Cita-cita besar mewujudkan kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya semenjak Deklarasi Alma Ata tahun 1978 dengan visi Sehat Untuk Semua Tahun 2000 (Health for All by The Year 2000) hingga yang terakhir Deklarasi Milenium dengan program Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDG’s) Tahun 2015 dinilai gagal diwujudkan. Salah satu faktor yang diduga turut menjadi penyebabnya adalah kurang atau bahkan tidak berpihaknya operasional kebijakan dari tingkat pusat hingga daerah terhadap upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan lebih mementingkan upaya kesehatan perorangan (UKP). Strategi-strategi kebijakan pembangunan kesehatan yang mengedepankan UKM seperti Primary Health Care (PHC), gerakan Pembangunan Berwawasan Kesehatan, atau komitmen pencapaian program MDG’s menjadi tidak bermakna karena lemahnya dukungan penganggaran dan dukungan manajemen dalam pelaksanaannya.
Situasi ke depan diprediksikan kurang lebih akan tetap sama. Pemberlakuan kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak 1 Januari 2014 lalu merupakan salah satu indikatornya. Program JKN cenderung menitikberatkan pada UKP dan menafikan UKM sama sekali. Program tersebut dirancang untuk memberikan perlindungan kesehatan bagi peserta yang bersifat perorangan, baik di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) maupun di fasilitas kesehatan tingkat kedua (FKTK). yang mengatur tentang penggunaan dana kapitasi JKN pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) milik Pemerintah Daerah dan Permenkes Nomor 27 Tahun 2014 yang mengatur tentang tarif pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan lanjutan memperkuat sinyalemen tersebut.
Bahwa dana kapitasi yang diterima oleh puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dimanfaatkan seluruhnya untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan perorangan. Sementara pelayanan di rumah sakit selaku fasilitas kesehatan tingkat kedua dibayar dengan sistem Indonesian Case Base Groups (INA-CBG’s) yang merupakan sistem kodifikasi dari diagnosis akhir dan tindakan/prosedur yang menjadi out put pelayanan secara perorangan.
Indikator lainnya tampak dari minimnya proporsi anggaran kesehatan untuk membiayai kegiatan UKM, baik dari sumber APBN maupun APBD. Sumber-sumber pembiayaan kesehatan dari Pemerintah Pusat berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) atau Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) seluruhnya diarahkan untuk mendukung UKP. Permenkes Nomor 84 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan Tahun Anggaran 2014 menyatakan bahwa DAK Bidang Kesehatan diarahkan untuk kegiatan subbidang pelayanan kesehatan dasar, subbidang pelayanan kesehatan rujukan, dan subbidang pelayanan kefarmasian. Untukkegiatansubbidang PelayananKesehatanDasardigunakanuntukpemenuhansarana,prasaranadan peralatan bagi Poskesdes, Puskesmas dan jaringannya. Untukkegiatansubbidang pelayanan kesehatan rujukan digunakan untuk pemenuhan/pengadaan sarana, prasarana danperalatanbagirumahsakit provinsi/kabupaten/kota. Sedangkan untuk kegiatan subbidang pelayanan kefarmasian digunakan untuk penyediaan obat dan perbekalan kesehatan untukfasilitas pelayanan kesehatan dasar dan penyediaan sarana pendukung instalasi farmasi kabupaten/kota.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84 Tahun 2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sangsi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau mengatur penggunaan DBHCHT bidang kesehatan adalah untuk penyediaan fasilitas perawatan kesehatan bagi penderita akibat dampak asap rokok. Di tingkat kabupaten, ketentuan ini ditafsirkan secara rigid melalui kebijakan DBHCHT bidang kesehatan ‘hanya’ boleh digunakan untuk penyediaan sarana dan prasarana (belanja gedung dan belanja alat kesehatan) penderita penyakit jantung dan paru.
Proporsi penggunaan anggaran kesehatan bersumber APBD pun tidak jauh berbeda, mayoritas dialokasikan bagi belanja modal sarana pendukung kegiatan UKP. Satu-satunya sumber pembiayaan yang diandalkan untuk membiayai kegiatan UKM di puskesmas adalah Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang jumlahnya relatif sangat kecil. Penggunaan dana tersebut difokuskan pada berbagai kegiatan berdaya ungkit tinggi dan merupakan upaya pelayanan kesehatan promotif dan preventif yang dilakukan dalam rangka pencapaian target MDGs di Puskesmas dan jaringannya. Ilustrasi timpangnya proporsi pembiayaan untuk kegiatan UKM dan UKP dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Proporsi Alokasi Anggaran Kesehatan Kabupaten Wonosobo Tahun 2014
INSTITUSI
TOTAL
GAJI/JASA PELAYANAN
UKP
UKM
RUPIAH
%
RUPIAH
%
RUPIAH
%
DINKES
54.000.000.000
32.000.000.000
59,26
21.000.000.000
38,89
1.000.000.000
1,85
RSUD
47.000.000.000
11.200.000.000
23.83
35.800.000.000
76,17
-
-
PUSKESMAS
29.811.972.000
12.202.425.000
40,93
15.729.847.000
52,76
1.879.700.000
6,31
JUMLAH
130.811.972.000
55.402.425.000
42,35
72.529.847.000
55,45
2.879.700.000
2,20
Sumber: Subbag Perencanaan Dinas Kesehatan Kab. Wonosobo tahun 2014 (diolah)
Berbeda dengan UKP yang memberikan penekanan pada pelayanan pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan, UKM merupakan pelayanan yang bersifat publik (public goods) dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit dengan sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat. Sesuai dengan sifat pelayanannya, seharusnya pembiayaan UKM sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai wujud keberpihakan kepada pelayanan publik. Kenyataannya dengan melihat proporsi pembiayaan yang diberikan, UKM belum dilihat sebagai prioritas dan justru dipinggirkan. Tidak heran apabila target-target indikator kesehatan masyarakat hingga saat ini tetap jauh dari yang diharapkan.
Untuk itulah pada tahun 2014 ini, Pemerintah Kabupaten Wonosobo berinisiatif menyusun Sistem Kesehatan Daerah (SISKESDA) dengan maksud agar urusan kesehatan lebih tertata dan dapat ditangani secara lebih sistematik. Salah satu titik perhatian yang diatur dalam Siskesda tersebut adalah penguatan UKM baik ditingkat pertama (Desa dan Kecamatan) maupun di tingkat kedua (Kabupaten). Berdasarkan dokumen Siskesda yang disusun, upaya kesehatan masyarakat diarahkan pada 16 (enam belas) program prioritas (lihat Tabel 2). Dimana pada tingkat desa dibentuk Pos UKM Desa yang kelembagaannya merupakan Unit Pelayanan Pemerintahan Desa. Selain bertugas melaksanakan UKM tingkat pertama di wilayah desa, Pos UKM Desa juga melaksanakan surveilans, pencatatan, dan pelaporan secara berjenjang. Kinerja Pos UKM Desa ini merupakan bagian dari kinerja jaringan UKM Desa se- Kecamatan dengan Puskesmas sebagai koordinatornya.
Dari sisi pembiayaan, Siskesda mengamanatkan besaran anggaran kesehatan Pemerintah Kabupaten minimal 10 % dari APBD di luar gaji. Besaran anggaran kesehatan tersebut diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 dari anggaran kesehatan dalam APBD. Alokasi pembiayaan untuk pelayanan publik terutama diperuntukkan bagi pelayanan kesehatan masyarakat tingkat pertama dan pelayanan kesehatan masyarakat tingkat kedua. Juga untuk pelayanan kesehatan perorangan bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar yang tidak terdaftar sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS. Sedangkan alokasi pembiayaan yang 1/3 dari anggaran kesehatan dalam APBD digunakan untuk belanja modal fasilitas kesehatan perorangan tingkat pertama dan tingkat kedua milik Daerah serta belanja modal fasilitas kesehatan tingkat pertama milik desa.
Table 2. Upaya Kesehatan Prioritas di Kabupaten Wonosobo
NO
UPAYA KESEHATAN PRIORITAS
1
Kesehatan ibu, anak, remaja dan KB
2
Perbaikan Gizi masyarakat
3
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menular
4
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular
5
Penyehatan lingkungan dan sanitasi dasar
6
Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
7
Perawatan kesehatan masyarakat
8
Kesehatan sekolah
9
Kesehatan Kerja
10
Kesehatan Usia Lanjut
11
Kesehatan jiwa
12
Pelayanan kesehatan pada bencana
13
Kesehatan gigi dan mulut
14
Penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran
15
Pengembangan kesehatan tradisional, alternatif, dan komplementer
16
Pelayanan forensik klinik dan pelayanan bedah mayat
Sumber: Draft Perda Siskesda Kab. Wonosobo
Pada bulan Agustus 2014 ini Naskah Akademik dan Draft Perda Siskesda Kabupaten Wonosobo telah selesai disusun. Ada beberapa permasalahan yang menarik dan mengundang perhatian kita selanjutnya. Masalah pertama ialah bagaimana membuat para anggota baru DPRD hasil Pemilu 2014 ikut memahami isi Siskesda dan kemudian menyetujuinya menjadi Perda Siskesda. Masalah kedua ialah bagaimana menjamin pergantian Bupati pada tahun 2015 tidak merubah kebijakan dan pembiayaan Siskesda yang direncanakan untuk 5 tahun mendatang. Masalah ketiga ialah bagaimana memastikan pola pembiayaan yang lebih berorientasi pada UKM, dimana pembiayaan UKP dilepaskan seluruhnya pada BPJS dan pembiayaan UKM dialokasikan sebesar 2/3 total anggaran kesehatan dalam 5 tahun ke depan sebagaimana diatur dalam Siskesda. Dan masalah keempat terkait dengan bagaimana memastikan pelaksanaan Pos UKM Desa dengan partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan program-program kesehatan.
Membayangkan begitu banyak pekerjaan rumah yang harus diatasi ke depan, rasanya sudah cukup mampu memompa adrenalin yang membuat kita menjadi semakin bersemangat. (jaelan, ketua tim penyusunan Siskesda Kab. Wonosobo).
Lihat Permenkes No. 19 Tahun 2014 Pasal 3 dan Pasal 5.
Lihat Lampiran Permenkes No. 27 Tahun 2014.
Lihat Permenkes No. 84 Tahun 2013 Pasal 2.
Lihat Permenkeu No. 84 Tahun 2008 Pasal 7 (1).
Lihat Permenkes No. 1 Tahun 2014 tentang Petunjuk Tenis Bantuan Operasional Kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H