Mohon tunggu...
Jaelan Sulat
Jaelan Sulat Mohon Tunggu... PNS -

Penanggung jawab program pencegahan dan pengendalian penyakit dinas kesehatan kabupaten, pendiri dan pegiat lembaga sosial peduli HIV, suami dan bapak 3 putri yang berusaha tetap setia. membaca dan menulis adalah keseimbangan untuk berbagi...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pengalaman Berisiko TKW: dari Kekerasan Fisik hingga Pelecahan Seksual

19 Maret 2014   16:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:45 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kepergian perempuan ke luar negeri untuk bekerja mengakibatkan mereka mempunyai risiko yang lebih besar untuk mengalami berbagai tindak kekerasan, baik fisik, psikis, verbal, maupun seksual. Kekerasan yang dialami para migran perempuan tidak hanya terjadi selama mereka bekerja, tetapi kekerasan terjadi secara beruntun, mulai dari keberangkatan hingga kepulangan mereka.

Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pekerja migran perempuan mengalami pelecehan seksual dan pemerkosaan di semua tahapan migrasi: persiapan pra migrasi, permulaan proses migrasi, perjalanan ke negara tujuan, bekerja di luar negeri, ketika melarikan diri dari tempat kerja, dan saat pulang ke negara asal. Mereka juga melaporkan penganiayaan fisik oleh majikan dan juga oleh agen perekrut mereka (UNDP, 2008).

Penelitian terhadap pembantu rumah tangga migran di Hongkong menunjukkan bahwa kebanyakan dari mereka mengalami berbagai bentuk pelecehan seksual, seperti perkosaan, pelecehan seksual disertai kekerasan fisik, majikan menghendaki pekerja untuk melakukan hal-hal yang berbau seks, mencium, memeluk, menyentuh organ seks, disuruh berjalan telanjang atau dengan pakaian sangat seksi oleh majikan, dan majikan mempertunjukkan alat kelamin atau pornografi (Pitoyo, 2005).

Simaklah penuturan Weha (bukan nama sebenarnya), 26 tahun yang telah bekerja di luar negeri selama lima tahun dan Sofi (juga bukan nama sebenarnya), 31 tahun yang telah merantau selama sebelas tahun di bawah ini.

“Pagi hari saya nyuci tiga mobil di parkiran bawah. Majikan perempuan olah raga sambil ngliatin dari atas. Saat kembali ke atas, dijewer, dijenggung, dijedukin ke kulkas. Katanya, saya goblok, nyuci mobil nggak becus!” (Weha, 26 tahun).

“Si Nenek sangat jahat. Dia suka ngatain saya gila, bodoh, stupid, stubborn. Dia suka njenggung sama njeblesin saya ke tembok. Saya tidak lebih berharga dibandingkan anjing peliharaannya. Sedikit-sedikit majikan mengancam akan mengembalikan saya ke agen atau memulangkan saya ke Indonesia. Saya takut. Setiap hari nangis, nggak pernah seneng. Kalo anjing atau kucingnya sakit atau batuk, saya dipukul dan dimarahi.” (Weha, 26 tahun).

“Saya lebih suka dipukul dari pada dikata-katain. Kalo dengan kata sakitnya lebih lama. Kebanyakan dari agen. Kamu itu apa sih. Kamu itu kan pembantu, kalo dibilang apa diam!” (Sofi, 31 tahun).

Pelecehan seksual bahkan telah mereka alami sejak memasuki tempat penampungan. Sponsor, satpam, sopir, staf bahkan pimpinan PJTKI adalah para pihak yang melakukannya.

“Namanya satpam dan sponsor kurang ajar. Sponsor suka nggangguin. Sponsor dan bos sama saja. Saya diajak keluar naik motor sambil dipegang-pegang. Katanya dia seneng sama saya, mau dinikahin. Kalo ada calon TKW baru, sponsor rebutan ndeketin. Calon TKW dibawa keluar, pulang pagi hari. Jam pelajaran sudah ada di situ. Sponsornya masih muda-muda.” (Weha, 26 tahun).

“Dari satpam, staf, sama sopir PT. Kadang mereka main mata, ngliatin, kedip-kedip, atau suit-suit. Pas jalan nyenggol sengaja. Sama sponsor kadang diajak nginep di luar. Di penginepan. Pulang pagi. Kalau sponsor yang ijin boleh.” (Sofi, 31 tahun).

Di Hongkong, baru seminggu bekerja di rumah majikan pertamanya, majikan laki-laki Weha sudah mulai merayu untuk melakukan hubungan seksual dengan mengiming-imingi sejumlah uang.

“Baru seminggu bekerja majikan sudah mulai kurang ajar. Waktu hari Minggu pertama saya dapat libur, majikan laki-laki bilang, ini kunci, kamu keluar. Saya bilang saya tidak punya uang. Mau keluar ke mana saya juga tidak tahu. Majikan laki-laki bilang, mau nggak kamu tak kasih uang, tapi libur sama aku. Majikan laki-laki terus memaksa.” (Weha, 26 tahun).

“Majikan bilang, aku mau tidur, kamu masak. Kalau sudah selesai kamu bangunin aku. Saat saya bangunkan, pintu tidak dikunci dan dia sudah telanjang. Dia menarik tangan saya sambil bilang, ayo kita senang-senang. Nggak tak laporin ke nyonya. Kamu nanti tak kasih uang untuk senang-senang. Saya dikasih uang, mau nggak tak tampani gimana wong butuh. Dia sudah telanjang gitu. Saya tidak suka baunya, prengus, bau keringat.” (Weha, 26 tahun).

“Setiap hari dia ngikutin saya sambil telanjang. Saya nyeterika dia duduk disebelah saya. Saya masak di dapur dia ngikutin. Pegang-pegang, colak-colek sambil main-mainkan alat kelaminnya. Di rumah kami hanya berdua.” (Weha, 26 tahun).

“Majikan laki-laki kalau nggak ada perempuannya suka kurang ajar. Hari Sabtu-Minggu dia di rumah, istri kerja. Dia suka merayu, mengiming-imingi uang minta dilayani seks. Dia bilang, di Hongkong kamu kan mau cari uang, kenapa tidak mau tak kasih uang banyak? Kamu minta berapa uang aku kasih! Pernah saya dipaksa minum pil warna kuning, nggak tahu obat apa. Tapi nggak saya telan, tak sembunyikan di bawah lidah. Dia nggak pernah maksa, ngiming-imingi uang, dirayu-rayu sampai nangis.” (Weha, 26 tahun).

“Di majikan pertama Hongkong anak cowoknya yang 19 tahun sekolah di England, pulang 5 bulan sekali. Kalau pas pulang seneng kalo saya yang nglayanin. Apa-apa mintanya saya yang ngambilin. Disuruh naik ke atas ke kamarnya. Dia suka pegang-pegang. Pandangannya nakal gitulah. Saya nggak suka. Saya menghindar.” (Sofi, 31 tahun).

“Anaknya yang 16 tahun kalo lewat tangannya suka ngeplak pantat. Kalau saya tidur dia suka masuk, naik ke tempat tidur. Kalau kepergok, dia bilang mau lihatin adiknya atau mau lihat laptop saya. Saya bilang, kalo macem-macem tak laporin ortumu. Sana pergi. Dia juga suka ngerayu minta seks. Aku punya banyak duit, kamu mau minta berapa tak kasih. Kamu tahu tabunganku berapa?” (Sofi, 31 tahun).

Mayoritas tenaga kerja wanita Indonesia (TKW) bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Mereka berangkat ke luar negeri dalam usia sangat muda, lajang, dan kurang menyadari akan adanya risiko. Rendahnya tingkat pendidikan, kurangnya penguasaan bahasa negara tujuan, dan tidak tersedianya jaringan sosial sebagai sumber pendukung menyebabkan lemahnya posisi tawar mereka.

Hasil penelitian di semua negara penerima menunjukkan bahwa pekerja rumah tangga secara umum mengalami diskriminasi dan berada di luar jangkauan hukum ketenagakerjaan lokal yang melindungi hak-hak pekerja migran di sektor lain. Legislasi dan pelaksanaan peraturan tentang lingkup pekerjaan, jumlah jam kerja, upah minimum, cuti, dan hak-hak lainnya dari pekerja rumah tangga pada kenyataannya tidak ada.

Kondisi isolatif dan individualis pekerjaan rumah tangga di dalam rumah pribadi majikan dikombinasikan dengan fakta bahwa hukum ketenagakerjaan negara tujuan yang tidak mencakup pekerjaan domestik, menempatkan mereka pada risiko yang sangat besar untuk mendapatkan kekerasan baik secara fisik, psikis, verbal, maupun seksual (UNDP, 2008; Pitoyo, 2005).

Undang–undang Hak Asasi Manusia Internasional menetapkan hak untuk hidup, keselamatan pribadi, dan hak terbebas dari siksaan dan bentuk-bentuk lain dari perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan. Semua bentuk pelecehan, terutama kekerasan, membawa imbas yang serius terhadap kesehatan perempuan secara umum dan kesehatan reproduksi mereka. Pelecehan fisik dan verbal mempunyai potensi mempengaruhi kesehatan umum dan mental buruh migran perempuan. Data menunjukkan bahwa kekerasan fisik merupakan salah satu penyebab kematian dan cacat yang umum di kalangan pekerja migran perempuan.

Pelecehan verbal merupakan kekerasan yang bersifat psikologis yang dapat mempengaruhi kondisi mental atau emosional. Kekerasan semacam ini berimplikasi pada perkembangan psikologis dan emosional korban seperti tertekan, tidak memiliki rasa percaya pada diri sendiri, ketakutan, dan merasa tidak berdaya.

Pelecehan dan kekerasan seksual selain berakibat buruk terhadap kondisi fisik kaum perempuan, juga secara signifikan berdampak negatif terhadap kesehatan psikologis. Penelitian yang dilakukan Heise, et.al. (1999) menunjukkan bahwa korban pelecehan seksual secara signifikan mengalami gangguan mental seperti depresi berat dan trauma berkepanjangan. Secara fisik, pelecehan seksual berdampak terhadap kesehatan reproduksi dan seksual perempuan secara umum, seperti kehamilan yang tidak dikehendaki dan risiko penularan berbagai Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun