalimantan Tengah mengaku rata-rata buruh di perkebunan itu memiliki hutang 1 hingga 2 bulan gaji,” sebut Jefrie dalam sebuah siaran berita lembaga nirlaba itu.
Denti Bakti, anggota Serikat Pekerja Sawit Indonesia yang bekerja di PT. SPMN (Sarana Prima Multi Niaga) memperjelas soal target panen para buruh itu. Per 1 ton yang dipanen oleh buruh harian lepas, mereka dihargai Rp45 ribu oleh perusahaan. Bila sawitnya dari kebun mereka sendiri untuk bantuan tukang timbang mereka harus merogoh kocek lagi sebesar Rp30 ribu tiap tonnya. Jadi pikirkanlah sendiri.
Meski gaji sudah disesuaikan upah minimum provinsi itu, Denti tetaplah mengeluh, “itu kan pokoknya, mas. Itu tentu tidak cukup. Kita mau makan pakai apa? Mau bayar listrik pakai apa? Belum lagi kalo anak sekolah. Makanya kita mengambil kerja lemburan, yang biasanya juga tidak dibayarkan sesuai lemburannya.”
Hendrikus, Ketua Spasi menegaskan lagi soal hak-hak normatif tadi. “Buruh punya hak atas tunjangan kesehatan atau tunjangan-tunjangan lain sesuai kebutuhan buruh. Perusahaan kan untung besar bila harga minyak sawit naik, tentu kami yang sudah bekerja keras mesti kecipratan juga,” sebut Hendrikus yang sempat menjamu saya dan Jopi di rumah panggung sangat sederhana di Paranggean.
Sekadar berbagi, hasil penelusuran saya saat itu sudah saya buatkan film dokumenter yang diproduksi oleh Sawit Watch. Anda dapat menonton film dokumenter saya itu di,
Selamat menyaksikan. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H